Saya suka membaca, terutama buku-buku sastra. Namun, tak banyak yang saya bisa lakukan untuk banyak membaca.

Saya tinggal di Palembang, kota besar yang hanya punya tiga toko buku, dan hanya ada satu toko yang bisa saya lirik: Gramedia. Dua lainnya merupakan toko buku kecil yang kebanyakan isinya buku-buku pelajaran. Kalaupun ada koleksi buku lain, itu pun hanya buku-buku “populer” macam buku motivasi hidup. Saya tidak tertarik menghabiskan uang saya untuk itu.

Kita semua tentu kenal dengan harga-harga buku di Gramedia. Mahalnya bikin saya ingin nangis di depan makam Pramoedya: harga masing-masing buku dari tetralogi Pulau Buru rata-rata seratus lima puluh ribu rupiah! Sebuah ironi untuk buku yang bernapaskan sosialisme. Sedangkan pendapatan saya terkadang hanya pas-pasan untuk makan sebulan. Tidaklah mungkin saya menukarkan uang makan saya untuk membeli buku.

Jadinya, saya berbelanja buku bila ada rezeki lebih sedikit. Sebulan atau dua bulan, untuk satu atau dua buku. Itu pun tak bisa lebih dari seratus ribu rupiah. Dan satu buku itu biasanya habis dibaca dalam empat jam saja. Semangat membaca saya berbanding terbalik dengan kemampuan membelinya.

Di saat seperti ini, saya bersyukur dengan adanya perpustakaan. Satu-satunya perpustakaan yang bisa saya andalkan adalah Perpustakaan Daerah (Pusda) yang dikelola oleh Pemprov Sumatera Selatan. Saya rutin berkunjung ke Pusda pada hari Sabtu atau Minggu, seminggu sekali atau dua minggu sekali. Mengunjungi perpustakaan ini, rasanya seperti mengunjungi museum. Sebagian besar buku-buku pada rak adalah peninggalan masa lalu. Tapi, tetap merupakan harta karun berharga.

Di sinilah saya menemukan karya AA Navis, Achdiat Karta Mihardja, Iwan Simatupang, Pamusuk Eneste, dll, (sayangnya tak ada Pramoedya) yang tak lagi dicetak dan dijual di Gramedia. Ah, saya juga mendapati satu rak istimewa yang isinya karya penulis dunia, antara lain Albert Camus, Charles Dickens, dan Ernest Hemingway.

Namun, sudah jadi rahasia umum bahwa yang namanya fasilitas publik apalagi yang dikelola pemerintah, seperti hidup segan mati tak mau.

Begitu juga dengan perpustakaan ini. Kekurangan utamanya yang barangkali dimiliki semua perpustakaan umum adalah minimnya koleksi buku. Jangankan koleksi buku baru dan karya penulis luar, koleksi buku lama dan karya penulis negeri sendiri saja masih kurang.

Masih ada kekurangan lain? Jelas ada.

Setiap kunjungan saya ke Pusda, itu paling lama hanya satu jam. Setelah mengembalikan buku-buku yang saya pinjam sebelumnya, saya segera menuju rak buku sastra, menggeledah judul bukunya satu-persatu—inilah yang paling menghabiskan waktu, sebab buku-buku disusun secara acak, diperparah dengan tidak adanya layanan pelacakan letak buku lewat komputer—dan setelah memilih tiga buku, kemudian saya meminjamnya untuk dibaca di rumah.

Kenapa saya membawanya ke rumah, tidak dibaca di sana saja? Bukankah perpustakaan sudah disediakan tempat membaca? Nah, ini masalahnya. Kondisinya sangat tidak ideal. Membaca membutuhkan tempat yang tenang dan nyaman, ya kan? Soal kenyamanan, saya kira sudah lumayan; bangku dan meja oke, ruangan juga full AC.

Tapi, masalah ketenanganlah yang membuat saya tak betah duduk berlama-lama. Pada hari Sabtu atau Minggu, pengunjung yang datang lumayan ramai. Seharusnya ini hal yang menggembirakan. Artinya masyarakat kita masih banyak yang suka membaca. Namun, ruangan perpustakaan yang tidak terlalu luas, jadi bising oleh suara para pengunjung yang sedang berdiskusi (atau ngobrol?).

Dan yang paling menjengkelkan adalah: beberapa sejoli menjadikan perpustakaan sebagai tempat untuk pacaran. Bagaimana saya bisa fokus membaca bila di depan atau di sebelah saya ada orang yang sedang bermesraan. Saya tidak tahu apakah di Palembang kekurangan tempat untuk pacaran. Bagaimanapun, saya tak berhak melarang apalagi mengusir mereka. Toh, perpustakaan adalah fasilitas umum.

Atas semua kekurangan yang dimiliki perpustakaan ini, saya jadi ragu dengan keseriusan pemerintah menumbuhkan minat baca pada masyarakat. Pemerintah gembar-gembor mengajak masyarakat mengunjungi perpustakaan, tapi apa gunanya bila perpustakaannya tidak mendukung.

Yang saya ceritakan di atas perpustakaan umum tingkat provinsi, lho. Belum lagi di tingkat daerah. Sebagai contoh, perpustakaan umum kota Lubuklinggau. Saya beberapa kali berkunjung ke perpustakaan kampung halaman saya itu. Gedung barunya memang bagus, berlantai tiga. Digadang-gadang sebagai proyek percontohan untuk perpustakaan di Sumatera Selatan. Tapi, berlawanan dengan gedungnya yang mewah, koleksi bukunya jauh lebih mengenaskan. Misalnya saja, koleksi buku sastra hanya tersedia dua rak. Lagi-lagi, itu pun buku-buku tua.

Bila pemerintah benar-benar serius ingin menumbuhkan minat baca, saya menyodorkan dua solusi. Pertama, harga buku yang lebih murah. Di tengah kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang, harga buku yang mahal tentulah membuat masyarakat berpikir dua kali untuk membelinya. Bila harga buku lebih murah, tidak bertabrakan dengan urusan perut, masyarakat akan membangun perpustakaan mereka sendiri. Dan kemudian akan muncul penulis-penulis baru.

Kedua, perpustakaan yang baik dan tersedia di mana-mana. Selain menambah koleksi buku dan memperbaiki layanan di perpustakaan, saya kira akses yang mudah ke perpustakaan juga mutlak diperlukan. Kita tahu, banyak daerah yang tak tersentuh toko buku. Akan sangat bagus, bila setiap kecamatan atau desa memiliki perpustakaan.

Dengan solusi seperti itu, saya yakin masyarakat tidak akan kekurangan buku bacaan. Hal yang mestinya lebih dahulu diutamakan sebelum mengajak masyarakat untuk banyak membaca.

Tapi, sekali lagi, itu pun bila  pemerintah benar-benar ingin rakyatnya maju.