Sebelum berbicara kesetaraan gender, feminisme, dan berbagai macam diskursus perempuan, alangkah baiknya terlebih dahulu kita mengenal sejarah kita sendiri, Sejarah perempuan Indonesia, khususnya dalam tradisi Jawa.
melihat tradisi perempuan Jawa melalui pendekatan sejarah sangat menarik untuk dilakukan. karena dengan sejarah, kita dapat melihat secara objektif bagaimana posisi perempuan di dalam suatu kebudayaan.
di dalam tradisi Jawa sendiri, terdapat Nilai-nilai dan konsep tentang perempuan. Konsep mengenai perempuan selalu dihubungkan dengan bentuk tubuh dan kodrat alami perempuan yang kemudian disosialisasikan secara turun-temurun
yang membentuk suatu tatanan yang sukar bahkan tidak dapat diubah. Seperti ajaran Nyi Hartati kepada anak perempuannya Rancangkapti tentang “kias lima jari tangan”, yang cenderung melemahkan kedudukkan perempuan.
Ajaran tersebut mengungkapkan bahwa: pertama, Jempol atau ibu jari yang berarti Pol Ing Tyas, memiliki makna Sebagai istri harus berserah diri sepenuhnya kepada suami. Apa saja yang menjadi kehendak suami harus dituruti.
kedua, Penuduh atau telunjuk yang diartikan jangan sekali-kali berani mematahkan tudhung kakung atau petunjuk suami. Petunjuk suami tidak boleh dipersoalkan. ketiga, Penunggul atau jari tengah yang bermakna selalu meluhurkan suami dan menjaga martabat suami.
keempat, Jari manis yang berarti tetap manis air mukanya dalam melayani suami dan bila suami menghendaki sesuatu. kelima, Jejenthik atau kelingking berarti istri selalu athak-ithikan (trampil dan banyak akal) dalam segala kerja melayani suami. Dalam melayani suami hendaknya cepat dan lembut.
Konsep mengenai perempuan juga tertuang dalam berbagai karya sastra Jawa Kuno berupa serat-serat, kisah pewayangan, maupun dalam karya sastra Jawa Modern. Seperti dalam Serat Paniti sastra, perempuan hanya dilihat dari fungsi
reproduksinya saja yaitu kemampuan untuk melahirkan seorang anak terutama anak laki-laki sangat dijunjung tinggi. Perempuan yang tidak mempunyai anak dianggap perempuan yang sia-sia.
Konsep perempuan Jawa yang lain tertuang dalam Serat Candrarini, yang dapat dirinci menjadi 9 butir: pertama, Setia pada lelaki. kedua, Rela dimadu. ketiga, Mencintai sesama. keempat, Trampil pada pekerjaan perempuan.
kelima, Pandai berdandan dan merawat diri. keenam, Sederhana. ketuju, Pandai melayani kehendak laki-laki. kedelapan, Menaruh perhatian pada mertua. kesembilan, Gemar membaca buku-buku yang berisi nasihat.
Butir-butir ajaran di atas merupakan ajaran untuk perempuan Jawa, namun pola pemikiran yang terkandung mempunyai pengaruh luas sehingga pola pemikiran tradisional tersebut tetap menjadi pola pemikiran mayoritas.
Padahal isi dari pada butir-butir ajaran tersebut cenderung memanjakan dan mempermudah laki-laki. Tetapi masyarakat mempunyai anggapan yang hampir sama mengenai perempuan Hal ini dikarenakan masyarakat membentuk pandangan yang stereotipe untuk perempuan.
Pandangan ini akhirnya memunculkan rumusan tentang sikap dan tingkah laku perempuan yang baik sehingga diterjemahkan menjadi kodrat perempuan yang seolah-olah sukar dan tidak dapat diubah.
Persepsi Perempuan tentang Nilai-nilai Budaya
- Jawa
Adanya pemahaman yang membedakan posisi perempuan dan laki-laki telah mengakibatkan terjadinya pembagian tugas di sektor domestik, yaitu di dalam kehidupan rumah tangga dan sektor publik yaitu di luar kehidupan rumah tangga.
Situasi ini masih terjadi pada masyarakat Jawa, sehingga perempuan sulit menemukan jati dirinya dan sulit mengembangkan potensi pribadinya.
Lewat struktur sosial dan budaya, perempuan di Jawa diatur dengan rumusan-rumusan dan keseragaman, sehingga pandangan stereotip perempuan terus melekat pada pribadi perempuan Jawa.
Bagi perempuan yang secara struktural terbelenggu oleh nilai-nilai tersebut, merasa tidak mampu dan tidak berani untuk mengembangkan potensi dan terlibat dalam berbagai sektor kehidupan.
Peran dan kedudukan perempuan dalam sistem budaya Jawa telah menjadi pola pemikiran umum di mana tidak hanya berlaku bagi perempuan Jawa, tetapi telah menjadi pemikiran mayoritas yang membentuk pandangan stereotip untuk perempuan.
Hal ini dapat terlihat dari cerita-cerita sinetron yang menggambarkan peran perempuan yang hanya terpaku pada 3M yaitu masak (memasak), manak (melahirkan) dan macak (berdandan).
Ajaran-ajaran dalam sistem budaya Jawa, merupakan nilai-nilai budaya yang kurang mendukung posisi kesetaraan perempuan dalam berbagai sektor kehidupan.
Nilai-nilai tersebut cenderung memanjakan dan menguntungkan laki-laki serta menempatkan perempuan pada posisi nomor dua di bawah kekuasaan laki-laki. Dengan adanya nilai-nilai tersebut membuat perempuan merasa sulit berkembang sebagai pribadi dan juga menemukan jati dirinya.
Hal ini akhirnya membuat perempuan merasa tidak berani dan tidak mampu untuk mengembangkan potensi yang selama ini dimiliki. Tetapi dengan seiring perubahan jaman, menimbulkan keragaman persepsi di antara kaum perempuan itu sendiri.
Persepsi yang tradisional masih menganggap bahwa sudah menjadi kodratnya perempuan itu tunduk dan patuh pada laki-laki. Peran perempuan hanya sebatas pada wilayah domestik yaitu melayani dan mengurus rumah tangga.
Jika perempuan yang harus terlibat dalam sektor ekonomi, hal itu hanya untuk membantu suami. karena gaji yang tidak mencukupi sehingga hanya alasan secara ekonomi saja yaitu sebagai pencari nafkah tambahan bukan untuk mengembangkan kemampuan perempuan dalam sektor publik.
Sebaliknya, perempuan yang mempunyai persepsi lebih modern, beranggapan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama dalam mengembangkan kemampuannya dalam berbagai sektor kehidupan.
Dalam hal ini, akhirnya berpengaruh pada perilakunya di mana sebagai pencari nafkah utama ada ditangan istri karena suami terkena PHK dan ini tidak menimbulkan pertentangan di antara keduanya karena adanya anggapan bahwa perempuan sebenarnya mampu apabila ada kesempatan yang diberikan.
Pandangan Teoritis
melihat struktur kebudayaan Jawa dalam memandang perempuan, tampak terlihat jelas bahwa sistem yang dibangun sangat patriarki dan memandang rendah perempuan.
Lantas apa yang akan dilakukan oleh kaum feminis dan aktivis gerakan perempuan di Indonesia? apakah mereka akan mengubah struktur kebudayaan secara frontal dan terang-terangan? Atau dengan cara yang halus menyesuaikan dengan tingkat abstraksi dan kebudayaan perempuan Indonesia?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena selama ini, ketika kita berbicara kesetaraan gender dan ideologi feminisme, kita selalu berkiblat ke dunia barat (Eropa) dengan terus mengkonsumsi narasi dan gagasan yang telah mereka ciptakan.
Padahal, apa yang di alami oleh perempuan yang ada di barat, berbeda dengan apa yang dialami oleh perempuan Indonesia. kita memiliki perbedaan budaya, agama serta struktur sosial.
Selama ini, kita belum mampu merumuskan suatu gagasan secara konseptual mengenai kesetaraan gender di Indonesia yang sesuai dengan kebudayaan dan struktur sosial. Kita terus-menerus mengkonsumsi gagasan dari barat yang pada
akhirnya narasi-narasi tersebut, hanya akan menjadi simbol kebebasan perempuan dan membuat kegaduhan masyarakat. simbol-simbol kebebasan yang terus-menerus di tampakkan oleh mereka yang katanya membela hak-hak perempuan, seperti merokok, tidak memakai kerudung, membuka aurat dll.
pada gilirannya apa yang mereka tampilkan hanya akan memperkeruh tatanan masyarakat, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai perempuan Indonesia. Sekali lagi, saya tidak ada urusan dengan simbol-simbol semacam tadi, karena itu adalah bagian dari ekspresi kebebasan.
tetapi, apakah dengan cara tersebut, dapat membangkitkan kesadaran kolektif perempuan Indonesia tentang budaya patriarki?
ketika ingin melakukan edukasi kepada perempuan terkait budaya patriarki di Indonesia, masih ada cara yang lebih halus dan efektif yang tidak membuat kegaduhan di masyarakat, yaitu dengan cara menyesuaikan dengan kebudayaan yang ada.
Dengan demikian apa yang kita sampaikan akan lebih diterima oleh masyarakat sehingga memungkinkan untuk membentuk kesadaran kolektif tentang pentingnya kesetaraan gender dan budaya patriarki di Indonesia.
Pada akhirnya, mereka juga butuh pengakuan agar didaku sebagai orang yang membela hak-hak perempuan dengan menampakan simbol kebebasan, orang-orang semacam tadi, biasanya baru membaca buku pengantar feminisme. Sangat miris sekali.