Ada yang lebih membunuh tapi bukan Corona, Tjakep. Ialah Kesepian.
“Virus hanya membunuh Anda satu kali, sementara rasa sepi membuat Anda berdarah kering, sedikit demi sedikit, membuang kita dengan telanjang ke dalam virus dengan nafsu makan yang rakus. Kita hidup di dunia yang sangat terpecah,” ungkap Mugdha Sinha, dalam Lockdown Journal, Edisi 3 Juni 2020.
Lockdown Journal merupakan solidaritas maya yang membuka jejaring untuk menampung catatan harian orang-orang dari berbagai belahan dunia selama masa pandemi Corona. Rilis sejak 20 Maret, jurnal ini setidaknya telah menampung sebanyak 157 catatan dari beberapa negara, termasuk dari Inggris, India, Jamaika, Nigeria, Portugal, Jerman, Sri Lanka, dan Australia.
Artikel-artikel yang terunggah umumnya berbentuk tulisan pendek yang berisi narasi orang pertama sehari penuh. Tentang pengalaman yang tak biasa, tentang aktivitas di rumah dalam jangka waktu lama. “Tentang kisah-kisah personal yang mungkin tidak akan kita pahami suatu saat nanti,” ujar Sunila Galappatti, pencetus Lockdown Journal
Sementara di lain tempat, Red Zone Radio, sebuah Radio di Codogno, Italia. Selama masa-masa lockdown, menggelar siaran langsung untuk menemani warga kota saat menjalani hari-hari di rumah. Dan pada suatu hari, salah seorang perempuan lansia menelepon dan mengaku kesepian di tengah situasi itu.
Penyiar pun mengajak perempuan itu bercerita hingga ia tertawa. Tak lupa setelah itu dia menghubungi otoritas setempat agar mendatangi perempuan itu dan menanyakan apa kebutuhannya.
“Orang-orang perlu berbicara dan memiliki informasi, “kata Pagani, penyiar Red Zone Radio kepada Al Jazeera.” Khususnya para lansia, yang sedang melalui masa yang sangat sulit, karena mereka kadang-kadang dibiarkan sendiri.”
Kesepian dan Manusia Modern
Kesepian boleh dibilang fenomena khas masa pandemi Corona. Bahkan lebih dari itu , kesepian adalah fenomena khas manusia modern.
Erich Fromm, seorang ahli psikologi sosial, dalam bukunya Escape from Freedom, tahun 1941, menyatakan bahwa kebebasan dan individualitas merupakan ekspresi khas manusia modern yang sebenarnya telah menciptakan masalah psikologis yang khas, ialah kesepian.
Kesepian adalah rasa sakit sosial. Ini merupakan konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh manusia modern yang telanjur hidup terpusat di perkotaan, dengan segala tekanan yang telah membuatnya mengalami keterputusan dengan kelompok sosial langsungnya, seperti keluarga atau tetangga.
Selama pandemi berlangsung, manusia dipaksa untuk tetap berada di rumah. Namun, mengatasi kesepian dari dalam rumah bukanlah tradisi yang khas bagi masyarakat modern perkotaan.
Muhammad Ridha, dalam Sosiologi Waktu Senggang: Eksploitasi dan Komodifikasi Perempuan di Mal, menjelaskan bahwa para pekerja di perkotaan, paling tidak, punya delapan jam waktu senggang di luar jam kerjanya. Melihat momentum ini, kapitalisme lalu mendorong orang-orang untuk mengekspresikan waktu luangnya dengan cara berbelanja. Melalui serangkaian iklan dan penawaran, kapitalisme pun berhasil membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat konsumsi.
Kapitalisme telah mendorong masyarakat untuk keluar dari rumah, menjual waktunya lewat bekerja, lalu membelinya lagi di situs-situs waktu senggang seperti resort, spa, diskotek, kafe, dan paling mutakhir ialah mal. Waktu senggang yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh para pekerja untuk mencari dan memperoleh kemanusiaannya, kini telah dirampas oleh kapitalisme.
Melankolia dan Media Sosial
Di saat pandemi berlangsung, begitu banyak kesenangan di luar rumah yang mau tak mau harus tertunda. Situs-situs waktu luang berhenti beroperasi. Orang-orang pun dipaksa untuk tetap berada di rumah selama berbulan-berbulan.
Tidak seperti biasanya, secara tiba-tiba orang-orang kebanjiran waktu senggang, tetapi di saat bersamaan kehilangan kesempatan untuk menikmatinya. Rasa sepi pun tak terhindarkan.
Orang-orang pun melarikan diri ke dunia maya, berharap dapat memperoleh kebahagiaan di sana. Namun sialnya. itu bukanlah tempat yang tepat.
Di dunia maya, orang-orang pada umumnya mendesain perilakunya, layaknya seperti mendesain ruang tamu dan teras rumah. Ruang yang harus berisi segala macam hal yang dapat mewakili prestise, dan harus dijauhkan dari segala macam aib dan kekurangan. Di dunia maya, orang-orang hanya menampilkan kesenangannya.
Setelah menyaksikan parade kebahagian semu orang-orang di dunia maya, seseorang kemudian mungkin larut dalam perasaan tidak puas, lantaran membandingkan kehidupan orang lain dengan kehidupannya sendiri.
Perasaan tidak puas itu tidak hanya diringi oleh kesedihan yang mendalam, tetapi juga harapan bahwa suatu saat nanti ia dapat bangkit dan menjalani kehidupan yang lebih baik sama seperti orang lain. Ini merupakan perasaan campur aduk antara kesedihan dan harapan. Perasaan semacam ini disebut sebagai melankolia. Ini merupakan rasa sakit sosial selanjutnya.
Sigmund Freud dalam Mourning and Melancholia tahun 1917 mengungkapkan bahwa orang-orang yang dilanda melankolia sering kali sulit mengidentifikasi bentuk kesedihan yang ia rasakan. Perasaan sedih ini merasuk hingga ke dalam alam bawah sadar, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, seseorang terkadang menemui dirinya sebagai pribadi yang hampa dan gersang.
Dan tak jarang membenci dan mengutuk diri sendiri, bahkan terkadang berharap diasingkan. Sebab melankolia bukan hanya perihal perasaan campur aduk antara kesedihan dan harapan, tetapi juga mengandung perasaan bersalah yang akut dan perasaan tak berdaya.
Pada puncak-puncak melankolia, seseorang dapat terlempar ke dalam dua kutub yang sangat berlainan. Kalau bukan menjadi pribadi yang mawas diri, seseorang terkadang terjebak dalam keadaan depresi.
Melankolia adalah sebuah momen reflektif, yang terkadang dapat mendorong seseorang untuk keluar mengalami proses perendahan diri yang terkadang membuatnya lebih mawas diri. Bagi Freud, momen ini bisa jadi justru telah mendorong seseorang untuk mengenal dirinya sendiri.
Tetapi celakanya, sebuah penelitian dari Jurnal JAMA Pediatrics 2019 menemukan bahwa sebagian besar kaum muda justru sangat rentan mengalami depresi, dikarenakan terlalu banyak menghabiskan waktu menggunakan media sosial. Dengan kata lain, makin lama menggunakan media sosial, makin parah pula gejala depresi yang muncul.
Membaca dan Merebut Kembali Kemanusiaan Kita
Membaca adalah satu dari sekian banyak alternatif yang paling efektif dilakukan di masa-masa soliter. Membaca karya sastra misalnya.
Jika di media sosial, orang-orang berlomba menjadi sosok sempurna. Dalam karya sastra, karakter yang sempurna justru malah membuat cerita jadi membosankan. Sebuah karya sastra yang menarik biasanya akan menggiring pembacanya untuk mengenal lebih jauh dalam karakter-karakter yang ada di dalam cerita beserta segala persoalan hidupnya.
Membaca karya sastra setidaknya dapat membantu seseorang untuk memahami begitu banyak persoalan dalam hidup, bahwa setiap orang punya persoalannya sendiri, dan tak semua kisah akan berujung dengan indah. Hal Ini dapat membuat seseorang melihat dunia dari berbagai cara dan berbagai perspektif (situasi, ruang, dan waktu).
Pandangan semacam ini sebenarnya bukanlah baru. Di dalam dunia kesehatan, praktik semacam ini disebut dengan istilah biblioterapi, ialah proses membantu seseorang yang mengalami permasalahan personal dengan menggunakan buku sebagai media utamanya.
Bahkan jauh sejak zaman Yunani Kuno, orang-orang telah percaya bahwa membaca punya hubungan erat dengan kesehatan jiwa. Sebagai bukti, di pintu masuk gedung Perpustakaan Thebes terdapat sebuah prasasti yang berdiri kokoh dan berbunyi: tempat penyembuhan jiwa.
Atau dengan kata lain, membaca adalah ritus waktu senggang yang dapat membantu manusia mencari dan merebut kembali kemanusiaannya.