Dalam konteks politik islam, Hasan Al-Banna mempunyai pengaruh signifikan di dunia internasional. Sebagai seorang politisi muslim, ia berupaya membendung pemahaman dari Barat yang berusaha memisahkan antara agama dengan negara. Ia berpandangan bahwa dalam Islam tidak mengenal adanya pemisahan agama dari politik.
Namun, menurutnya, Islam merupakan ajaran komprehensif yang juga menjelaskan tentang hakikat politik. Salah satu kutipan dalam buku tersebut bahwa Islam adalah politik itu sendiri.
Ia dikenal sebagai intelekual yang lahir di masa transisi antara kekhalifahan Utsmani menuju sekularisasi yang menghasilkan gerakan nasioanalisme di negara-negara Arab. Hal ini membuat kecintaan Hasan Al-Bana terhadap Islam dan politik semakin tinggi.
Intervensi Inggris dalam perpolitikan Mesir telah membuat Hasan Al-Banna tidak memiliki rasa simpati terhadap dunia Barat. Bahkan dalam buku Yusuf Al-Qardhawi, ia menjuluki sistem Barat sebagai budaya jahiliyah seperti Fir’aunisme, rasisme. Bahkan ia menganggap nasionalisme sebagai pemahaman sempit yang berusaha memecah belah persatuan Islam.
Arab sebagai suatu identitas khusus yang menjadi ciri khas negara-negara Arab merupakan poin penting yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Shibley Telhami dan Michael Barnett dalam papernya Identity and Foreign Policy in the Middle East.
Bahwa nasionalisme di kawasan Timur Tengah itu dicirikan dengan kesamaan identitas sebagai bangsa Arab. Oleh karena itu, dalam konteks nasionalisme di negara-negara Arab, Al-Banna sangat menentang.
Dalam buku ini juga Yusuf Al-Qardhawi menggambarkan sosok Hasan Al-Banna sebagai seorang ahli politik Islam yang berupaya menempatkan Alquran dan Sunnah sebagai dasar dalam bernegara.
Sejatinya, Hasan Al-Banna setuju dengan konsep hukum positif yang berlaku di Mesir kala itu yang dipengaruhi hukum positif Inggris selama tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah. Karena menurutnya Al-Quran merupakan sumber hukum tertinggi dan tidak boleh ada yang melebihinya.
Berbicara mengenai sistem parlementer dan konstitusi, Hasan Al-Banna menyetujuinya. Menurutnya, sistem ini sejalan dengan ajaran Islam yang menuntut adanya keterwakilan rakyat di dalam pemerintahan. Akan tetapi, dalam sistem multipartai yang diterapkan di Mesir kala itu, Hasan Al-Banna menentangnya.
Menurutnya, sistem multipartai hanya akan menimbulkan perpecahan dalam tubuh umat. Dalam Muktamar V dan VI, Hasan Al-Banna berpidato yang membahas tentang motif adanya partai politik di Mesir yang sebenarnya tidak berlandaskan ideologi, tapi lebih kepada kepentingan pribadi.
Pemikiran lainnya yang menarik dari Hasan Al-Banna, yakni kutipan fatwa Ibnu Hazm bahwa tubuh, keringat, dan darah orang kafir itu najis.
Menanggapi hal tersebut, Yusuf Al-Qardhawi menganggap bahwa fatwa ini tidak relevan di era multikulturalisme saat ini. Secara kontekstual, fatwa ini lahir karena pada saat itu, Inggris menerapkan kebijakan yang membuka peluang bagi orang Mesir untuk mengubah kewarganegaraan menjadi Warga Negara Inggris. Padahal saat itu, suhu politik sedang memanas antara Inggris dengan Mesir.
Buku Tarbiyah Politik Hasan Al-Banna, karya DR. Yusuf Al-Qardhawi telah berhasil menggambarkan pemikiran Hasan Al-Banna secara ringkas. Meskipun sebagai murid Hasan Al-Banna, Al-Qardhawi tetap tidak mengikuti sepenuhnya pemikiran Al-Banna.
Ia berusaha membandingkan relevansi pemikiran Hasan Al-Banna di era kontemporer. Oleh karena itu, buku ini sudah cukup untuk menggambarkan pemikiran politik Hasan Al-Banna secara komprehensif.