Masyarakat kita memang masih hidup di dalam iklim feodalisme yang kuat. Memang ada pernyataan tegas, bahwa setiap warga negara setara di hadapan hukum. Akan tetapi pernyataan tersebut rupanya tidak menjadi realitas. Banyak orang dianggap tidak setara dengan orang-orang lainnya.

Kultur Feodal

Kultur feodalisme itulah yang menjadi salah satu penyebab kita tidak bisa melakukan pemilu secara efektif dan efisien. Banyak caleg menggunakan gelar kulturalnya, seperti usif dan sebagainya,untuk menarik pemilih.

Ketika gagal dalam pemilu, mereka lalu merasa terhina. Perasaan terhina itu muncul, karena mereka menganggap diri mereka ‘berdarah biru,’ alias keturunan bangsawan. Mereka menganggap diri lebih tinggi statusnya daripada warga negara lainnya.

Mereka merasa diri sebagai raja, yakni sebagai orang yang memiliki status lebih tinggi dari orang-orang lainnya.

Sekali lagi, slogan kesetaraan di hadapan hukum tampaknya hanya menjadi impian di Indonesia. Faktanya, banyak orang masih berpikir feodal, yakni menempatkan diri ataupun orang lain pada status yang lebih tinggi daripada status orang-orang pada umumnya.

Dampak dari Feodalisme

Masyarakat yang hidup dalam sistem feodalisme yang masih kuat selalu menghasilkan manusia dengan dua tipe mental. Pertama, manusia bermental atasan; kedua, manusia bermental bawahan.

Manusia tipe pertama selalu ingin berada di posisi atas. Ia juga ingin dihormati dan didengar oleh manusia tipe bawahan. Manusia tipe pertama ini pun sering kali tidak suka jika ada sesamanya yang lebih maju atau lebih baik. Ia selalu merasa tersaingi.

Berbeda dengan manusia tipe pertama. Pada manusia tipe kedua, ia selalu tak percaya diri dan selalu merasa minder. Ia menerima dan betah berada di bawah. Ia juga lebih suka mengalah dan diperintah meski tak sesuai dengan apa yang ia inginkan.

Tidak percaya diri, minder, dan lebih suka diperintah

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa merasakan dan menyaksikan dengan jelas satu bentuk mentalitas, yakni mentalitas budak. Mentalitas budak berarti orang selalu tidak percaya diri dan tidak mau berpikir mandiri. Ia menyerahkan keputusan hidupnya pada apa kata kelompok. Dalam hal ini, kelompok itu adalah yang "berdarah biru".

Mental budak ini pun terwujud nyata di dalam sikap abdi. Sikap abdi yang saya maksudkan adalah orang selalu merasa minder dan lebih suka diperintah, daripada memutuskan sendiri apa yang mesti ia lakukan. Orang lebih senang mengalah serta tunduk pada kata orang lain, daripada mempertimbangkan sendiri, apa yang baik dan buruk bagi dirinya.

Sikap abdi yang meluas akan menciptakan orang-orang yang selalu sopan kepada orang 'luar' atau orang yang memiliki status sosial lebih tinggi. Akan tetapi 'saling curiga, saling tikam, dan saling menjatuhkan jika bersama saudara sendiri.

Jika dulu, ketika rakyat jelata ingin bertemu dengan seorang raja, ia harus menunduk atau berlutut. Saat ini, budaya seperti ini pun masih ada. Hanya saja, berubah model dan bentuk. Budaya feodal seperti ini tampaknya dipelihara dengan baik oleh sekian elite penguasa di daerah kita.

Itu adalah contoh kecil dan amat nyata dari mental budak, yakni tidak percaya diri, minder dan lebih suka diperintah. Hal itu berakar pada kerinduan untuk dikuasai dan ditaklukan, karena takut dengan kebebasan dan kemandirian.

Hegemoni

Pada bentuknya yang paling ekstrem, kita lalu membenci budaya kita sendiri. Akar dari kebencian ini adalah tiga sikap tadi (tidak percaya diri, minder, dan lebih suka diperintah) yang kesemuanya berpijak pada ketakutan akan kebebasan.

Kita pada akhirnya merasa bangga dengan mencerca budaya sendiri, dan dengan senang hati memuja budaya dari daerah lain, tanpa tolok ukur yang obyektif. Lalu, kita pun menjadi budak yang bangga, yakni budak yang tidak merasa dirinya sebagai budak.

Kita merasa bahagia, walaupun terjajah. Kita merasa lega dan gembira, walaupun menjadi abdi yang setia, yang takut berpikir sendiri dan rindu untuk dikuasai. Ada mekanisme halus yang menjadi latar belakang dari semua ini, yakni kekuatan hegemoni.

Hegemoni adalah sebentuk penjajahan. Ia begitu halus sekaligus kuat, sehingga orang yang terjajah tidak merasa dirinya dijajah. Ia merasa dirinya baik-baik saja, bahkan bahagia, walaupun hidup dalam ketergantungan total atas pihak lain yang lebih kuat dari dirinya. Hegemoni adalah cara menindas yang membuat budak pun menjadi tertawa bahagia.

Hegemoni lalu melahirkan jenis manusia tertentu. Mereka suka menjilat penguasa, dan menindas yang lemah. Idiom untuk hal ini jelas, yakni jilat atas, injak bawah. Banyak orang tidak suka dengan prinsip ini, walaupun mereka secara nyata melakukannya.

Inilah kekuatan hegemoni yang pada akhirnya kembali melahirkan tiga sikap tadi, yakni tidak percaya diri, minder, dan lebih suka diperintah. Sikap-sikap itu tidak lahir dari kekosongan, melainkan dari situasi budaya tertentu.

Pendangkalan Nilai-nilai

Ketika ini terjadi, nilai-nilai hidup pun menjadi terbalik. Keluhuran hidup ditakar dengan uang dan kepatuhan pada tradisi. Ketika kelompok-kelompok yang berpikiran maju ingin bersuara, mereka lalu dituduh sebagai orang-orang yang tak tau sopan-santun, tak tau adat, sombong dan lain sebagainya.

Akhirnya yang tersisa adalah kelompok-kelompok yang berpikiran terbelakang, yang rindu untuk dikuasai. Yang menguasai kemudian menggunakan gelar-gelar kultural dan uang untuk mengisi kekosongan sosial yang ada.

Nilai hidup pun menjadi terbalik. Ketegasan, keberanian, dan kejujuran diganti dengan sikap sopan tapi munafik. Mempertahankan nlai-nilai dalam kebudayaan untuk menjaga alam dianggap tidak pro pembangunan dan lain sebagainya.

Di balik semua itu, neoliberalisme sebagai paham maut mulai mencengkeram kehidupan bersama kita. Neoliberalisme berarti paham yang melihat dunia sebagai satu kesatuan ekonomis, di mana segala sesuatu diukur dengan satu nilai, yakni nilai ekonomi.

Keluhuran dipersempit menjadi keuntungan uang. Kedalaman hidup dipersempit menjadi kemampuan untuk mempesona pasar, guna memperoleh keuntungan lebih besar.

Menata Perubahan

Berita gembiranya, situasi ini tidak mutlak. Ia bisa diubah. Proses perubahan ini amat bergantung dari kekuatan kehendak kita sebagai anak-anak daerah, dan langkah-langkah jitu yang kita ambil.

Langkah pertama sebenarnya amat jelas, bahwa kita harus menyadari jejak-jejak penjajahan yang masih berbekas di benak kita dalam wujud tiga mentalitas tadi, yakni tidak percaya diri, minder, dan lebih suka diperintah, sebagaimana saya jabarkan sebelumnya. Kesadaran akan hal ini membuahkan keinginan untuk berubah, dan kehendak untuk mulai berproses dalam langkah-langkah panjang perubahan.

Langkah kedua, kita sebagai pribadi, harus mulai berani untuk berpikir mandiri. Kita tidak boleh tergantung pada hal-hal di luar kita. Kita perlu melihat ke dalam nurani kita sendiri sebagai manusia. Kita perlu menggunakan akal budi kita secara bebas dan mandiri untuk mempertimbangkan langkah-langkah hidup yang akan kita pilih.

Ini tentu saja sulit. Sedari kecil, kita sudah diajarkan untuk menyandarkan diri pada tradisi dan budaya. Kita tidak dilatih untuk membuat keputusan berdasarkan kebebasan dan akal budi. Kita merasa lebih mudah melempar keputusan dan tanggung jawab ke luar diri kita, baik ke Tuhan maupun ke masyarakat.

Akhirnya, kita tetap menjadi anak kecil, walaupun usia kita sudah tua. Kita tetap tak berani berpikir mandiri. Kita tetap menjadi budak dan abdi dari tradisi. Kita menjadi budak yang bangga dan berbahagia. Inilah mungkin sebabnya, kita merasa tak berdaya di selama ini.