Pengesahan RUU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, tampak membuat hubungan KPK dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI makin bersiteru. Presiden pun ikut terlibat ke dalam persoalan politik hukum pemberantasan korupsi yang terkesan menggalang dan membentuk upaya kekuatan politik.
Kekuatan politik yang dibangun semata-mata melalui dua hal. Pertama, upaya legislasi terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, terpilihnya pimpinan KPK yang tidak melaporkan harta kekayaannya pada LHKPN tidak menunjukkan karakter kepemimpinan yang pro terhadap langkah pemberantasan korupsi.
Pasca KPK tidak lagi masuk dalam kategori lembaga extra judicial, dan state auxiliary body (komisi negara independen) tentunya telah menghindari risiko jabatan dalam suatu kekuasaan yang bedampak negatif terhadap tujuan luhur bangsa dan negara untuk mengoptimalisasi penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi.
Terletak dalam draft RUU KPK pada pasal 1 ayat (3), “KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.” Padahal, seharusnya KPK dalam menjalankan fungsi penegakan hukum tidak masuk pada rumpun kekuasaan mana pun, terutama kekuasaan politik seperti eksekutif.
Ditambah lagi, pasal 3 dengan tegas bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun”. Artinya, hal ini bukan soal tugas dan kelembagaan, tetapi terkait tanggung jawabnya terhadap presiden.
Oleh karena itu, penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh komisi negara independen seperti KPK sebenarnya tidak dikenal istilahnya dalam teori trias politika. Sebab lembaga tersebut hanya bertanggung jawab terhadap presiden dalam rangka menjalankan fungsinya yang bersifat independen dan imparsial.
Dari konsep ini, Mochtar Kusumaatmadja (1970) mengatakan, bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, tetapi kekuasaan tanpa hukum adalah anarki. Dengan demikian, KPK itu adalah komisi atau kekuasaan yang independen dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tanpa kita mengharuskan KPK ada pada rumpun kekuasaan eksekutif.
Teori yang dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja memperjelas hubungan atau persaudaraan hukum dengan kekuasaan. Namun, hukum yang kita maksud adalah komisi negara independen (state auxiliary body/KPK) atau lembaga superbody yang memang ditugaskan untuk menjalankan fungsi penegakan hukumnya.
Jadi, kekuasaan yang sebenarnya identik dengan kekuasaan politik seperti presiden dalam ranah eksekutif. Jabatan politik tersebut memperjelas kepemimpinanya adalah sebagai penguasa yang mengendalikan kekuasaannya. Dari sisi ini, bahwa hukum itu suatu aturan. Sedangkan, kekuasaan itu jelmaan dari politik.
Separuh Pemberantasan Korupsi
Adapun substansi RUU KPK 2019 ini lebih patut jika tidak hanya memperkuat dan memperlemah KPK dengan cara merubah dari sisi teksnya. Akan lebih baik lagi, menambah fungsi atau wewenang KPK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di bidang perusahaan swasta dan korupsi koorporasi.
Pengesahan tersebut tidak hanya sekadar menimbulkan masalah besar bagi masa depan bangsa dan negara kita tercinta, melainkan menghambat separuh pemberantasan korupsi yang telah dimiliki KPK secara utuh. Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai negara hukum yang memiliki kedaulatan rakyat dan supremasi hukum?
Menurut hemat penulis, terdapat beberapa dampak negatif disahkannya RUU KPK. Pertama, kemungkinan besar yang terjadi akan berdampak positif terhadap pertumbuhan bibit korupsi di negeri ini. Kedua, perubahan substansi itu dari sisi negatif memperlemah fungsi KPK dalam menegakkan sistem hukum di masyarakat.
Di sisi lain, dampak positif RUU KPK ini telah membebaskan advokat/lawyer dari kebiri KPK. Dalam artian, kebiri tersebut kaitannya dengan seringnya KPK melakukan penindakan terhadap koruptor (represif) yang sebenarnya belum tentu dia bersalah. Maka dalam pro-justicia atau dalam criminal justice system kita kenal asas praduga tak bersalah yang diuji melalui lembaga praperadilan.
Wewenang KPK yang luar biasa tentunya pasti memerlukan penyempurnaan agar lebih lincah dan lancar dalam mencegah dan memberantas praktik skandal korupsi. Penyempurnaan itu tidak ada jalan lain, tidak terkecuali menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Revisi ini perlu kita catat terkait masuknya KPK pada rumpun eksekutif cukup jelas akan ada potensi intervensi terhadap independensi lembaga antikorupsi. Sehingga hal ini harus kita cermati bahwa profesionalitas itu sangat penting dalam mengatur urusan hukum agar tidak dicampur aduk dengan urusan politik (kekuasaan).
Alternatif ke Depan
Persoalan apa pun yang terjadi di negeri ini tentunya karena persoalan hukum yang tidak kunjung selesai. Apabila hukum tetap tegak secara imparsial dan independen tanpa masih dinaungi kekuasaan politik, maka itu merupakan suatu keniscayaan yang menunjukkan bahwa hukum bukan untuk kekuasaan, tetapi hukum diproduksi untuk masyarakat.
Idealnya, hukum dan kekuasaan merupakan dua persaudaraan yang saling mempererat sistem ketatanegaraan. Sehingga wajar jika dua hal itu seiring berjalan secara bersama tujuannya adalah untuk melakukan check and balances agar tidak ada upaya kesewenang-wenangan atau penyelahgunaan atas hukum maupun kekuasaan sekalipun.
Paling tidak, sebelum kita semua menolak dan menerima finalisasi RUU KPK ini, tentunya kita sebagai masyarakat seharusnya tidak sekadar menonton sisi lain dari pro-kontra KPK, DPR-RI, presiden, dan masyarakat. Akan lebih baik jika kita semua membaca, mendalami, memahami, menganalisa, dan bertindak.
Karena itu, kuat lemahnya KPK hanya kita dapat kita pahami apabila jika mencermati sedetail mungkin.