Cemburu yang berujung kekejian adalah seburuk-buruknya cinta

Sehari sebelum terjadi kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, yang kemudian disusul rentetan ledakan bom di Surabaya, ada kabar yang menguras emosi dari Medan, Sumatera Utara. Seorang pria berusia 35 tahun, menyiramkan bensin ke wajah pacarnya dan membakarnya hidup-hidup pada Senin lalu (7/5/2018). Kabar kekejian ini redam oleh gencarnya media-media memberitakan terorisme.

Singkat cerita, Iwan Kincit (IK), sang pelaku, tega melakukan perbuatan keji itu lantaran cemburu mendengar kabar bahwa korban, Delisa Ayu (DA), selingkuh dengan laki-laki lain. Tanpa berpikir panjang, dengan dibantu seorang rekan, IK lantas mendatangi DA dengan membawa bensin dan korek yang sudah disiapkannya. 

Menurut keterangan polisi, IK sengaja mengincar wajah DA agar menjadi buruk rupa jikapun pulih kelak. Nahas bagi DA, tidak cuma wajah, luka bakar melingkupi 65 persen dari seluruh tubuhnya.

Kejadian seperti ini sudah sering terjadi di Indonesia. Belum lama sebelum di Medan, tepatnya pertengahan Maret lalu, seorang pria di Cileungsi, Bogor, juga dengan sadis membakar seorang wanita pemandu lagu karena cemburu. Belakangan diketahui, korban merupakan mantan istri pelaku. Jika dirunut ke belakang, masih banyak kekejian-kekejian bermotif asmara yang pernah kita saksikan, baik dengan pembakaran maupun dengan bentuk kekejian yang lain.

Secara sederhana, kejadian-kejadian seperti itu akan membuat kita bertanya-tanya, bagaimana bisa pelaku sedemikian tega berbuat keji terhadap sosok yang konon mereka cintai? Sungguh-sungguh cintakah mereka pada korban? Kalau memang cinta, kenapa mereka tega berbuat demikian?

Hakikat Cinta

Mempertanyakan itu membuat saya ingin menapaki kembali hakikat cinta. Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qawami Syirazi dalam Al Hikmah Al-Muta’aliyah, membagi dua jenis cinta secara garis besar: cinta hakiki dan cinta majasi. Cinta hakiki, menurut filosof Iran yang lebih dikenal dengan nama Mulla Sadra itu, adalah cinta kepada Tuhan dan segala sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Cinta kepada Tuhan dapat disebut murni dan sejati, manakala tidak ada harapan akan imbalan (misal surga atau pahala); cinta diruahkan semata-mata karena cinta.

Sedangkan cinta majasi, cakupannya sangat luas, mulai dari cinta manusia kepada sesama manusia, kepada keindahan-keindahan, kepada harta dan kekayaan, dan sebagainya. Cinta kepada lawan jenis masuk ke dalam kategori cinta yang kedua ini.

Di dalam ilmu filsafat, cinta majasi dapat dijabarkan lagi ke dalam beberapa bentuk. Pertama, cinta rasional, yakni cinta yang sumbernya berasal dari perhatian kepada zat-zat Tuhan dan cinta ini biasanya dirasakan oleh orang-orang yang dekat di sisi-Nya (misalnya para wali Tuhan, sufi, para petapa, dsb). Cinta rasional berkaitan dengan kesempurnaan dan kebaikan maknawi yang hakiki dan universal.

Kedua, cinta spiritual, adalah cinta terhadap suatu rupa atau sosok yang indah. Dalam cinta jenis ini, seorang pecinta (asyiq) mencintai sosok yang dicintai (ma’syuq) karena keindahan dan kesempurnaan yang dimilikinya. Namun, cinta ini tanpa disertai hasrat untuk memperoleh keuntungan apa pun.

Ketiga, cinta natural insaniah, yakni cinta kepada keindahan bentuk atau rupa sosok yang dicintai (terlepas dari adanya hasrat seksual), demi keseimbangan atau kebaikan hidup. Cinta jenis ini kita temui pada pasangan-pasangan yang menikah dan membangun rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka. Jenis cinta ini hanya ada dalam kehidupan manusia dan tidak dapat ditemukan di dunia hewan. Sumber cinta ini adalah fitrah kecintaan akan keindahan yang tertanam di dalam diri manusia dan bertaut dengan fakultas pencerapan keindahan dari jiwa manusia dan afeksinya.

Dan keempat, cinta natural hewaniah, yakni cinta yang tujuan utamanya adalah pelampiasan syahwat hewaniah. Dalam bahasa awam, cinta jenis ini sering disebut dengan cinta nafsu belaka. Terhadap cinta jenis ini, Ibnu Sina berkata, “paras rupawan disukai karena adanya kelezatan hewaniah di dalamnya.” Menurutnya, cinta seperti ini membahayakan jiwa rasional manusia, yang tuntutannya adalah kebaikan universal menyeluruh. Murtadha Muthahari dalam Majmu’e Atsar mengatakan, cinta jenis ini akan lekas datang dan lekas pergi. Cinta seperti ini, katanya, akan membunuh kemuliaan manusia.

Secara hierarkis, di dalam ruang lingkup cinta manusia kepada sesamanya (atau katakanlah kepada lawan jenis), cemburu, apalagi disertai dengan perbuatan-perbuatan destruktif dan keji, adalah bentuk manifestasi cinta paling rendah. 

Sebaliknya, cinta yang tanpa pamrih, yang tulus dan ikhlas dan tak pernah marah dan menyakiti, sekalipun yang ma’syuq (sosok yang dicintai) tidak membalas ataupun jahat (misalnya selingkuh dan berkhianat atau hanya mempermainkan perasaan), adalah bentuk cinta yang paling tinggi. 

Cinta seperti ini senapas dengan cinta rasional dan spiritual, dan pada gilirannya, ia memiiki cita-cita yang sama pula dengan cinta hakiki kepada Tuhan. Karena, ketika kita mencintai seorang lawan jenis secara hakiki, sejatinya kita sedang mencintai Tuhan, yang dalam hal ini kita sampaikan melalui ciptaan-Nya.

Cara Mencintai

Lantas, bagaimana mencintai yang murni seperti itu? Hemat saya ini tak dapat dirumuskan. Namun Erich Fromm dalam The Art of Loving, menyatakan bahwa cinta asmara atau cinta erotis, pada dasarnya merupakan bentuk kebutuhan manusia akan kebersamaan. Untuk mencintai seseorang, kata Fromm, kita mesti bisa mencintai semua orang. 

Cinta sejati, menurut psikoanalis asal Jerman itu, diarahkan bukan hanya untuk satu sosok semata, melainkan untuk seluruh dunia dan segala isinya. Mengutip ajaran Yesus, Fromm menyimpulkan bahwa kita jangan hanya mencintai seseorang hanya karena orang itu juga cinta atau kagum atau peduli pada kita, tetapi kita mesti mencintai orang-orang yang memusuhi kita, orang-orang yang iri, jahat, dan dengki terhadap kita.

Namun sebelum itu, Fromm berpendapat bahwa untuk mencintai orang lain, kita mesti mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Perlu diketahui bahwa mencintai diri sendiri dalam konsep Fromm, bukan berarti menjadi egois. 

Mencintai diri sendiri yang dimaksudkan Fromm adalah peduli dengan diri sendiri, menghormati diri sendiri, dan mengenali diri sendiri (mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri). Ini menjadi dasar kita untuk tahu bagaimana memperlakukan (mencintai) orang lain sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri.

Martin Luther King Jr, tokoh gerakan protes orang kulit hitam Amerika itu, punya cara sendiri bagaimana mencintai musuh. Bagi King, mencintai musuh dapat dimulai dengan menyadari bahwa ada benih kekejian di dalam diri sendiri. Benih itu harus dimusnahkan melalui jalan cinta kasih. Dengan cinta kasih, menjadi mungkin bagi kita untuk menyaksikan citra Tuhan dalam diri orang lain, apapun yang dilakukannya, menyakitkan maupun menyenangkan.

Dari penjabaran ini agaknya jelas, seperti apa bentuk cinta para pelaku kekejian itu. Barangkali mereka belum bisa mencintai diri sendiri. Barangkali pula mereka belum bisa mencintai Tuhan dan sesama manusia, sehingga mereka gagal mencintai pacar dan istri yang mestinya mereka kasihi.