Pembaruan hukum pidana akan segera mendapatkan momentum setelah DPR dan Pemerintah sepakat mengesahkan RKHUP. Adapun RKUHP merupakan produk hukum anak bangsa sebagai proses pembangunan hukum nasional.
Tetapi, selayaknya kebijakan lainnya, kebijakan pemberlakun RKUHP menuai kontroversi di tengah masyarakat. Kontroversi yang hangat dibicarakan bahkan pada titik tertentu direspons secara emosional adalah soal delik zina yang meliputi bab perzinahan, pemerkosaan, kumpul kebo, serta marital rape.
Tulisan ini akan mencoba memahami konstruksi pasal secara sosilogis dan filosofis dalam Bab Zina dan pencabulan, khususnya soal kriminalisasi kumpul kebo dan zina dalam pengertian RKUHP.
Sebagai sarjana hukum, saya patut merespons kontroversi RKUHP secara dingin dan akademis. Hal ini peru digaris-bawahi terlebih dahulu karena saya banyak membaca artikel media online yang terlalu asumtif.
Misalnya memberikan makna kriminalisasi sebagai bentuk negatif, terlalu mendasarkan penilaian dengan paradigma liberal, serta kurang mendalami pokok persoalan.
Tujuan pemberlakuan RKHUP adalah upaya dekolonisasi hukum pidana yang sampai tulisan ini dibuat Indonesia masih terikat dengan Wetboek van Straftrecht (Wvs) semenjak tahun 1915.
Dekolonisasi yang dimaksud adalah menghancurkan struktur hukum pidana kolonial yang dibuat tidak mendasarkan pada kondisi sosiologis dan filosofis bangsa Indonesia. Naskah akademik RKUHP kemudian menyebut proses pembaruan hukum pidana sebagai wujud restrukturasi dan rekonstruksi, yakni proses pembongkaran dan menata ulang.
Berangkat dari proses membongkar dan menata, ahli hukum pidana tidak memakai kacamata pemahaman 'barat' dalam mendefinisikan zina tetapi memakai kacamata keindonesiaan.
Prof. Seno Oemar Aji menyampaikan hukum pidana Indonesia perlu diberikan unsur-unsur agama, adat, dan sosial sesuai nilai-nilai yang tumbuh, berkembang, serta dijaga oleh masyarakat Indonesia. Cara berpikir demikian membawa akibat pada penerimaan definisi zina tidak lagi mengikuti KUHP Belanda, namun disesuaikan oleh pemahaman masyarakat kita.
Di sini penulis berasumsi para pembentuk undang-undang (wetgever) memakai pendekatan hukum mazhab sejarah dari Von Savigny tentang Volkgeist.
Volkgeist diartikan setiap bangsa memiliki nilai-nilai, karakter, dan keunikan tersendiri yang disebut jiwa bangsa. Disebabkan faktor sejarah, masyarakat Indonesia memahami zina adalah sesuatu yang tidak patut, maka perlu mendapatkan reaksi dari masyarakat berupa penilaian moral dan sosial.
Namun apa alasan zina perlu dikriminalisasikan?
Kriminalisasi zina merupakan upaya menjaga nilai-nilai keindonesiaan dan ketimuran agar tetap dijadikan pedoman moral masyarakat kita. Meskipun saat ini Indonesia tengah mengalami masa anomali, yakni ketika masyarakat belum sepenuhnya menerima nilai-nilai baru, tetapi di saat bersamaan juga masih menerima nilai-nilai lama. Kumpul kebo dan zina adalah nilai-nilai baru.
Diakui atau tidak, pada tataran formulasi hukum, kriminalisasi zina merupakan progresivitas pembangunan hukum nasional. Di sisi lain, pada tataran implementasi atau penegakan hukum (law enforcement) menjadi banyak persoalan karena ditakutkan akibat kriminalisasi zina menimbulkan ekses negatif.
Kemudian cara pandang zina melanggar ranah privat mengandung cacat konsep. Ranah privat dan publik bersumber dari pemahaman barat setelah peradaban Eropa mengalami keterpurukan oleh kekuasaan gereja yang saat itu terlalu mencampuri urusan privat.
Pemikiran publik dan privat adalah hasil evolusi pemikiran bangsa barat sehingga muncul ide hak asasi manusia yang bercorak individualistik. Corpus Iuris Civilis adalah kodifikasi pertama produk Romawi Kuno yang tidak memisahkan hukum publik dan privat.
Karya Plato Nomoi, selain mengandung ketentuan hukum Yunani Kuno, juga berisi tuntutan etis, moral, serta religius. Pemisahan privat dan publik adalah hasil dari sejarah traumatik bangsa barat dalam membentuk peradabannya.
Secara berlainan, Indonesia tidak pernah membedakan ranah publik dan privat. Jika pun saat ini kita meyakini ada ranah privat dan publik, itu disebabkan hegemoni dari pemikiran barat yang saat ini selalu disimpulkan lebih superior.
Sebelum kolonialisme Belanda berlangsung, masyarakat Indonesia tidak mengenal istilah hak milik (eigendom). Masyarakat Indonesia hanya mengenal hak ulayat, yakni hak mengambil manfaat atas tanah secara komunal. Setelah Belanda memberlakukan Agrarisch Wet 1870, struktur hak milik atas tanah Indonesia mengalami perubahan alih-alih penjajahan hukum.
Pemberlakuan konsep zina dalam RKUHP tidak dibuat dalam ruang hampa. Para ahli hukum pidana seperti Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi berusaha menyusun hukum pidana 'rasa' Indonesia yang memiliki muatan nilai historis, sosiologis, serta filosofis berdasarkan karakter bangsa (volkgeist).
Formalisasi zina dalam hukum positif untuk mengatur tingkah laku masyarakat agar tetap memegang teguh nilai-nilai keindonesiaan karena latar belakang pembentukan RKUHP brrtujuan memberikan perlindungan sosial (social defence). Perlindungan sosial yang dimaksud dimaknai pula termasuk melindungi nilai-nilai bangsa.
Terlepas dari kontroversi yang berkembang dalam ruang publik terkait RKUHP, pemberlakuan RKUHP merupakan hasil jerih payah selama setengah abad lebih. Sementara kita mengetahui masih banyak produk hukum kolonial yang masih berlaku seperti HIR, RbG, BW yang juga perlu direkonstruksi.
RKUHP bisa menandai awal dari pembangunan hukum nasional yang keindonesiaan.