Terminologi terorisme memiliki berbagai arti dan persepsi, tergantung dari mana kita melihatnya. Ada yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan Hamas adalah perjuangan melawan ketidakadilan di Gaza. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh mereka adalah pelanggaran hukum. Mereka adalah teroris. 

Arti ‘terorisme’ sendiri masih tidak jelas. Tidak ada panduan yang pasti mengenai arti ‘terorisme’ itu sendiri. FBI mendefiniskan ‘terorisme’ dengan:

“the unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or coerce a Government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives.”

Sementara dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2002 (yang sekarang sudah disahkan menjadi Undang Undang nomor 15 tahun 2003) tentang tindak pidana terorisme, definisi tindak pidana terorisme dijelaskan sebagai:

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman  kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas  kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau  mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang  strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional...”

Definisi-definisi di atas hanya sedikit dari sekian banyak definisi mengenai terorisme. Dari definisi di atas saja sudah tampak perbedannya yang mendasar. FBI mendefinisikan bahwa kegiatan terorisme memiliki suatu tujuan. Apakah itu tujuan politik atau sosial, yang jelas suatu aksi disebut aksi terorisme jika ia memiliki tujuan tertentu.

Sementara di dalam Perppu, sama sekali tidak disebut bahwa aksi terorisme memiliki suatu tujuan yang diperjuangkan oleh si pelaku. Jadi siapa pun, tanpa alasan atau tujuan, yang melakukan tindak kekerasan, ancaman sehingga menimbulkan ketakutan dan atau memakan korban, dilakukan secara sadar dengan juga merusak fasilitas umum, itu adalah suatu aksi terorisme.

Meskipun kedua definisi ini berbeda, namun seharusnya di tiap negara paling tidak ada satu definisi yang dijadikan panduan. Panduan untuk apa? Untuk banyak hal. Misalnya saja panduan bagi penegak hukum untuk menilai jika terjadi suatu insiden. Mereka dapat meniliai apakah itu termasuk tindak pidana terorisme atau tindak pidana kriminalitas lain.

Media pun perlu memakai panduan definisi dalam suatu wilayah negara. Dalam hal ini, kita bicara tentang wilayah Republik Indonesia. Artinya, media di Indonesia perlu memiliki konsensus terkait definisi ‘terorisme’.

Media sering menggunakan terminologi ‘terorisme’ hanya untuk kepentingan rating atau jika di media online, kepentingan ‘klik’ semata. Sekadar untuk membujuk orang membaca surat kabar dan menonton berita televisi. Pendidikan publik tentang terorisme adalah melalui media. Penyalahgunaan kata ini malah akan menghasilkan arti yang tidak jelas.

Peran media dalam mendidik publik tentang apa itu arti terorisme menjadi begitu penting. Tidak hanya penting bagi publik atau masyarakat umum namun juga dapat membuat komunikasi antar lembaga terkait urusan terorisme mendapatkan kata sepakat untuk menentukan suatu tindakan termasuk dalam ranah terorisme atau bukan.

Memang tidak mudah mendefinisikan terorisme. Mendefinisikan terorisme adalah komponen yang paling ambigu dalam studi terorisme. Tidak ada definisi yang diterima secara universal untuk membedakan serangan terhadap warga sipil tidak bersenjata atau militer bersenjata serta dapat memperhitungkan tren terbaru tujuan teroris dan perang.

Betapa pun sulitnya mendefiniskan ‘terorisme’, namun perlu suatu kesepakatan dalam negara beserta lembaga-lembaga terkait untuk masalah ini. Salah satu lembaganya adalah media, baik media konvensional maupun media sosial. Terutama media konvensional seperti televisi, surat kabar, radio dan media online. Perlu kesepakatan untuk menentukan definisi terorisme mana yang akan dipakai dalam siaran-siaran beritanya.

Misalnya, dalam suatu kejadian tindak kriminal seperti yang belum lama ini marak seperti begal. Terjadi di berbagai tempat di Jakarta, Depok, Tangerang, Lampung, Sumatera Selatan dan berbagai tempat lainnya. Modus operandinya bermacam-macam. Biasanya dilakukan dengan motor, dikerjakan oleh beberapa orang yang bekerja dalam dua atau tiga kelompok. Kegiatan mereka dari ‘hanya’ pencurian, merampok hingga membunuh korban. Korban yang dibunuh bisa siapa saja, dari warga biasa hingga polisi.

Apakah para begal ini menimbulkan keresahan pada masyarakat luas? Tentunya. Dalam pengamatan sepintas, baik melalui media konvensional, media sosial dan dalam percakapan sehari-hari, pada saat maraknya aksi begal ini, masyarakat cenderung gelisah.

Media pun mengangkat beberapa kasus begal ini ke ranah publik. Makin membuat masyarakat gelisah. Memang, bukan salah media sehingga masyarakat gelisah. Yang ingin ditekankan di sini adalah begal membuat gelisah massa.

Lalu pertanyaannya adalah, sesuai dengan definisi tindak pidana terorisme di Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, apakah begal dapat diartikan sebagai teroris? Karena sesuai definisi di sana, aksi terorisme akan menimbulkan kegelisahan atau rasa takut pada massa yang sifatnya meluas, begitu pun aksi-aksi begal yang memberikan efek ketakutan massa meluas. Begal pun merampas harta benda bahkan juga nyawa orang lain.

Jika begal tadi termasuk dari tindak pidana terorisme, seharusnya pula media menyiarkan berita tentang begal seperti layaknya berita tentang terorisme. Masalahnya, di media, begal ya begal, bukan teroris meskipun aksinya mirip dengan terorisme jika berdasarkan UU 15 tahun 2003.

Tindak kekerasan yang menghilangkan nyawa bukan hanya dengan bom yang biasa dilakukan oleh kelompok ‘teroris’. Dengan pistol rakitan atau samurai, nyawa pun dapat hilang. Berdasarkan Undang-Undang nomor 15, tidak disebutkan apakah penghilangan nyawa dengan menggunakan bom atau alat lain.

Jika media memakai definisi dari FBI, begal belum bisa dibilang aksi terorisme. Karena aksi begal tidak memiliki objektif politik, sementara suatu aksi terorisme menurut FBI harus memiliki tujuan politik tertentu. Definisi mana yang akan dipakai oleh media? Sejauh ini belum jelas. Oleh karena itu, para lembaga terkait anti terorisme di Indonesia perlu duduk bersama untuk menentukan definisi tersebut.

Media perlu konsisten mewartakan yang mana begal, mana bajing loncat, mana aksi terorisme. Karena ketiganya, berdasarkan Undang-Undang nomor 15, memiliki karakter aksi yang hampir mirip. Dengan konsistennya media dalam menerapkan definisi yang jelas terhadapa aksi terorisme, masyarakat akan lebih paham dalam melihat suatu aksi kekerasan atau kriminal.

Perlu dukungan banyak pihak terutama pemerintah untuk menyosialisasikan definisi terorisme kepada masyarakat melalui bantuan media, baik media konvensional maupun media sosial. Lembaga-lembaga anti terorisme seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri dan TNI akan dapat lebih mudah berkoordinasi jika Indonesia memiliki satu definisi yang jelas tentang aksi terorisme.

Definisi yang sangat mungkin berbeda dengan definsi yang dimiliki oleh negara atau lembaga asing lain. Pengkoordinasian ini akan lebih mudah jika dibantu dengan pendidikan dari media pada masyarakat. Sehingga nantinya akan dapat mengurangi salah paham di lapangan dan juga rasa saling curiga di ranah publik.

Terorisme bukan hanya orang dengan bom bunuh diri di badannya, atau orang bersorban dengan AK-47 di tangan kanannya, atau orang bertopeng dengan suara yang sudah direkayasa bicara tentang ancaman di YouTube.

Siapa pun, apa pun bentuk badan, warna kulit, ras dan agamanya yang melakukan aksi teror sesuai dengan Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 itu adalah teroris; seseorang, atau dengan kelompoknya, yang melakukan aksi terorisme. Mereka sudah layak dihukum sesuai undang-undang tersebut. Sudahkah kita semua tahu apa itu terorisme sesuai undang-undang?