... Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu.
Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini—sesuai dengan itu—menyatakan: bahwa prinsip kelima dari Negara kita, ialah Ketuhanan yang Berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.
Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa. (Bung Karno, pidato 1 Juni 1945).
Kutipan kalimat di atas adalah potongan dari pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang berisi konsep Ketuhanan sebagai bagian dari lima dasar negara, gagasan yang ia tawarkan di depan anggota sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan (BPUPK) pertama.
Kutipan kalimat itu dimaksudkan oleh Bung Karno untuk menjelaskan sifat bertuhan seperti apa yang seharusnya menjadi karakteristik sekaligus dasar bagi negara dan bangsa Indonesia.
Beberapa hari terakhir, gagasan Bung Karno tentang Trisila dan Ekasila yang juga ia sampaikan dalam pidatonya itu mendadak ramai diperbincangkan oleh berbagai elemen masyarakat di ruang publik.
Pemicunya adalah kabar tengah dirumuskannya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Sejak akses draft RUU HIP dibuka untuk publik, berbagai respons yang sebagian besar adalah kritik dan penolakan muncul.
Salah satu dari dua isu yang dianggap bermasalah adalah pencantuman gagasan Bung Karno tentang Trisila dan Ekasila dalam pasal 7 RUU HIP. Sebagian besar publik menilai ada upaya untuk mengganti Pancasila dengan Trisila dan Ekasila yang pada dasarnya baru sebatas gagasan pribadi Bung Karno.
Sensitivitas publik terusik terutama pada soal konsep Ketuhanan yang Berkebudayaan. Konsep itu dinilai bertentangan dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi apakah benar demikian?
Mari kita pahami dua konsep itu melalui kutipan pidato Bung Karno di atas. Dari kutipan pidato itu bisa diamati bahwa tidak ada maksud dari Bung Karno sebagai penggagasnya untuk menegasikan dua konsep itu satu sama lain.
Ia justru menggunakan keduanya untuk saling melengkapi dalam upaya menjabarkan konsep Ketuhanan sebagai bagian dari lima dasar negara. Hal itu dikarenakan Bung Karno sadar bahwa dua konsep itu pada hakikatnya berbeda dan justru saling melengkapi.
Dalam kutipan pidato itu dapat kita amati bahwa konsep Ketuhanan yang Berkebudayaan oleh Bung Karno digunakan untuk menjelaskan bagaimana seharusnya karakteristik bertuhan rakyat Indonesia sebagai hamba.
Sebagai sebuah bangsa yang mayoritas di dalamnya meyakini berbagai sistem religi, sudah sepatutnya menjadi hamba yang berbudaya dalam beribadah kepada Tuhan yang diyakini, yaitu bertuhan (beribadah) yang berbudi pekerti luhur, yang hormat-menghormati satu sama lain.
Sedangkan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Bung Karno digunakan untuk menjelaskan sifat Tuhan itu sendiri. Kalimat terakhir dalam kutipan pidato itu pun menegaskan bahwa asas Ketuhanan yang menjadi bagian dari lima dasar negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tidak ada kontradiksi di antara dua konsep itu karena Ketuhanan yang Berkebudayaan adalah harapan yang ditujukan oleh Bung Karno kepada perilaku bertuhan segenap manusia Indonesia sebagai bangsa.
Tetapi terlepas dari itu semua, gagasan tentang Pancasila, Trisila, dan Ekasila dalam pidato itu sebatas usulan pribadi Bung Karno untuk menjawab pertanyaan tentang apa dasar Negara Indonesia ketika merdeka. Sesuatu yang menjadi cikal bakal Pancasila sebagai dasar negara.
Pancasila yang lahir dari perdebatan, pertarungan gagasan, hingga kompromi yang berujung pada kesepakatan bentuk finalnya. Sebagai konsensus, Pancasila adalah jalan tengah yang tidak boleh ditarik-tarik lagi.
Oleh karena itu, melihat respon sebagian besar publik, perumusan RUU HIP oleh DPR RI patut untuk ditinjau ulang. Walaupun memiliki landasan historis dan rasional, memasukkan gagasan Bung Karno sebagai individu ke dalam Pancasila hari ini yang merupakan hasil kompromi para pendiri bangsa lainnya adalah tindakan yang kurang tepat.
Semoga melalui masalah ini kita sebagai sebuah bangsa bisa sama-sama belajar dan menjadi semakin paham sejarah, khususnya sejarah Pancasila.