Luka itu pedih, perih bahkan menyengat bila dibiarkan begitu saja tanpa ada pergerakan untuk mengobatinya. Sebagaimana hati yang memiliki perasaan yang mudah tergores. Kata-kata, sikap maupun janji bisa lebih menyakitkan daripada senjata, mudah patah hati dan sulit mekar kembali semangat itu bila yang dijalani adalah pura-pura santun memaafkan namun aslinya buruk. 

Ada masanya kita bisa memaafkan, tapi takkan bisa melupakan. Karena rasa sakit telah menjadi beban sejarah bagi mereka yang terkhianati. 

Memaafkan dari mulut belum tentu memaafkan secara nyata di dalam prasangka, sebab senyum tak berarti rasa senang melainkan bisa jadi pertanda ketidaksukaan. Karena sering kita menyadari bahwa memaafkan belum tentu mengembalikan suatu kepercayaan, memaafkan belum tentu 100% membuka kepercayaan baru, itulah kenapa kepercayaan seseorang paling utama dalam memegang prinsip persahabatan. 

Jangan sampai seseorang terluka dan tidak mempercayai karena akan sia-sia kata "maaf" itu. Mungkin momentum telah membawa manusia pada satu pergerakan sehingga seseorang menjalankan sesuatu sesuai dengan apa yang tengah trendi pada masa kini. 

Bermain di sosial media tanpa pertimbangan untuk menggunakan waktu sepenuhnya di dunia nyata sehingga menyebabkan seseorang itu terus berpikir mencari cara bagaimana agar dia selalu tampil mewah dengan apa yang ia miliki, berfoto bisa sampai berpuluh-puluh kali sampai menemukan foto yang terbaik sudah tak menjadi asing pada masa kekinian. 

Kemewahan yang kita pamerkan di sosial media belum tentu membuat publik dan manusia senang sepenuhnya, dan bisa berakibat jengkel bukan karena senang melihat orang senang dan susah melihat orang senang.

Kepercayaan adalah harga yang paling mahal karena takkan bisa didapat bagi mereka yang telah kecewa berat. Kita takkan mendapatkan kepercayaan yang sama bila telanjur sakit menerima pengkhianatan. Perhatikanlah di sekitar, lihatlah sekeliling dan refleksi terhadap diri kepribadian masing-masing begitu banyak hal yang tak terlupakan dari kenangan buruk itu.

Bagaimana sekiranya seseorang mengatakan tiada maaf bagimu, kututup segala maaf, kalaupun kumaafkan, maaf itu hanya sekadar diucapkan karena tidak bisa dihapus dari hati, sebab kesalahan itu membekas di dalam kenangan. 

Pertanyaannya adalah apakah orang tersebut suci suci? Kita menyadari secara seksama bahwa manusia zaman sekarang bukanlah nabi, apalagi malaikat yang mudah memberi maaf. Tuhan pun maha jeli dalam memberi maaf kepada hambanya.

Lalu datanglah seorang filsuf yang mengatakan dengan pertimbangan yang berulang-ulang: "Mohon maafkan mereka yang tidak meminta maaf, sebab mereka tak tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan."

Perlu digarisbawahi di sini bahwa menanti kata maaf itu bukan suatu tuntutan untuk menagih rasa bersalah seseorang, bahwa ia punya salah terhadap kita. Walaupun dia yang bersalah dan kita tersakiti, maka janganlah menegur terlalu keras bahwa ia punya salah dan harus minta maaf dengan segera.

Memaafkan itu bukan hanya dihari yang suci, walau kata suci itu masih menjadi pertanyaan bagi para Filsuf Transendental tentang apa sebenarnya suci dan tidak suci. Sebab memaafkan ialah merelakan tanpa menuntut suatu balasan agar bisa dimaafkan. 

Baca Juga: Maaf GM

Memaafkan tanpa meminta untuk dimaafkan lebih baik, daripada merasa benar tapi menuntut untuk minta maaf. Dari perkataan yang saya tulis tersebut, kita sebagai manusia harus terbuka dalam setiap pemikiran, membawa diri pada kemungkinan-kemungkinan baru yang belum kita lihat. Dan tugas para akademisi adalah membuka mata batin nalar manusia dari kungkungan keyakinan menuju cakrawala kebebasan berpikir dalam melahirkan pengetahuan baru.

Haruskah kata "maaf" itu dituntut agar bisa melupakan segala kesalahan? Saya rasa ini tergantung pada orangnya. Biasanya kalau orang yang bijak takkan mengingat-ingat kesalahan seseorang yang pernah menyakitinya, itu berarti dia telah memaafkan duluan sebelum kata maaf itu terucap dari yang berbuat salah.

Sebagai peminat bacaan buku-buku Filsafat, saya menyadari bahwa ada banyak hal-hal yang terlihat sederhana justru menjadi rumit karena banyaknya keraguan yang menimbulkan pertanyaan "kenapa dan mengapa" mengenai berbagai macam hal di dunia ini. Di dalam pemikiran saya, bahwa seseorang tak perlu menuntut kata maaf melainkan memaafkanlah terlebih dahulu.

Masing-masing dari kita pasti punya salah, pasti memiliki kekhilafan dalam berbuat, dan tak semua kesalahan itu sepenuhnya dihitung dosa dan pahalanya bagi masing-masing pribadi.

Jika Anda membaca sebuah buku dan tak mengerti mengenai maksud isi dari buku tersebut, maka jangan salahkan penulis dan buku tersebut, melainkan itu suatu pertanda bahwa otak tak mampu berpikir panjang. Artinya seseorang harus membiasakan dirinya membaca lebih banyak agar pemikiran analisisnya tajam memotong keyakinan takhayul.

Rasa sesal di dalam hati diam tak mau pergi, begitulah penggalan lirik lagu Iwan Fals yang selalu terngiang dalam ingatan kita tersebut. membawa pada suatu perenungan yang panjang bahwa bagaimana agar bisa memaafkan sementara luka telanjur menyakitkan untuk dimaafkan. 

Kita bisa saling memaafkan, namun korupsi tak pernah bisa untuk dimaafkan. Lalu bagaimana jika para koruptor tersenyum manis memasang baliho meminta maaf kepada masyarakat? Masyarakat tak pernah tahu apa kesalahannya namun kesadaran di dalam dirinya sendirilah yang menggerakkan diri untuk meminta maaf. Kita geram tak terpengaruh karena yang ia habiskan adalah jerih parah rakyat bersama. Akankah ia dapat dimaafkan?

Bila air mata telah menjadi beban kenangan, maka pedih yang tak kunjung menemukan akhir. Bila Tak mampu berubah sepenuhnya, janganlah meminta untuk dimaafkan bila kesalahan terus berulang. Karena bagaimanapun akan kecewa lebih besar bila terlalu menggebu. 

Ibarat kertas putih yang apabila kertas itu koyak karena sesuatu hal, maka sulit akan menyatu kertas yang koyak itu seperti semula, dan goresan itu akan membekas walaupun penuh upaya menghindari supaya putih, maka akan nampak buram kembali. 

Kehidupan adalah kenyamanan dalam menjalani hidup, bila hidup diisi dengan cercaan yang nyinyir dengan ungkapan yang tak pantas maka tiada kedamaiaan yang bisa didapat seseorang. Sebab bagaimanapun kesalahan tiada bisa terelakkan, menjadi suci tak sepenuhnya putih bersih.

Baca Juga: Negara dan Maaf