Isu kesehatan mental mulai terdengar lumrah di kalangan masyarakat. Sejak tahun 2019, isu ini seringkali diperbincangkan oleh banyak orang, terutama anak muda yang hampir semuanya sudah menggunakan gadget yang akses internetnya kencang. Telah muncul banyak komunitas, yayasan, bahkan aplikasi yang berfokus pada isu tersebut dan mengampanyekannya di akun sosial media masing-masing. Masyarakat pun kini telah berkenalan dengan istilah penyakit mental seperti depresi, Kecemasan (Anxiety), Bipolar, Skizofrenia, dan sebagainya.

Dari sini, tak jarang orang menjadi lebih penasaran dan mulai mengetikkan kata-kata tersebut di internet, lalu akan muncul ribuan artikel yang menjelaskannya. Konten-konten mengenai kesehatan mental, baik itu yang muncul dari seorang professional maupun dari seseorang yang ‘baru belajar kemarin sore’ pun akan kita temukan di berbagai media. Tentu, akses kita terhadap informasi mengenai isu terkini lebih cepat dan mudah diakses. Apakah infromasinya tepat dan akurat, itu belakangan. Namun, masyarakat, khususnya kaum muda, akan dengan mudah menikmati konten yang dibuat di media sosialnya tanpa perlu adanya proses filtrasi informasi, apalagi jika hal tersebut relevan dengan kondisi kehidupannya.

Dari semua fenomena di atas, maka kita bisa katakan bahwa kesadaran masyarakat akan kesehatan mental mulai menunjukkan tren yang meningkat. Tentu saja, hal ini tak serta merta menghilangkan stigma dan ketabuan bagi sebagian masyarakat mengenai gangguan mental. Masih banyak dari kita, khususunya yang telah dewasa dan tidak pernah mengalami situasi yang membuat mudah stress dan terpuruk seperti anak muda zaman sekarang, yang menganggap bahwa ketika mental kita anjlok, maka iman kita pun anjlok, dan seringkali mengarahkan kepada Tuhan dibanding melihat secara akeseluruhan permasalahan psikis yang sedang dialami individu tersebut.

Namun, tak jarang juga kita yang sudah sadar akan kesehatan mental, melebih-lebihkan kondisi psikis kita kepada orang lain. Seakan mengalami gangguan mental adalah suatu kondisi yang harus ‘dipamerkan‘ sehingga orang lain mau mengerti, seakan-akan yang menajdi tren bukanlah soal kampanye untuk membuat mental kita sehat, melainkan tren untuk bersama-sama kita memiliki kondisi mental yang anjlok. Tentu ini adalah sebuah hipotesis dari fenomena yang terjadi di masyarakat, mengenai tanggapan mereka terhadap isu kesehatan mental yang menghasilkan respon ekstrim dari masyarakat yanag kurang menyaring informasi yang mereka  terima.

Meluhurkan Kesehatan Mental

Munculnya film Joker tahun 2019, telah menanamkan memori yang melekat bagi masyarakat yang menontonnya. Khususnya soal depresi yang berbuah tindakan kriminal. Tren tersebut mendatangkan satu sikap baru, yaitu glorifikasi gangguan kesehatan mental. Glorifikasi dalam KBBI berarti perbuatan atau suatu proses dan cara yang meluhurkan dan memuliakan. Upartini, 2020, menyatakan bahwa kata glorifikasi merupakan padanan dari bahasa Inggris glorification yang memiliki kata asal glorify yang di dalam kamus Oxford memiliki makna :

1) exalt to heavenly glory; make glorious berarti ‘memuliakan hingga keagungan surgawi: membuat agung’; 2) transform into something more splendid berarti ‘mengubah menjadi sesuatu yang lebih hebat’; 3) extol; praise, berarti ‘mendewakan: mengagungkan’; 4) seeming or pretending to be more splendid than in reality berarti ‘tampak atau berpura-pura menjadi lebih hebat daripada kenyataan’.

Maka, dapat kita katakan bahwa glorifikasi gangguan mental adalah kegiatan yang mengagungkan, meluhurkan, memuliakan, atau melebih-lebihkan gangguan mental yang tidka sesuai dengan kondisi realitasnya.

Ternyata, tren positif soal informasi kesehatan mental yang meluas tak melulu menghasilkan output yang positif. Kemampuan masyarakat Indonesia untuk menyaring dan mengonfirmasi satu informasi dinilai masih minim.

Dilansir oleh Vice, penelusuran tagar #depressed di Instagram menghasilkan lebih dari 12 juta postingan. Di antara foto-foto, gif hitam-putih, foto-foto perempuan cantik lagi merokok, terlihat sejumlah foto sadboy bertato beserta teks “Tolong" dan “Aku ingin pergi.. selama-lamanya.” Seakan-akan kecemasan dan depresi adalah sebuah perasaan belaka yang bisa digambarkan melalui postingan kata-kata.

Media sosial yang tidak kredibel juga telah banyak mengunggah foto self-harm, membuat suicide note (surat bunuh diri) palsu lalu mem-postingnya ke media sosial. Hal tersebut merupakan hal-hal yang tidak perlu dan berbahaya karena bersifat triggering. Sayangnya, fenomena ini malah dianggap keren oleh sebagian anak muda pun menjadikan masyarakat yang mengonsumsinya dengan mudah menjustifikasi kondisi mental dirinya sendiri, atau yang dikenal dengan istilah self-diagnosis.

Self-Diagnosis

Self-diagnosis sendiri merupakan sebuah keputusan yang dipilih oleh individu dalam menentukan sebuah kondisi gangguan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya, berdasarkan jenis-jenis gejala yang sama yang mereka temukan di internet misalnya. Padahal, diagnosis gangguan mental hanya boleh dilakukan oleh Psikiater atau Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa dan Psikolog klinis.

Tentu terdapat beberapa bahaya dari menyimpulkan sendiri suatu gangguan mental yang dirasakan, karena akan berefek kepada langkah yang diambil untuk menyembuhkan dirinya. Seorang psikolog klinis, dr. Edo S. Jaya, menceritakan kalau beberapa pasiennya yang melakukan self diagnosis berujung menjadi pengguna narkotika dalam upaya mengobati diri. Padahal menurutnya, dia hanya memiliki “serangan panik” yang bisa ditangani dengan terapi psikologis satu sampai dua bulan.

Tren yang Menciptakan Stigma Baru

Efek yang dirasakan dari tren gangguan mental ini adalah munculnya stigma baru bagi penyintas yang sebenarnya. Padahal, jika kita banyak mendengar kisah dari mereka yang berjuang untuk sembuh dan sangat kesulitan menjalani kehidupan sehari-hari, kita akan berulangkali mengamini bahwa gangguan mental itu keren. Bagaimana bisa keren kalau orang yang mengalaminya saja tidak menginginkannya?

Tren ini memunculkan kelompok baru, yaitu orang-orang yang muak dengan kelompok yang sering meluhurkan gangguan mental. Akhirnya, kelompok ini seakan menyamaratakan bahwa semua penyintas gangguan mental menganggap gangguan yang dialaminya adalah sesuatu yang keren. Mereka memberi kesan meremehkan jika ada orang yang menyampaikan isu kesehatan mental, ataupun memberi informasi soal stress dan depresi yang dialami orang tersebut.

Meluhurkan vs Meremehkan

Untuk orang-orang yang meluhurkan gangguan mental, percayalah mengalami gangguan mental itu tidak sesimpel hal yang diposting oleh media sosial. Tidak semua penyintas gangguan mental melakukan self-harm dan bunuh diri apabila mereka mengalami stress atau depresi.

Kalau memang kalian merasa mental dan emosi kalian tidak stabil hingga mengganggu aktivitas sehari hari. Lalu, kebetulan gejala kalian mirip dengan postingan yang kalian baca, berhenti untuk langsung menyimpulkan apa-apa tentang diri. Kunjungi tenaga profesional, minimal konselor terlatih, untuk mencari bantuan supaya kalian tidak salah mengambil langkah untuk penyembuhan.

Untuk orang-orang yang mungkin menganggap remeh kesehatan mental seseorang, percayalah bahwa manusia itu sangat beragam dan kompleks. Kita perlu untuk memiliki empati, karena setiap orang memiliki masalah yang tidak bisa kita sepelekan. Hindari melakukan justifikasi kepada mereka yang (menurut kalian) memiliki masalah ringan, tetapi langsung merasa sedih. Ketika masalah ringan mereka tidak tertangani karena sering diremehkan, bagaimana jadinya mereka akan menghadapi masalah besar nantinya?

Seperti yang pernah dikatakan oleh Victor Frankl, salah satu tokoh Psikologi Humanistik, bahwa "Penderitaan manusia mirip dengan sifat dari gas. Jika gas dalam jumlah konstan dipompa ke dalam ruangan kosong, seberapa pun besarnya, ruangan itu akan dipenuhi oleh gas secara merata. Penderitaan memenuhi jiwa dan kesadaran kita tanpa peduli besar-kecilnya penderitaan tersebut. Penderitaan sifatnya sangat relatif."

Kesadaran penuh akan isu kesehatan mental ternyata masih harus melewati perjalanan panjang. Kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi mental manusia setiap detiknya dan bagaimana ketangguhan mereka dalam menghadapi setiap masalah. Seharusnya, kita lebih bijak dalam menanggapi berbagai isu yang tren