Dalam bulan ini, ada dua peristiwa terkait pajak dan regulasi yang menarik perhatian minat masyarakat Indonesia. Tentunya, dua peristiwa ini berkaitan dengan pemasukan yang akan masuk ke kas negara.
Pertama adalah Mahkamah Agung (MA) yang memutuskan untuk membatalkan Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Perhubungan nomor 26 tahun 2017 mengenai Angkutan Online. Peristiwa menarik pada posisi kedua adalah Pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang ingin menarik pajak dari bisnis online.
Penulis ingin membawakan dua kasus ini karena di saat kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menambah penghasilan melalui pekerjaan dengan jam kerja yang bisa ditentukan kembali bisa dilaksanakan, maksud baik tersebut kembali tertahan dengan rencana pengenaan pajak terhadap bisnis online tersebut.
Sepertinya, demi memenuhi janji-janji pembangunan yang agresif, akan lebih banyak masyarakat yang terpaksa bergantung kepada lowongan kerja yang bersifat formal karena secara perlahan kemudahan yang bisa ditemukan pada bisnis informal yang berbasis jaringan mulai diangkat demi mengejar capaian pajak.
Pemerintahan Joko Widodo secara tegas menyampaikan jika capaian pajak akan menjadi salah satu catatan keberhasilan dalam rezim pemerintahan ini. Sri Mulyani, yang menggantikan Bambang Brodjonegoro sebagai Menteri Keuangan, berjanji akan memenuhi kredibilitas APBN yang lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan target periode ini sekitar Rp 1.415 triliun.
Saat ini, tepatnya pada semester 1 2017, catatan pencapaian pajak mencapai Rp 601,1 triliun atau mencapai 46,8 % dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN Perubahan. Nantinya, sebagian besar dari porsi pajak yang diperoleh akan digunakan pada berbagai proyek infrastruktur untuk mendorong pemerataan perekonomian.
Namun, banyak orang yang melupakan jika berbagai upaya oleh pemerintah untuk menambah target pajak sama sekali dapat menganggu tren ekonomi terkini yang sekaligus membuka peluang kerja bagi ribuan orang yang membutuhkan penghasilan tambahan hanya dengan menyewakan motor, mobil atau rumah mereka, yakni sharing economy.
Sharing economy memiliki berbagai keunggulan yang terdiri dari memperluas akses dan kegunaan dari internet dari sekadar untuk berkomunikasi menjadi bagian dari sarana usaha, mempermudah pemetaan minat konsumen melalui big data, mengurangi prasyarat yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha, meningkatkan transparansi terutama soal tarif dan harga, serta mengurangi kebutuhan konsumen untuk mendapatkan kebutuhanya dengan mendatangi pusat perbelanjaan (Fellander, Ingram, Teigland, 2015).
Sharing economy seharusnya bisa berjalan bersama dengan Usaha Kecil Menengah (UKM), yang mulai menjadi primadona ekonomi sejak krisis ekonomi berakhir. Keterlibatan Pemerintah sangat kentara dalam sektor ini, seperti filosofi lima jari yang diluncurkan oleh Bank Indonesia. Lima jari melambangkan lima pihak yang berkontribusi untuk kemajuan UKM, yakni lembaga keuangan (bank) regulator, katalisator atau perusahaan penjamin kredit, fasilitator, dan UKM.
Dua tantangan terbesar, yakni kapasitas dan kapabilitas manajemen seperti belum mampu memisahkan mana yang dana usaha dan pribadi dan keterbatasan dalam penguasaan teknologi, serta pasar bebas akan menjadi hambatan potensial bagi UKM dalam mengembangkan bisnisnya (Sudaryanto, 2002). Diharapkan, pengelolaan yang lebih profesional bisa menjadikan sharing economy untuk mempekerjakan lebih banyak orang.
Penulis menawarkan pembaca untuk melihat dari sudut pandang Libertarian karena Libertarian mengajak untuk melihat pemerintah serta instrumennya sebagai hambatan bagi pembangunan. Akar dari pemikiran Libertarian dapat ditemukan dari Liberal Klasik.
Salah satu contoh dari pemikiran Liberal Klasik adalah gagasan Adam Smith yang menyebutkan peran pemerintah cukup untuk melindungi masyarakat dari ancaman keamanan, melindungi anggota masyarakat dari gangguan anggota yang lainnya, dan mengurusi urusan publik yang tidak mendatangkan laba.
Pajak yang dikenakan secara sembrono, bagi Libertarian, menyalahi tiga prinsip tersebut. Rothbard percaya secara sengaja pemerintah memunculkan masalah yang dinamakan dengan double counting.
Double counting merupakan situasi dimana semakin tinggi atau progresif pajak yang dikenakan oleh pemerintah seperti penghasilan, pajak barang mewah, pajak tanah dan sebagainya, akan semakin memperburuk situasi ekonomi ketika di saat yang sama meningkatkan penerimaan pemerintah.
Rothbard menegaskan harga sebuah komoditas sudah ditentukan dari jumlah produksi dan jumlah permintaan. Perusahaan tidak mungkin mengenakan tarif pajak terhadap pembeli untuk membuat mereka semakin kompetitif. Akhirnya, harga tetap sama dan laba yang diperoleh pengusaha terpotong untuk membayar pajak yang membuat mereka sulit melakukan perluasan usaha dan menyejahterakan pekerjanya seperti dengan asuransi (Rothbard,2001).
Selain double counting, Libertarian menganggap pajak dapat menimbulkan masalah baru bagi orang yang dikenakan tugas tersebut, yakni terancam kehilangan pekerjaannya. Nozick menganggap pajak menempatkan si pembayar pada posisi budak dan tuan. Segala tindakan untuk menghindari pajak dapat berarti hukuman, bahkan membuatnya kehilangan pekerjaan.
Meskipun para kritikus menganggap pajak merupakan hal yang dibutuhkan untuk mendapatkan hal yan dibutuhkan dalam kehidupan beradab, seperti listrik, jalan, dan fasilitas lainnya, Nozick tetap menganggap bahwa porsi pendapatan yang dibayarkan melalui pajak akan lebih baik jika dikelola oleh dirinya sendiri (Feser, 2001).
Menurut hemat saya, sharing economy yang berwujud bisnis jaringan memberikan kendali yang lebih besar bagi para pengguna untuk mempromosikan barang dan jasa dengan peralatan yang minimal, seperti telepon genggam yang disertai dengan kamera.
Mengingat tidak ada gerai fisik yang melibatkan penggunaan tanah, sudah seharusnya para pengguna hanya dikenakan oleh biaya admin dengan pengelola situs, karena mengenakan pajak kepada objek pajak yang tidak berwujud merupakan hal yang sulit dilakukan dan perlu dilakukan koordinasi dengan Kementerian yang terkait.
Perlu diketahui, sektor perdagangan adalah sektor yang memiliki banyak peminat bagi orang yang baru saja mengalami PHK dan peniadaan pembayaran pajak untuk objek retail yakni ‘gerai’ yang digunakan untuk berjualan bisa digunakan untuk perluasan usaha dan promosi dan lebih lanjut.
Pencabutan larangan angkutan online oleh MA memperlihatkan gugatan yang dilakukan oleh Sutarno, Endru, Herman Susanto, Iwanto, Bayu Sarwo Aji dan Handoyo pada 22 Agustus 2017 menunjukkan semangat Libertarian. Dalam berita Detik.com yang berjudul 8 Argumen Pencabutan Aturan Taksi Online yang Dikabulkan MA, dijelaskan mengenai berbagai argumen yang mematahkan asumsi-asumsi yang dipaparkan Peraturan Menteri Perhubungan.
Kedelapan argumen ini secara solid membuktikan pemerintah menganggu persaingan secara sehat dengan menetapkan berbagai tindakan diskriminatif terhadap kegiatan sharing economy.
Salah satu contohnya, tarif batas atas dan batas bawah tidak memberikan persaingan sehat bagi pelaku usaha, karena pengusaha UMKM yang seharusnya dapat memberikan tarif murah harus menaikkan tarif yang diakibatkan biaya tinggi seperti halnya yang terjadi dengan taksi konvensional.
Sudah menjadi rahasia umum, longgarnya kendali kepada angkutan umum seperti taksi dalam penggunaan argo sering memicu perlakuan tidak adil pada penumpang. Koreksi baru dilakukan setelah ada kendali sosial seperti melalui media sosial.
Berbeda dengan sharing economy yang memiliki fasilitas feedback yang terintegrasi langsung dengan aplikasi. Fasilitas ini akan sia-sia apabila sharing economy menjadi lebih mahal karena biaya atas bawah yang tidak dikenakan kepada angkutan lain.
Daftar Pustaka:
Anna Fellander, Claire Ingram, Robin Teigland, Sharing Economy : Embracing Change With Caution, 2015, Etreprenorkapsforum
Edward Feser, Taxation, Forced Labor,and Theft, 200, Loyola Marymount University
Murray Rothbard, Man, Economy, and State, 2001, Ludwig von Mises Institute
Sudaryanto, Ragimun dan Rahma Rina Wijayanti, Strategi Pemberdayaan UMKM Menghadapi Pasar Bebas Asean, 2002, Universitas Jember