Pernahkah Anda mendengar kalimat yang berbunyi “media mempertunjukkan kepada masyarakat tentang dunia”? Kalimat ini ditulis oleh O’Shaughnessy dan Stadler dalam bukunya yang berjudul Media and Society.

Kalimat ini hendak memperlihatkan pada kita bahwa media menunjukkan penggambarannya (representasi) pada masyarakat lewat media massa. Kemudian media melalui intepretasinya berusaha memberikan penjelasan agar masyarakat dapat memahami dunia dari kacamata media. Setelah itu ada evaluasi yang dilakukan media sehingga ada realitas, isu ataupun identitas yang lebih diangkat dan ada pula isu atau realitas yang diturunkan. Hal ini semata untuk membuka kerangka penilaian dari masyarakat terkait informasi tentang dunia.

Tidak dapat dipungkiri semenjak Pemilukada DKI Jakarta 2017, isu SARA khususnya etnisitas mendapat porsi yang besar di media. Khususnya dalam hal ini mengenai orang Indonesia yang peranakan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tionghoa.

Sebelum istilah Tionghoa populer seperti saat ini, ternyata pada era Pemerintahan Hindia Belanda istilah “chinezeen” lebih populer untuk menyebut peranakan. Ong (dikutip oleh Tan, 2008) mengatakan terminologi Tionghoa yang berasal dari bahasa Hokkian baru muncul di kalangan komunitas tersebut ketika muncul harga diri dan identitas sebagai “chineseness.”

Akhir-akhir ini saya mengamati kolom komentar pada berita di media online. Salah satu berita yang tahun 2016 heboh ialah datangnya 10 juta tenaga kerja asal China di Indonesia. Meskipun pemerintah menepis dan mengatakan berita tersebut hoax, namun warganet telah ramai memperbincangkannya. Tak sedikit pula ujaran kebencian bernada SARA muncul akibat berita tersebut.

Di tahun 2017 yang merupakan tahun politik, ungkapan berbau rasis dan ujaran kebencian model baru muncul lagi dengan lahirnya istilah Aseng. Istilah ini menjadi populer mulai terkumandang di kolom-kolom komentar media online. Aseng sendiri mengacu pada China yang dikonotasikan sebagai orang beretnis Tionghoa.

Saya menjadi bertanya-tanya mengapa ungkapan bernada kebencian yang di alamatkan pada orang Indonesia beretnis Tionghoa yang keberadaannya sudah ada jauh sebelum kolonialisme Pemerintah Hindia Belanda masih ada hingga saat ini? Apakah sentimen ini hanya berdasarkan kisah historis pengelompokkan kelas masyarakat di era Pemerintah Kolonial Belanda hingga Orde Baru? Atau jangan-jangan ini buah evaluasi pemikiran masyarakat melalui penggambaran etnis Tionghoa dari media yang mereka konsumsi?

Oleh karena itu, dalam tulisan ini setidaknya penulis akan membahas penggambaran etnis Tionghoa di empat media yang ada di Indonesia.

Penggambaran Etnis Tionghoa pada Film

Pernahkan Anda melihat film berjudul Babi Buta yang Ingin Terbang? Film garapan Edwin ini dirilis pada tahun 2008. Film berdurasi 77 menit ini di bintangi oleh Ladya Cheryl, Pong Harjatmo, Andhara Erly, Joko Anwar, dan Carlo Genta.

Film ini mengambil setting di era Orde Baru yang mengisahkan problema beberapa orang beretnis Tionghoa. Ada sosok Linda dan Cahyono yang sudah berteman sejak SD. Linda adalah seorang Tionghoa dan Cahyono adalah seorang Manado. Namun karena wajahnya mirip seperti orang Tionghoa, Cahyono kerap mendapat intimidasi. Ada juga sosok Halim yang merupakan dokter gigi. Ia ingin sekali meninggalkan ketionghoaannya dengan menikahi Salma dan memilih memeluk Islam. Lalu ada Verawati yang merupakan atlet bulutangkis Indonesia berdarah Tionghoa yang dipertanyakan keindonesiaannya.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rio Febrianur Rachman (2014) berjudul Representasi Diskriminasi Etnis Tionghoa dalam Film Babi Buta yang Ingin Terbang terlihat beberapa bentuk diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa. Pertama perasaan dianggap liyan atau berbeda dari orang Indonesia kebanyakan. Kedua, perasaan rendah diri sebagai imbas dari isolasi sosial. ketiga terjadi kekerasan pada etnis Tionghoa. Keempat, keterpojokkan etnis di mata masyarakat (Rachman, 2014)

Salah satu scene yang menarik adalah ketika Cahyono yang memiliki mata sipit dijuluki oleh sekelompok anak-anak kampung dengan sebutan babi. Meski bukan orang Tionghoa, Cahyono yang berkulit putih menjadi bahan ejekan dan ingin melepaskan diri dari stereotip yang melekat di mata masyarakat.

Film kedua yang mengupas gambaran diskriminasi orang Tionghoa adalah Ngenest. Film yang di sutradarai Ernest Prakasa, seorang komedian ini di rilis tahun 2015. Film ini menceritakan pengalaman Ernest Prakasa sebagai orang Tionghoa yang telah mendapatkan diskriminasi sejak masih kanak-kanak. Oleh karenanya Ernest bertekad agar keturunannya tidak merasakan diskriminasi yang dialaminya. Untuk itu Ernest memutuskan untuk tidak menikahi wanita Tionghoa.

Dalam film ini Ernest kecil digambarkan sering mendapat perlakuan tidak adil, seperti dipalak oleh teman sekolahnya dan di sebut “cina.” Kemudian ketika dewasa Ernest yang memutuskan untuk menikahi wanita bernama Meira (gadis berdarah Jawa Sunda) mendapat penolakkan dari ayah Meira yang trauma nyaris bangkrut ditipu orang Tionghoa.

Melalui film ini, Ernest ingin menceritakan trauma yang dialaminya ketika masih kanak-kanak. Bagaimana Ernest yang tidak memiliki banyak teman dan hanya menceritakan masalahan yang dihadapinya pada Patrick (pria beretnis Tionghoa) yang sudah dikenalnya sejak kecil.

Penggambaran Etnis Tionghoa Lewat Komedi

Salah satu jenis komedi kontemporer yang namanya melejit di Indonesia adalah stand up comedy. Salah satu komedian yang namanya melambung berkat membahas penggambaran etnis Tionghoa ialah Ernest Prakasa. Juara 3 Stand Up Comedy Indonesia yang di tayangkan di Kompas TV ini menjadikan ejekan serta bullying yang dialaminya di masa kecil sebagai bahan lawakan di atas panggung.

Salah satu lawakan Ernest menyinggung Ahok yang menjadi wakil Gubernur di DKI Jakarta. Hal ini bagi Ernest tidak pernah bisa dia bayangkan sebelumnya. “Dulu lo katain gue cina…cina, noh sekarang rasain wakil gubernur lo Cina.” Lawakan ini sontak membuat penonton tertawa terbahak-bahak.

Ernest mengajak penonton untuk ikut menertawakan ketionghoaannya dan isu-isu seputar etnis Tionghoa di Indonesia. Setidaknya lewat lawakan ini mengingatkan pada masyarakat terkait ujaran kebencian maupun stereotip yang selama ini kerap dialamatkan pada etnis Tionghoa.

Penggambaran Etnis Tionghoa pada Novel 

Salah satu novelis yang mengangkat isu Tionghoa ialah Clara Ng. Clara Ng menulis novel berjudul Dimsum Terakhir yang terbit tahun 2006. Novel ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama dengan ketebalan 361 halaman.

Dimsum Terakhir bercerita mengenai keluarga Nung Atasana yang melakukan tradisi membuat dan menikmati dimsum saat fajar menjelang Tahun Baru Imlek. Nung Atasana dan istrinya adalah keluarga Tionghoa yang memiliki empat anak kembar: Siska, Indah, Rosi dan Novera.

Meski kembar, keempat anak Nung memiliki kepribadian dan kehidupan percintaan yang berbeda. Ketika Nung jatuh sakit, keempat anaknya berusaha merawat dan merayakan Imlek dengan menyantap dimsum yang mungkin saja akan menjadi dimsum terakhir kebersamaan mereka.

Meski ceritanya terbilang sederhana namun beberapa isu Tionghoa di bahas dalam novel tersebut. Salah satu penelitian yang mengaji novel tersebut ialah Vettyara Kharisma yang berjudul Hegemoni Negara terhadap Warga Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir Karya Clara Ng yang dipublikasikan tahun 2018.

Peneltian tersebut melihat adanya unsur diksriminasi yang berusaha di kupas oleh Clara Ng sebagai penulis novel. Sementara itu Kharisma melihat novel tersebut memiliki unsur hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah. Bentuk hegemoni ini sebagai wujud ketidakpercayaan pemerintah pada nasionalisme orang Tionghoa. Wujud nyata diskriminasi tersebut ialah pelarangan ekspresi dan adanya seperangkat aturan yang membatasi warga etnis Tionghoa. Dalam novel tersebut ada pula ejekan yang dialamatkan pada orang Tionghoa dan adanya demo menolak orang Tionghoa di Indonesia. Belum lagi adanya pelabelan yang dilakukan pemerintah pada KTP orang Tionghoa.

Penggambaran Etnis Tionghoa pada Media Online 

            Tidak dapat dipungkiri media online menyediakan beragam alternatif bacaan dan informasi, lebih lengkap, cepat dan tentu saja dapat dikonvergensikan dalam bentuk teks, gambar maupun video.

Namun media online juga memiliki andil dalam membentuk opini masyarakat. Hamad (2004) mengatakan pembentukan opini publik dilakukan untuk mengubah persepsi khalayak mengenai masalah yang dibicarakan oleh aktor politik. Hal ini tercermin pada tiga kegiatannya, yakni menggunakan simbol-simbol politik (language of politic), melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategies), dan melakukan fungsi agenda media (agenda setting function).

Salah satu penelitian yang membahas framing etnis Tionghoa pada media online ialah Rebecca Santosa. Judul penelitiannya ialah Analisis Framing Pemberitaan Etnis Tionghoa dalam Media Online Republika di Bulan Februari 2016. Pada penelitian ini Santosa (2016) menyimpulkan bahwa framing berita terhadap etnis Tionghoa di Republika terkait perayaan Imlek.

Setelah menganalisa dua belas berita, label yang ditonjolkan ialah etnis Tionghoa boros, royal, berprofesi sebagai pedagang, dan eksklusif. Disamping itu Republika berusaha memberi solusi terkait perayaan Imlek, seperti silaturahmi, perayaan sederhana dan simbol pluralis. Framing ini juga berkaitan dengan ideologi media yang dibawa oleh Republika.

Dari penggambaran terhadap etnis Tionghoa di media, penulis mendapat kesimpulan bahwa stereotip dan diskriminasi masih menjadi topik hangat yang dibahas pada media-media di Indonesia, baik di film, novel, acara komedi maupun media online. Meskipun menampilkan sisi diskriminatif dan masih melekatnya stereotip namun hal tersebut untuk menyadarkan masyarakat sebagai penikmat media bahwa masih ada tantangan yang di hadapi oleh etnis Tionghoa.

Tantangan tersebut tak lantas hilang hanya karena Indonesia sudah memasuki era Reformasi. Masih ada tantangan berupa sentimen berbentuk ujaran kebencian dan stereotip yang terus berganti mengikuti rezim yang berkuasa.