Sedang bicara bersimpati dengan kubu 01, tiba-tiba disergah sebagai "Cebong" oleh teman atau orang lain yang pilih 02. Begitu juga ketika gemas menjelaskan bukti fakta dari hoaks yang ditebarkan pendukung 02, tiba-tiba keluar kata "Kampret". 

Masih banyak sederet istilah yang saling hina untuk merepresentasikan kekesalannya. Sudah tidak tedeng aling-aling, di lingkup publik, caci maki itu vulgar berlangsung.

Sederet istilah yang ditemui selama kampanye Pilpres 2019 lainnya, di antaranya: Kaum Bumi Datar, Kaum Sumbu Pendek, Kelas Menengah Ngehe, Bani Micin, IQ 200 Sekolam, Mukidi, dan masih banyak lagi.

Politik di era media sosial sudah mengesampingkan sajian formal dan santun propagandanya meyakinkan khalayak. Politik di era media sosial justru melihat sentimen pasar dan trend di masyarakat yang dengan mudahnya dikelola untuk menghakimi dengan cara mencibir lawannya. 

Hal ini tidak ditemui pada media mainstream yang punya proses editing mengemban etika jurnalistiknya.

Menurut pengajar dan peneliti di Pusat Kajian Komunikasi UI, Clara Endah Triastuti, kini pengguna internet memang tidak hanya mengonsumsi konten, tapi juga menjadi pencipta konten.

Perbincangan politik di media sosial jauh dari formal karena tak laku untuk dibaca. Para politisinya malah leluasa memainkan perasaan netizen karena channel-nya straight menyentuh emosi para pemilik akun yang notabene target audience mereka. 

Kemasan kalimat di media sosial harus populer meski receh, hingga bertumbuhan bahasa sentimen lainnya dipergunakan di ranah publik. Alasan paling mendasar mereka melakukan itu adalah sikap sense of belonging dan sifat ego sentris hingga mereka bebas berpendapat dan mengeluarkan pikiran di akunnya.

Perspektif menangkap makna tersebut kemudian dibiarkan berkembang atau dikembangkan oleh netizen. Maka kebiasaan mencemooh politisi menjadi kebiasaan menular. Ditambah maraknya tim cyber army yang menyetir opini netizen dengan konten-konten keberpihakannya.

Asal mula "cebong" sendiri diambil dari hobi Presiden Jokowi yang gemar memelihara katak di rumah. Tujuannya untuk mendapatkan suara alami sebagaimana alam pedesaan. Bahkan memelihara katak tersebut terbawa hingga Presiden Jokowi masuk istana. 

Kreativitas satire berkembang, menghubung-hubungkan pengikut Jokowi adalah anak-anak katak alias kecebong. Istilah ini kemudian lekat disematkan sebagai olok-ngolok pendukung Jokowi sejak 2014.

Begitu pula yang terjadi pada kemunculan istilah "kampret" untuk pendukung 02. Ketika kemenangan Jokowi menjadi Presiden 2014, di level legislatif, terbentuk Koalisi Merah Putih atau disingkat KMP sebagai oposisi pemerintah. 

Tindakannya yang sering melempar opini untuk mengkritik kebijakan dan (bahkan) kebiasaan pribadi Presiden Jokowi membuat pendukung Jokowi gemas. Singkatan KMP ditambahkan kalimat belakangnya menjadi KMPret.

Kreativitas satire itu bukan terjadi saat ini saja. Sudah ada sebelumnya di mana politik memanfaatkan istilah yang kemudian populer di masyarakat. Misalkan saja Partai Keadilan Sejahtera menjadi Partai Sapi. Ini karena Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq terjerat kasus korupsi impor daging sapi di tahun 2013.

Ada lagi penggunaan nama binatang pada kasus KPK-Polisi. Pencetusnya adalah Susno Duadji ketika diwawancarai Majalah Tempo dan dinaik-cetakkan di edisi 20/ XXXVIII 06 Juli 2009. 

Headline Majalah Tempo berjudul Cicak vs Buaya sontak membuat heboh masyarakat. Istilah tersebut terjadi pasca penyelidikan mantan Ketua KPK Antasari Azhar, di mana Susno Duadji terkena penyadapan oleh KPK atas kasus penyuapan Bank Century.

Istilah "Kerbau" atau "Kebo" muncul di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ikhwalnya adalah pada demo mahasiswa di 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, 28 Januari 2010, membawa kerbau bertuliskan di tubuhnya “Si BuYa” dan bagian bokong kerbau ditempeli gambar pria berpeci dengan tulisan bernada seruan “Turun!”

SBY sangat tersinggung dengan kerbau yang diberi nama Si BuYa tersebut. Dalam wawancara di acara Rosi dan Keluarga SBY di Kompas TV 12/8/2017, istri SBY, Ani Yudhoyono, mengaku sebutan kerbau yang ditujukan pada suaminya sangat menyakitkannya. 

"Kalau fitnah, kemudian hinaan yang saya sendiri tidak bisa menahannya, terutama ya mungkin semua rakyat Indonesia masih ingat, seekor kerbau ditulisi SBY menyakitkan sekali di hati saya. Itulah kenapa saya sampai menangis," ujarnya dalam wawancara itu.

Binatang dalam politik mengingatkan tentang karya Kuntowijoyo yang menerbitkan kumpulan cerita: Mengusir Matahari: Fabel-Fabel Politik

Untuk fabel politik, Kuntowijoyo rajin menulis dan diterbitkan mingguan oleh Majalah Ummat sejak 1997 hingga 1999. Dalam kurun waktu tersebut, dihimpun ada 89 fabel kemudian dirangkum dalam sebuah buku bertajuk: Mengusir Matahari.

Dalam pengantarnya di bukunya tersebut, dituliskan maksud diterbitkan bukunya tersebut: “Cerpen hanya dibaca peminat cerita pendek, artikel-artikel politik hanya dibaca peminat analisis politik.”

Politik sendiri, dalam perbincangan dan perdebatan, sering menggunakan kode, simbol, dan kata kunci. Di masa Orde Baru, blak-blakan berarti mencari perkara dengan pemerintah. Kuntowijoyo memainkan pemikirannya dengan analogi fabel untuk meng-eufemisme-kan tulisan politiknya. Kecocokan cerita dengan peristiwa yang terjadi diserahkan kepada pembacanya.

Seniman kelahiran Jember, Agus Hadi Sudjiwo alias Sudhiwo Tejo, turut mengomentari fenomena Cebong-Kampret pada TribunNews.com. "Anoman lahir dari cebong, Retno Anjani (ibunda hanoman) bertapa sebagai katak waktu itu. Sehingga ia melahirkan Hanoman," jelas Sudjiwo.

"Kampret, kata siapa otak kampret terbalik? Bumi mencintai kampret. Justru dengan otak terbalik disayangi bumi pertiwi. Kalau berdiri malah kamu tidak sadar karena langsung bersentuhan dengan bumi," jelas Sujiwo Tejo.

Kapan kutukan Cebong-Kampret lepas?

Thomas Hobbes menyebutkan Homo Homini Lupus. Artinya, manusia adalah serigala bagi sesamanya. 

Selagi kepentingan politik dan nafsu kekuasaan untuk saling menjatuhkan masih diidap politisi dan elite, maka sifat binatang dalam diri pelakunya tak akan pernah hilang. Bahkan jika hal tersebut terus berlangsung, maka akan jadi kutukan keturunan yang diidap juga oleh rakyatnya sebagai masyarakat pencemooh.   

Kutukan Cebong-Kampret akan sirna jika dari diri sendiri berhasil mengatasi masalah merendahkan orang lain.

Bisa? Ya, harus bisa. Ini, kan, Ramadan, waktu paling tepat belajar mengontrol dan menahan diri.