Perhelatan pesta demokrasi lima tahunan sedang di depan mata. Indonesia kembali dihadapkan dengan momentum politik akbar, memilih presiden dan wakil presiden 2019-2024. Namun, tak semua kalangan menyambutnya dengan gempita, bahkan terbilang mengalami “kelesuan” politik.
Kelesuan politik tersebut terlihat dari banyaknya isu politik yang stagnan, seperti kampanye agama, golongan dan ras, yang sebetulnya tidak merepresentasikan demokrasi produktif.
Selain itu, pembangunan demokratisasi pemilu Indonesia 2019 sentralistik, yang hanya terlihat ramai di pulau Jawa saja, seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Pada gilirannya, magnet tersebut secara perlahan menarik perhatian publik terhadap kontelasi pertarungan politik pemilu, yang hanya terfokus Jawa saja, sedangkan pembangun demokrasi di Indonesia melalui pemilu haruslah menyeluruh.
Pada bagian ini, ada kecenderungan pengendapan dan ketidakmerataan informasi pemilu, yang berpengaruh pada pendidikan politik masyarakat, yang cenderung stagnan dan menjadi akar munculnya sikap apatis masyarakat terhadap pemilihan.
Selain itu, kreasi dan inovasi sosialisasi pemilu oleh Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu), hemat penulis, memiliki andil terhadap menurunnya gairah pemilu 2019 mendatang. Komponen ketiga ialah kemampuan para calon yang berkompetisi, yang kurang menyentuh sub-sosial politik masyarakat.
Oleh karena itu, kelesuan politik harus diwaspadai dalam kerangka pembangunan demokrasi ke depan. Pasalnya, kondisi demikian menandakan adanya ancaman laten berupa minimnya partisipasi publik di perhelatan pesta demokrasi lima tahunan yang belum terjawab dengan tuntas.
The Real Enemy
Lalu siapa musuh sesungguhnya di pemilu 2019 mendatang? Pertanyaan ini hampir tidak terlintas sebelumnya.
Menghadapi pemilu nanti, semua orang mengira lawan sesungguhnya ialah antara petahana dan non-petahana, atau calon yang diukur dengan hasil selisih di sejumlah lembaga survei. Padahal tidak sesederhana itu jika melihat ancaman demokrasi di Indonesia saat ini.
Tampaknya musuh dalam pemilu bukan soal siapa kontestan di dalamnya, melainkan minimnya angka partisipasi politik masyarakat. Sebab, partisipasi masyarakat dalam pemilihan merupakan perwujudan hak-hak politik sebagai warga negara, yang seyogianya diperhatikan dengan serius, terutama bagi para penyelenggara pemilu (KPU), calon, dan elite politik, untuk membawa misi pembangunan kesadaran partisipasi politik masyarakat.
Berkaca pada pemilu 2014 lalu, angka golput terbilang masih tinggi, yaitu 30,42%. Artinya, pemilu 2019 akan cenderung sama dengan sebelumnya, bahkan bisa bertambah lebih besar lagi bila tiga sentralisasi pembangunan demokrasi, penyegaran bentuk sosialisasi, dan kemampuan para calon yang berkontestasi tidak kunjung berubah.
Kondisi tersebut perlu diwaspadai sebagai ancaman terhadap demokrasi,
Menggeliatkan Demokrasi
Pemilu merupakan salah satu instrumen penyerapan aspirasi politik masyarakat, yang dilakukan dengan cara melibatkan masyarakat secara langsung dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Itu sebabnya, pemilu dengan sistem yang ada, dalam perjalanan demokrasi Indonesia sampai saat ini, dianggap urgen dilaksanakan.
Pelaksanaan pemilu yang semakin fair dan terbuka terus mendapat sorotan oleh sejumlah pihak. Sentralisasi perhatian masyarakat terhadap pemilu yang terjadi saat ini tak luput dari perhatian. Pasalnya, dinamika politik yang terjadi dapat menjadi kerikil pelaksanaan yang dicitakan bersama.
Tugas baru bagi pelaksana demokrasi, yakni Pemerintah dan DPR sebagai pemangku kebijakan dan regulasi, KPU-Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara, dan Partai Politik sebagai modernisasi sekaligus pemantapan pendidikan politik, agar secara masif melakukan mobilisasi pendidikan dan melek politik sampai ke grass root.
Kemudian, para calon dituntut lebih kreatif bersosialisasi dan kampanye secara sehat, untuk menarik kembali perhatian masyarakat di daerah-daerah lain. Tujuannya, mendongkrak partisipasi masyarakat melalui pendidikan politik berkelanjutan.
Selain itu, posisi media massa diharapkan ikut ambil peranan menyukseskan pemilu yang sehat dengan informasi yang akurat dan mendidik.
Semua ini merupakan agenda pembangunan demokrasi pemilu mendatang. Dalam kerangka itulah para pelaku dan elite politik daerah dituntut sebuah pembangunan politik jangka panjang (investasi politik), yang tidak hanya di titik-beratkan pada popularitas calon, melainkan lebih pada potensi, profesionalisme, kepemimpinan visioner, dan kapabilitas calon, yang dibangun melalui proses adaptasi, interaksi, dan komunikasi para calon dengan masyarakat.
Oleh karena itu, pemilu 2019 mesti didukung dengan potensi dan penyelenggaraan yang prima, meninggalkan gonjang-ganjing perdebatan pembodohan masyarakat, mengedepankan kemaslahatan bersama, untuk bangsa yang cerdas politik.