Robert Malthus dalam tulisannya principle of population mengemukakan sebuah teori bahwa laju pertumbuhan penduduk itu seperti deret ukur dan laju petumbuhan pangan seperti deret hitung. Kata-kata ini seperti menjadi kutukan dan benar-benar terjadi pada populasi manusia di Bumi. Jumlah penduduk dunia yang telah mencapai sekitar 6,5 miliar orang dan terjadi kelaparan parah di berbagai negara mengindikasikan kebenaran teori Malthus ini.
FAO memprediksi krisis pangan ini akan semakin meningkat beberapa tahun ke depan dan memperingatkan negara-negara di dunia untuk bersiap menghadapi masalah ini. Kondisi ini semakin diperparah dengan perubahan iklim seperti peningkatan suhu, perubahan curah hujan dan terjadinya bencana dimana-dimana sehingga membuat turunnya produksi pangan di dunia. Tidak adanya langkah konkrit beberapa negara yang mengalami krisis pangan untuk menghadapi masalah ini menjadi ancaman kelaparan ini semakin menakutkan.
Bagaimana di Indonesia?. Bung Karno mengingatkan kita bahwa soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa. Setelah kejayaan menjadi macan asia di era Soeharto, Indonesia mengalami penurunan di sektor pertanian terutama padi. Impor beras masih menjadi perbincangan hangat beberapa tahun belakangan ini. Lahan-lahan pertanian banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan dan industri. Masih banyak terjadi kelaparan di berbagai daerah, misalkan di Asmat yang menjadi topik perbincangan akhir-akhir ini. Berdasarkan riset Global Hunger Index (GHI), tingkat kelaparan Indonesia masih berada pada level yang serius yaitu mencapai 21,9% pada tahun 2016.
Krisis pangan ini harus dihadapi dengan menghasilkan produksi pangan yang stabil bahkan meningkat setiap tahunnya guna memenuhi kebutuhan penduduk yang meningkat pula. Segala upaya telah digunakan dalam bidang pertanian untuk meningkatkan produksi pertanian seperti ekstensifikasi pertanian, intensifikasi pertanian, penggunaan bibit unggul, mekanisasi pertanian, dan berbagai program-program dari pemerintah.
Berbagai macam program tersebut masih belum mencukupi untuk stok produksi pangan secara nasional maupun dunia. Masih banyak daerah dan negara-negara di belahan bumi ini yang masih kekurangan pangan dan kelaparan. Para ahli terus mengembangkan berbagai cara untuk mengatasi masalah yang serius ini dan penelitian-penelitian diarahkan pada bioteknologi berupa rekayasa genetika.
Penemuan teknik rekayasa genetik dapat dijadikan solusi untuk menciptakan tanaman “super” yang dapat bertahan dari berbagai serangan lingkungan dan perubahan iklim global. Tanaman hasil rekayasa genetik ini biasa disebut tanaman transgenik atau biotech crop atau genetically modified organism (GMO). Prinsip rekayasa genetika adalah dengan menyisipkan gen ke dalam tanaman yang kita inginkan.
Saat ini, rekayasa genetik ini telah berhasil menciptakan tanaman yang dapat bertahan dari masalah yang sering dihadapi petani seperti hama, penyakit, virus, kekeringan dan perubahan lingkungan lainnya. Misalkan dengan memasukkan gen Bt sehingga membuat tanaman jagung resisten terhadap serangan ulat atau serangga lainnya.
Bukan hanya itu, rekayasa genetika telah mampu membuat tanaman memiliki buah atau umbi yang lebih besar, mempercepat pematangan buah dan meningkatkan kandungan gizi di dalamnya. Contoh produk tanaman transgenik yang terkenal adalah golden rice, merupakan beras yang mengandung beta karoten (provitamin A). Adanya beberapa sifat unggul dari gen yang disisipkan ini akan membuat kesejahteraan petani meningkat, produksi yang meningkat dan tentunya ketahanan pangan akan tetap terjaga dengan baik.
Saat ini, telah terdapat 28 negara yang menanam tanaman transgenik dengan Amerika sebagai negara dengan lahan tanaman terluas mencapai 70,9 juta hektar disusul Brazil, Argentina, India dan negara lainnya. Dua negara Asia Tenggara yaitu Myanmar dan Thailand juga mengembangkan tanaman transgenik. Komoditas utama yang dikembangkan adalah kedelai, jagung, kapas dan kanola. Negara-negara yang menanam tanaman transgenik ini berhasil menjadi eksportir terbesar beberapa komoditi yang dikembangkannya. Brazil dan Amerika menjadi pengekspor kedelai dan jagung terbesar di dunia karena berhasil mengembangkan tanaman transgenik.
Terlepas dari peningkatan produksi untuk kepentingan ekonomi, ekspor dan bisnis, tanaman transgenik ini akan dapat menjadi solusi saat ditanam di negara-negara yang mengalami krisis pangan. Misalkan dengan penerapan tanaman yang tahan kekeringan untuk menyediakan pangan bagi negara-negara di Afrika yang lahan pertaniannya mengalami kekeringan atau kondisi ekstrim lain karena perubahan lingkungan.
Lahan-lahan masam atau bahkan bekas pertambangan di Indonesia bisa dikembangkan menjadi lahan pertanian untuk tanaman transgenik. Sehingga pembukaan lahan dengan menebang hutan dapat dikurangi. Bayangkan jika lahan-lahan yang sebelumnya tidak produktif dapat menjadi produktif karena tanaman transgenik dapat hidup di dalamnya, beberapa komoditi menjadi lebih banyak atau ukurannya lebih besar dan memliki ketahanan terhadap perubahan lingkungan yang lebih baik. Hal ini tentunya akan membuat bertambahnya persediaan pangan bagi kelangsungan hidup manusia.
Tantangan kedepan adalah bagaimana mengimplementasikan tanaman transgenik ini ke dalam kerangka kerja nasional. Implementasi teknologi ini diiringi dengan pembuatan tambahan undang-undang yang mengatur dengan jelas dan detail. Regulasi persayaratan tanaman layak lepas seperti tes dampak lingkungan dan analisis untuk kesehatan manusia dibuat dengan baik.
Langkah ini dapat membuat ketakutan-ketakutan terhadap tanaman transgenik dapat terjawab. Proses pengembangan dilaksanakan terpadu dengan melibatkan pemerintah, peneliti-peneliti dan masyarakat itu sendiri. Implementasi penanaman tanaman transgenik di Indonesia dapat dilakukan secara bertahap atau membuat beberapa percontohan pada daerah tertentu.