Demokrasi adalah gagasan yang berkembang dalam hal berbangsa dan bernegara sebagai sistem ketatanegaraan di sebagian besar negara di dunia. Gagasan mengenai demokrasi berawal dari zaman Yunani kuno pada abad ke-4 Sebelum Masehi.
Secara harifiah, demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang diartikan sebagai pemerintahan. Secara sederhana, demokrasi bisa dipahami sebagai pemerintahan oleh rakyat. Tentu saja dalam praktiknya rakyat tak memerintah secara langsung tapi oleh pemimpin dan melalui lembaga perwakilan yang dipilih adalam pemilu, dalam hal ini rakyat menyerahkan kedaulatannya untuk dikelola oleh negara.
Stein Ringen dalam bukunya, What the Democracy For, menyatakan bahwa demokrasi adalah kemenangan. Hal ini merujuk pada kompetisi yang telah berakhir beberapa dekade lalu. Kini, di banyak negara, demokrasi telah menjadi trend dan iman bagi warga negara yang menganutnya. Bagi mereka, demokrasi bukan lagi sebuah cara untuk proses menuju, tetapi telah menjadi tujuan dari berbangsa dan bernegara.
Namun, bagi Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia, masih dalam tahap proses menuju demokrasi atau demokratisasi sebagaimana yang dipaparkan dalam The Third Wave Democratization oleh Samuel P. Huntington bahwa demokratisasi yang tengah berlangsung secara masif di negara-negara dunia melalui proses besar.
Setelah 73 tahun Indonesia merdeka, banyak mengalami pasang surut dan konfigurasi politik yang terjadi pada tiap rezimnya, baik di era Orde Lama maupun era Orde Baru. Setelah beberapa dekade tersebut akhirnya kesadaran akan penyingkapan tabir selubung control menyeruak kepermukaan.
Warga tidak lagi percaya atas mobilisasi partisipasi melalui monloyalitas, pengekangan hak pilih, aturan main yang menghegemoni penguasa. Pengetahuan dan pengalaman tersebut memberikan pelajaran berarti untuk masyarakat bagi bangkitnya keinginan untuk berbangsa dan bernegara yang lebih bermartabat, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta melibatkan partisipasi publik yang secara nyata.
Berangkat dari beberapa hal tersebut di atas, dengan konsolidasi seluruh elemen masyarakat, akhirnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998 berhasil digulingkan. Sejak saat itu, bergulirlah era Reformasi yang dengan gaungnya menjadikan Indonesia menahbiskan diri sebagai Negara demokrasi dengan adanya reformasi di berbagai bidang.
Demokrasi merupakan salah satu bentuk reformasi politik yang sekarang sedang dijalani oleh bangsa Indonesia. Jatuhnya rezim otoritarian Orde Baru yang berjubah demokrasi Pancasila membuka pintu bagi episode baru bagi sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Namun, menurut Anas Urbaningrum dalam bukunya Melamar Demokrasi, Indonesia masih berada dalam situasi melamar demokrasi. Saat ini Indonesia masih berada dalam proses transisi menuju demokrasi.
Anas lebih lanjut menjelaskan bahwa tentang kebebasan dan demokrasi ada tiga hal yang menonjol dalam upaya membangun demokrasi di Indonesia. Pertama, penggunaan ruang kebebasan secara berlebihan. Kedua, egoisme politik dengan mengentalkan egoisme kelompok. Ketiga, tumpulnya sensitivitas politik pemerintah.
Penggunaan ruang kebebasan secara berlebihan
Kebesan pers menjadi salah satu indikator dalam keberhasilan demokrasi yang sedang berlangsung tanpa adanya rasa takut dan kekhawatiran sebagaimana yang terjadi di masa silam yang banyak melakukan pemberedelan.
Selain kebebasan pers, rakyat pun dapat lebih bebas dalam berekspresi maupun mengemukakan pendapat di muka umum sesuai dengan norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu pun dengan elite kelompok oposisi dapat memberikan saran kritik setiap kebijakan pemerintah tanpa perlu takut terhadap ancaman penguasa.
Namun, semakin maju dan pesatnya teknologi informasi dan komunikasi, maka ruang kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat masuk ke dalam ruang virtual/maya melalui media sosial.
Penggunaan ruang kebebasan secara berlebihan puncaknya adalah pada kontestasi Pemilihan Presiden di tahun 2014. Berbagai intimidasi, ujaran kebencian, SARA, hingga hoax (berita bohong) ramai menghiasi laman pengguna media sosial untuk saling menjatuhkan. Maka akibat yang ditimbulkan adalah polarisasi yang terjadi pada setiap lapisan masyarakat yang dapat memicu perpecahan di Indonesia.
Egoisme politik dengan mengentalkan egoisme kelompok
Indonesia sebagai Negara yang memiliki berbagai macam suku, budaya, dan agama maupun aliran kepercayaan merupakan suatu Negara yang unik, hidup bersama dalam berbagai perbedaan (kebhinekaan). Namun hal ini juga yang menjadi tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persoalan yang paling hangat adalah terpecahnya lapisan masyarakat menjadi dua pasca pemilihan Presiden di tahun 2014, yaitu antara pendukung pemerintah dan pendukung opisisi yang melabelkan pada jenis binatang (Cebong dan Kampret). Terlebih jika kita menilik konflik etnis minoritas dan mayoritas di Indonesia pada saat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Dengan egoisme yang dipegang oleh kelompok-kelompok elite politik tertentu dapat mengakibatkan gejolak pada tataran grass root sehingga semakin sengsaranya rakyat karena para kelompok elite politik hanya memikirkan egoisme untuk mendapatkan ataupun mempertahankan kekuasaan.
Tumpulnya sensitivitas politik pemerintah
Hal ini berkelindan dengan kedua aspek yang telah disebutkan di muka, di mana Pemerintah yang notabene sebagai penerima mandat dari kedaulatan yang diberikan rakyat lebih mengutamakan kepentingan kelompok terlebih dahulu. Tidak ada das sein dan das sollen dalam setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah atau dengan kata lain tidak adanya ketidaksesuaian antara keinginan rakyat dan kebijakan pemerintah sehingga terjadi gap atau jurang pemisah.
Tidak hanya pada pemerintahan pusat, hal itu pun terjadi pada pemerintahan daerah, seperti contoh Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung yang melakukan penggusuran Pasar Griya Sukarame dengan tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Akibat penggusuran tersebut belum ada solusi nyata dari Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung tempat tinggal maupun kelangsungan hidup warga setempat pasca penggusuran. Dari sisi kemanusiaan atau humanisme, jelas hal tersebut sangat menyedihkan, Negara tidak hadir untuk melindungi hak-hak warga negaranya.
Indonesia yang telah merdeka pada 17 Agustus 1945 dalam hitungan generasi saat ini telah memasuki generasi ketiga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka jangan sampai generasi saat ini yang sering disebut dengan generasi milenial justru adalah generasi yang merusak sistem ketatanegaraan Indonesia.
Teori tersebut pernah dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqadimmah, bukunya yang fenomenal.
Menurut Khaldun bahwa Negara memiliki umur yang menyatakan bahwa generasi pertama sebagai generasi yang penuh dengan peluh perjuangan untuk membentuk dan mengukuhkan masyarakat dalam suatu legitimasi yang bernama Negara. Hal itu tercermin dengan apa yang dilakukan oleh founding father Indonesia macam Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan banyak lainnya.
Generasi kedua adalah generasi penikmatdari generasi pertama karena diuntungkan oleh ekonomi dan politik sistem kekuasaan yang dibangun generasi pertama, sehingga mulai tergerusnya sensitivitas kepentingan rakyat dalam berbangsa dan bernegara.
Sedangkan generasi ketiga adalah generasi yang tidak memiliki sensitivitas atau rasa kepedulian. Generasi ini tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan Negara dan tidak memperdulikan nasib sekelilingnya.
Dalam menyambut pesta demokrasi di tahun 2019 nanti, maka diharapkan berbagai elemen lapisan masyarakat, baik elite penguasa sampai masyarakat kelas bawah turut serta untuk terlibat aktif dalam demokrasi sehingga ketiga aspek yang dikemukakan oleh Anas Urbaningrum di atas dapat terwujud dan generasi milenial dapat membuktikan bahwa teori dari Ibnu Khaldun dapat diruntuhkan.
Sehingga pada puncaknya Indonesia bukan lagi dalam tahap melamar demokrasi tetapi mengkhitbah demokrasi.