Keberlangsungan era media saat ini mendorong arus informasi yang dahsyat. Informasi ini mudah diakses dari berbagai jenis media massa, biasanya bersifat fenomenal, sangat aktual, dan beberapa di antaranya faktual. Sayangnya, arus deras informasi ini tidak relevan dan kontekstual untuk seluruh masyarakat di Indonesia.

Berita tentang Sandiaga Uno yang ikut lomba maraton, artis nasional yang membuat usaha catering, dan sejumlah berita lainnya yang tidak relevan untuk masyarakat Maluku Utara. Apakah media massa menampilkan informasi yang cukup mengenai gagasan dan program Calon Gubernur Maluku Utara? Sudahkah media menyediakan produk jurnalistik yang bersifat general dan luas?

Layar Buram Media Timur 

Kabar membahagiakan bagi rakyat Kepulauan Maluku. Kepulauan yang terbagi menjadi dua provinsi, yakni Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku, meraih Indeks Kebahagiaan yang paling tinggi di Indonesia tahun 2017. Provinsi Maluku Utara dengan Indeks Kebahagiaan 75,68 dan Provinsi Maluku dengan Indeks 73,77.

Berita Resmi Statistik tanggal 15 Agustus 2017 dijelaskan, Indeks Kebahagiaan tahun ini ditentukan atas tiga dimensi, yaitu Kepuasan Hidup (Life Satisfaction), Perasaan (Affect), dan Makna Hidup (Eudaimonia). Khusus Kepuasan Hidup, dimensi ini terdiri atas Subdimensi Kepuasan Hidup Personal dan Subdimensi Kepuasan Hidup Sosial.

Indeks Kebahagiaan tersebut juga dibarengi dengan perkembangan bagi Provinsi Maluku Utara khususnya. Di beberapa pulau kecil telah resmi mengudara bandar udara pesawat baling-baling dari-dan-menuju Kota Ternate, seperti Bandar Udara Oesman Sadik Labuha dan Banda Udara Kuabang Kao. Korporat dan yayasan juga sudah mulai membangun perguruan tinggi swasta yang menandai meningkatnya kesadaran kepentingan pendidikan.

Meski begitu, PR Pemerintah Pusat dan setempat masih panjang. Masih banyak kesulitan dalam akses masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti akses bahan pokok kehidupan sehari-hari, akses transportasi, dan yang terakhir, akses informasi.

Fakta ini cukup memprihatinkan mengingat bahwa masyarakat secara global telah memasuki era media. Informasi bisa didapatkan dengan mudah melalui media massa televisi, media cetak, dan siber.

Sayangnya, hal itu sulit bagi Kepulaun Maluku yang notabene “kepulauan”. Dengan luas Provinsi Maluku Utara 31.982 km2, hanya ada 12 perusahaan media cetak dan 2 perusahaan media siber. Jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan provinsi lain yang tidak lebih luas namun jumlah perusahaan medianya lebih banyak.

Seperti Provinsi D.I. Yogyakarta dengan luas 3.100 kmdengan jumlah perusahaan media cetak 13 dan media siber 13. Provinsi Bali dengan luas 5.800 kmdengan perusahaan media cetak 19, media siaran 11, dan media siber 7. Dan Provinsi Banten dengan luas 9.700 kmjumlah perusahaan media cetak 22, media siber 11 dan media siaran 8.

Desentralisasi media secara jelas belum berhasil dirasakan oleh masyarakat Maluku Utara. Masyarakat hanya bisa mengakses informasi secara masif melalui televisi yang disiarkan oleh perusahaan media siaran di Ibukota dan mengenai Ibukota. Tentu berita ini tidak relevan bagi masyarakat Halmahera, Ternate, Tobelo, ataupun Tidore.

Informasi yang dapat diakses melalui media siber juga sangat sedikit dan tidak aktif. Kalah jumlah dan “sensasional” dengan informasi dari Ibukota. Hal tersebut diperparah dengan sedikitnya jumlah media cetak yang diterima masyarakat kepulauan. Sirkulasi media cetak tidak meluas dan merata. Hanya berkisaran di kota-kota besar kepulauan Maluku seperti Ternate, Ambon, dan Sofifi.

Hal tersebut berimplikasi kepada kurangnya distribusi informasi yang menerpa masyarakat. Masyarakat sulit mencari informasi tentang Calon Gubernur maupun Bupati yang akan dipilih. Begitupun calon pemimpin daerah yang sepi dari pemberitaan sehingga lepas dari pengawasan masyarakat luas.

Bahkan yang lebih parah, informasi yang lebih mendominasi justru berasal dari Ibukota ataupun pulau Jawa. Masyarakat Maluku Utara lebih mengenal aktivitas politik Ganjar Pranowo dan lebih mengetahui perceraian Basuki Tjahaja Purnama, dibandingkan perkembangan pembangunan Ibukota baru Provinsi Maluku Utara Kota Sofifi atau kelanjutan kepemimpinan Kesultanan Ternate sepeninggalan Haji Mudaffar Sjah II.

Urgensi Media Lokal di Maluku Utara 

Keberadaan media lokal sangat vital di seluruh daerah, khususnya Provinsi Maluku Utara. Masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil seperti Kabupaten Bobong, Kabupaten Sanana, dan lainnya masih mengalami akses yang jauh lebih buruk. Selain dikarenakan jalur transportasi yang sulit, juga infrastruktur di wilayah tersebut sangat minim.

Masyarakat masih mengandalkan kapal laut yang sering terhambat pelayarannya karena cuaca buruk. Jaringan telekomunikasi juga sangat sulit. Perubahan demi perkembangan daerah sangat dibutuhkan, maka masyarakat berhak mengetahui dan memilih calon pemimpin daerah yang baru. Maka, media lokal yang memegang peranan tersebut.

Media lokal erat kaitannya dengan pemimpin daerah. Hubungan antara media lokal dan penguasa di daerah dapat dikaji dari perspektif komunikasi dan perspektif kritis. Dari perspektif komunikasi, kita dapat melihat pola-pola komunikasi antar-institusi ataupun pola komunikasi interpersonal yang diwarnai oleh situasi budaya setempat.

Sejauh mana proses negosiasi, proses kreatif, pembaruan dan tantangan terjadi antara media lokal dan penguasa di daerah. Hal ini dilihat sebagai dampak dari berlakunya otonomi daerah. Tentu saja setiap daerah memiliki kekhasannya tersendiri kendati permasalahan bisa saja sama.

Wewenang yang diberikan Pemerintah Pusat kepada daerah untuk mengurus sendiri pemerintahannya telah resmi tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan tersebut mesti disambut positif karena dapat meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

Namun, yang terjadi di Maluku Utara tidak banyak. Karenanya, perlu dikawal oleh seluruh pihak untuk menjamin tercapainya tujuan dari otonomi daerah. Media lokal yang independen, disemangati oleh idealisme dan manajemen yang baik, dapat menjadi entitas penting di daerah.

Media lokal tidak hanya memberikan informasi yang akurat, tetapi juga mampu memberikan pendidikan politik bagi masyarakat di daerah. Media lokal menjadi kuat dan memiliki kapasitas untuk mengawal tata kelola pemerintahan daerah yang baik.

Demonisasi Informasi

Bagi masyarakat yang tinggal di Kepulauan Maluku, isu SARA sangat sensitif mengingat sejarah berdarah yang pernah terjadi. Sayangnya, media nasional cenderung mengabaikan hal itu. Berita yang berkaitan dengan isu SARA yang belakangan terjadi di Pulau Jawa, seperti Aksi Damai yang bersinggungan dengan kasus agama dan ras di Jakarta, intoleransi hari raya suatu agama, dan yang paling baru pengeboman di beberapa kota dengan identitas dan atribut agama.

Tanpa disadari, media nasional justru memperlebar jangkauan teror. Tidak hanya masyarakat di Pulau Jawa, namun teror juga menyeberangi lautan dan kepulauan sampai di Maluku Utara. Kerisauan dan kecemasan itu terbukti dengan penjagaan yang diperketat di beberapa tempat ibadah setelah aksi terorisme.

Tidak hanya kecemasan, namun kebencian juga mudah menular. Bagaimana kalau demonisasi informasi yang terus-menerus justru memercikkan api di kelompok masyarakat yang semula damai menjadi timbul ketegangan? Nyatanya, aksi terorisme yang terjadi pun beruntun tidak berselang lama, dan lokasinya berjauhan; Depok, Surabaya, Sidoarjo, dan Riau.  

*** 

Informasi mengenai suatu daerah di seluruh pelosok negeri Indonesia, penting-tidak penting bagi masyarakat luas, adalah suatu informasi yang memiliki nilai bagi masyarakat lain. Baik itu nilai bagi entitas suatu ras, agama, kelompok atau bagi suatu rasa persatuan. Bahwa informasi adalah hak bagi seluruh rakyat.

Keberlangsungan media lokal yang merata dan meluas akan menjadikan kemudahan masyarakat dalam mengakses informasi sebanyak-banyaknya dengan konten yang relevan dan kontekstual. Tidak ada lagi media yang buram di seluruh pelosok negeri.