Media sosial seakan sudah menjadi candu bagi masyarakat Indonesia, khususnya kalangan remaja. Remaja masa kini identik dengan smartphone di tangan hampir 24 jam. 

Media sosial sangat banyak menawarkan kemudahan. Tidak hanya mudah berinteraksi dengan orang lain di mana pun mereka berada, tetapi membuat remaja betah menggunakannya dengan waktu lama.

Sudah jarang sekali terdapat remaja yang tidak tertarik dengan yang namanya “Media Sosial”. Seolah itu menawarkan segalanya, membuat kita susah menolak untuk menggunakannya. Di zaman sekarang, menggunakan media sosial dengan waktu yang lama telah menjadi kebiasaan, apakah itu kebiasaan yang buruk atau baik.

Dengan menggunakan media sosial, kita bisa berkomunikasi dengan siapa saja, bahkan dengan orang yang belum kita kenal sekalipun dari berbagai penjuru dunia. Kelebihan ini bisa kita manfaatkan untuk menambah wawasan, bertukar pikiran, saling mengenal budaya dan ciri khas daerah masing-masing, dan lain-lain.

Banyak sekali pengaruh media sosial bagi remaja zaman sekarang, negatif maupun positif. Psikolog sekaligus Direktur Pusat Psikologi Terapan FPISB UII, Ratna Syifa’a Rachmahana menjabarkan terkait perilaku reaktif warganet yang ada di media sosial. Ia berpendapat kalau media sosial sebetulnya berbentuk seperti mata uang. 

Pada 2015, peneliti pada Pew Research Center yang berbasis di Washington DC berupaya untuk mengetahui apakah media sosial lebih menyebabkan stres dan bukannya menguranginya. Dalam survei yang melibatkan 1.800 orang, perempuan disebutkan lebih mengalami stres dibandingkan laki-laki. 

"Ketergantungan itu lebih parah dari alkohol atau narkoba lebih menarik dan tidak ada stigma di belakangnya," katanya. Driskell membebankan $150 (Rp 2 juta) per jam dan bekerja dengan para pasien setiap minggu selama setidaknya enam bulan. 

Pada 2014, peneliti di Austria menemukan bahwa mood atau suasana hati para responden lebih rendah setelah menggunakan Facebook hanya selama 20 menit. Itu berbeda bagi dengan yang hanya berselancar di Internet. 

Penelitian menunjukkan, mereka seperti itu karena merasa mereka hanya membuang waktu dan tidak melakukan hal yang lebih produktif. Ini menunjukkan bahwa media sosial dapat memengaruhi mental kita secara emosional.

Banyak juga penelitian yang menemukan hubungan antara depresi dan penggunaan media sosial. Makin berkembang penelitiannya, tambah kuat analisis bahwa media sosial dapat menjadi alat yang dapat menyebabkan suasana hati yang rendah. 

Seperti dua penelitian yang melibatkan lebih dari 700 siswa, menemukan bahwa gejala depresi seperti suasana hati yang rendah dan perasaan tidak berarti dan tanpa harapan terkait dengan kualitas interaksi online. Para peneliti menemukan gejala depresi yang lebih tinggi di antara mereka yang dilaporkan memiliki lebih banyak interaksi negatif.

Sebuah studi serupa yang dilakukan pada 2016 melibatkan 1.700 orang menemukan risiko depresi dan kecemasan mencapai tiga kali lipat di antara orang-orang yang paling banyak menggunakan platform media sosial. Penyebabnya, perkiraan mereka, termasuk perundungan siber, memiliki pandangan terdistorsi mengenai kehidupan orang lain.

Media sosial juga seakan-akan menjadi ajang untuk seseorang mengekspresikan diri atau memamerkan kegiatan sehari-hari. Hal ini ternyata dapat memicu rasa iri pada orang lain. Rasa iri ini bisa menimbulkan gangguan mental berupa depresi.

Meskipun pendapat dari sejumlah peneliti menyebutkan bahwa menulis cuitan mungkin lebih sulit dicegah dibandingkan dengan rokok dan alkohol, kecanduan media sosial tidak termasuk dalam diagnosa manual untuk gangguan kesehatan mental.

Sebagai contoh, ilmuwan dari Belanda telah membuat skala mereka sendiri untuk mengidentifikasi kemungkinan kecanduan. Dan jika kecanduan media sosial memang ada, itu akan merupakan sebuah tipe kecanduan internet, dan itu tergolong merupakan sebuah gangguan (kesehatan). 

Pada 2011, Daria Kuss dan Mark Griffiths dari Universitas Nottingham Trent di Inggris menganalisa 43 studi sebelumnya yang mengkaji masalah tersebut, dan menyimpulkan bahwa kecanduan media sosial merupakan gangguan mental yang "mungkin" membutuhkan perawatan profesional.

Yang pasti, kecanduan media sosial tidak dianggap sebagai gangguan oleh buku klasifikasi medis seperti American Psychiatric Association's Diagnostic (Diagnosa Asosiasi Psikiater Amerika) dan Statistical Manual of Mental Disorders (Manual Statistik Gangguan Mental), yang dianggap sebagai standar utama mendiagnosa gangguan mental. 

Apakah harus masuk atau tidak menjadi kontroversial. Namun, sebagian terapis termasuk Driskell merawat pasien dengan metode yang sama mereka merawat ketergantungan lainnya.

Dampak dari media sosial memang bisa menjadi negatif. Ada beberapa cara untuk mengurangi penggunaannya, antara lain adalah membatasi penggunaan media sosial, cari informasi lain selain dari media sosial, menggunakan media sosial dengan bijak, dan lain-lain.

Dengan berbagai kemudahan yang telah diberikan oleh berbagai aplikasi kepada penggunanya, mereka bertambah tertarik untuk menggunakannya dengan waktu yang lebih lama. Banyak dampak positifnya, banyak juga dampak negatifnya, tetapi pada akhirnya, semua itu tergantung pada diri kita. Apakah kita akan menggunakannya dengan bijak, atau sesuai dengan kemauan kita.