Pesatnya penetrasi media sosial berpengaruh banyak terhadap perubahan interaksi sosial masyarakat. Kita dapat melihat bagaimana percakapan yang berkembang di dunia maya memiliki relasi over-connected dengan interaksi sosial di dunia nyata. Bahkan, interaksi sosial yang berkembang di dunia nyata ditentukan oleh akumulasi percakapan di dunia maya.
Indonesia tercatat sebagai negara dengan populasi pengakses internet ketujuh terbesar dunia. Saat ini penetrasi pengguna internet Indonesia mencapai 73,7 persen atau sekitar 196,7 juta pengguna, naik dari 64,8 persen dari tahun 2018. Adapun porsi terbesar dalam pengguna internet tersebut terserap dalam bentuk media sosial sebesar 92 persen dengan intensitas penggunaan untuk mendapatkan informasi dan berkomunikasi sebesar 90 persen. Artinya bahwa setiap individu di Indonesia kurang lebih memiliki dua aplikasi media sosial di setiap perangkat.
Kelas menengah jelas merupakan segmentasi terbesar dari pengguna internet dikarenakan mereka selalu ingin tersambung dengan berbagai macam media sosial. Kecenderungan yang terjadi dalam Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 adalah media sosial memiliki peranan penting dalam membentuk preferensi politik masyarakat. Polarisasi dukungan yang terjadi di dunia nyata adalah hasil akumulasi perang siber yang berlangsung di dunia maya. Bahkan kedua Pemilu itu disebut sebagai salah satu momentum keterbelahan publik karena ramainya perang siber di media sosial antarpendukung dengan memanfaatkan berbagai macam isu politik.
Penetrasi media sosial juga begitu kentara saat Pilkada Jakarta 2017 lalu, kita melihat perang narasi media sosial saat itu di dominasi oleh narasi polarisasi identitas yang dimainkan oleh buzzer maupun influencer. Percakapan tersebut dengan cepat mempengaruhi preferensi politik warga Jakarta bahkan memicu terjadinya mobilisasi aksi massa.
Buzzer dan Percakapan Pemilu 2024
Riuh rendah percakapan warganet di media sosial tentang Pemilu 2024 bahkan telah berkembang masif saat ini. The Strategic Research and Consulting (TSRC) melakukan pemetaan narasi percakapan di media sosial Twitter pada 29 Agustus hingga 4 September 2021 dengan menggunakan kata kunci “Pemilu 2024” dan menghasilkan 640 percakapan yang dimunculkan oleh 1.200 akun Twitter, dimana 35 persen atau 420 akun di antaranya merupakan buzzer atau pendengung. Pemetaan itu menemukan narasi dominan mengenai penundaan pemilu akibat pandemi Covid-19 (19 persen).
Selanjutnya percakapan terbanyak kedua adalah trust issue terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 (17 persen). Narasi yang dominan muncul adalah narasi ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024. Kemudian juga ada narasi ketidakpercayaan terhadap penyelenggaraan Pemilu serta ajakan untuk golput.
Isu ketiga adalah percakapan tentang perpanjangan masa jabatan Presiden (11 persen). Percakapan ini dominan muncul beriringan dengan isu penundaan Pemilu 2024. Sementara isu-isu krusial yang berhubungan langsung dengan penyelenggaraan Pemilu 2024 justru tidak banyak diperbincangkan oleh warganet. Misalnya percakapan mengenai daftar pemilih tetap (6 persen), pemilih dan pendidikan politik (6 persen), masa jabatan penyelenggara (5 persen), politik uang (4 persen), dan jadwal pemilu (3 persen).
Dari pemetaan percakapan tersebut dapat kita lihat bahwa isu-isu kontroversial berkaitan dengan penundaan Pemilu 2024 hingga isu perpanjangan masa jabatan Presiden bukanlah isu yang muncul secara organik di media sosial, melainkan sengaja dimunculkan dan di amplifikasi sedemikian rupa dengan berbagai macam narasi oleh buzzer maupun akun robot.
Proyeksi Pengawasan Media Sosial
Tingkat ketergantungan rasionalitas publik terhadap peran buzzer maupun influencer sangat besar seiring pesatnya perkembangan internet di Indonesia. Beberapa warganet bahkan menganggap informasi yang disampaikan oleh buzzer adalah valid, kredibel, dan menjadi perbincangan hangat di dunia nyata.
Apalagi preferensi warganet Indonesia masih berkarakter bounded rationality yakni preferensi politik yang terbentuk karena keterbatasan akses yang dimiliki untuk memperoleh informasi. Kondisi itu membuat pembentukan preferensi politik warganet menjadi instan dan pragmatis – lebih cepat mempercayai informasi tanpa melakukan verifikasi kebenaran terlebih dahulu.
Pemilu 2024 mendatang kemungkinan hampir sama dengan Pemilu sebelumnya. Media sosial tetap menjadi salah satu sarana mempengaruhi preferensi politik warga. Apalagi jumlah pengguna media sosial pada 2024 mendatang diperkirakan mencapai angka 200 juta penduduk seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini menjadi peluang sekaligus ancaman bagi kualitas Pemilu 2024.
Pengawasan media sosial dalam Pemilu 2024 harus dimulai dari edukasi digital dan pendidikan politik yang masif. Sebab, kesadaran politik publik adalah kunci untuk meretas ancaman hoax, cyber bullying hingga hate speech di media sosial.
Selanjutnya, penyelenggara pemilu harus memperketat regulasi pengawasan kampanye digital baik dari akun-akun media sosial yang di daftarkan oleh kandidat hingga narasi-narasi politik yang dimunculkan oleh pendukung salah satu kandidat dalam Pemilu. Mekanisme sanksi tegas dalam bentuk kebijakan pengurangan jumlah suara hingga pembatalan proses pencalonan harus diberlakukan oleh penyelenggara Pemilu jika terdapat kandidat maupun pendukungnya yang melanggar. Selain itu, penyelenggara pemilu harus membangun kolaborasi yang intens dengan platform media sosial baik facebook, twitter dan platform lainnya untuk memberikan sanksi tegas bagi akun-akun yang berpotensi memunculkan narasi politik pemecah belah.
Kehendak untuk menciptakan ruang publik yang sehat perlu menjadi kesadaran dan komitmen bersama dari para stakeholder Pemilu. Komitmen tersebut harus diejawantahkan ke dalam kebijakan pengawasan digital yang ketat dan terintegrasi. Sebab, menciptakan ruang digital yang sehat saat ini menjadi kunci untuk menjaga keberlangsungan kualitas demokrasi di Indonesia.