Misinformasi, hoaks, atau berita palsu (fake news) bukan fenomena baru. Namun, era media digital dan media sosial telah mengubah secara fundamental aturan main dan lanskap media. Kebenaran, informasi, atau fakta bukan lagi monopoli otoritas yang dapat didiktekan ke publik. Kebenaran fakta dan kebutuhan informasi kini didefinisikan oleh jejaring kelompok atau persekongkolan.
Media mainstream tradisional (medtra) seperti koran, stasiun TV, dan radio, kini adalah medium informasi yang mulai kehilangan relevansi. Mereka yang tadinya dikenal sebagai agenda-setter, kini hanya menjadi sumber informasi alternatif, bukan lagi arus utama. Internet menjadi saluran berbagai perspektif, fakta, fakta-alternatif, fakta-tandingan, yang acap kali memusingkan.
Dalam situasi seperti itu, Jokowi terpilih sebagai presiden Indonesia. Presiden pertama yang terpilih di era media sosial (medsos).
Menjelang, selama, dan usai Pilpres 2014, publik antusias mempercakapkannya sebagai figur baru dalam perpolitikan di Indonesia. Ia menawarkan harapan perubahan, jejaring medsos menyebarkan harapan itu. Namun, jejaring tandingan juga memunculkan kekhawatiran dan keputusasaan terhadap Jokowi.
Media Sosial
Medsos telah mentransformasi publik dari audiens yang pasif menjadi aktif. Dalam isu politik, medsos kemudian menjadi medium perang dukungan dan kecaman yang begitu berisik dalam empat tahun kepresidenan Jokowi. Keriuhan di medsos ibarat percakapan di tengah keramaian pasar, tidak jelas pangkal soalnya. Semua bebas bersuara, tak soal betapa banalnya.
Jokowi adalah presiden medsos, karakteristik kepemimpinannya tidak lepas dari denyut medsos. Ia aktif mengunggah info, kabar, dan gambar, sebagai sarana berkomunikasi langsung dengan masyarakat. Namun, komunikasi langsung sering menimbulkan problematik, karena gampang memicu polemik dan kontroversi yang tidak perlu, dan tidak penting bagi persoalan publik.
Isu yang ramai di medsos, keriuhan percakapan di pasar, tidak identik dengan kepentingan publik. Isu medsos sering kali adalah persoalan personal, misalnya, dari tuduhan Jokowi anak PKI hingga soal mengendarai motor copper; dari sinyalemen pro-aseng hingga membanjirnya 10 juta pekerja China, termasuk hujatan karena “tidak mengajak” Gubernur DKI Anies Baswedan turun memberikan hadiah ke Persija. Medsos mengabaikan kebenaran fakta dan akurasi. Meng-eskalasi gosip menjadi valuta informasi yang seolah memiliki nilai valid.
Problem medsos adalah tidak adanya kejelasan agenda apa kepentingan bersama yang perlu disuarakan. Agenda-setting dulu sering diperankan oleh media massa tradisional, yang mengkurasi informasi berdasarkan kriteria yang spesifik, sesuai persyaratan kelayakan muat-tayang, serta berbasis profesionalisme dan etika.
Dengan tersingkirnya media tradisional, bagaimana agenda publik disuarakan, bagaimana otoritas mengkomunikasikan kebijakan dan prioritasnya, termasuk bagaimana mengajak publik fokus pada persoalan substansial? Inilah sebagian problem mengelola negara di era digital yang musti dikelola pemerintahan Jokowi dengan baik.
Kebijakan Media
Presiden Jokowi relatif memiliki relasi yang cukup baik dengan perusahaan media tradisional (medtra). Julukan Jokowi sebagai “media darling” di lingkungan medtra rasanya belum pudar. Khususnya jika memetakan secara informal posisi kecenderungan dukungan politik media (sejauh ini). Ini adalah modal yang baik, mengoptimalkan medtra untuk mengajak publik fokus berwacana urusan publik.
Meskipun medtra bukan lagi media arus utama dari aspek aksesibilitas, namun informasi medtra masih akan menjadi rujukan. Ada rangkaian melingkar produksi dan reproduksi informasi dari medsos-ke medtra-ke medsos. Hal ini penting untuk menengok kembali peran medtra sebagai clearing house of information dalam menyediakan informasi yang terverifikasi dan berkualitas ke publik.
Medtra adalah pembawa pesan (messenger) terseleksi. Potensi ini perlu dilihat dalam upaya membangun manajemen komunikasi yang terstruktur dan terencana.
Penting untuk mengoptimalkan peran medtra sebagai subyek, dengan tidak mengeluarkan kebijakan yang akan dilihat cenderung mengatur, mengontrol atau menempatkan medtra sebagai obyek. Prinsip yang paling penting adalah terus menjaga kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi sebagai prasyarat keberlangsungan aliran arus informasi yang sehat, untuk melawan informasi sesat.
Sejumlah kebijakan pemerintahan Jokowi telah berimplikasi pada persoalan media dan ekspresi, dan mengundang kontradiksi. Terbitnya surat edaran penanganan ujaran kebencian oleh Kapolri Badrodin (8 Oktober 2015), misalnya.
Edaran untuk internal kepolisian ini dikeluarkan untuk menangani pernyataan kebencian, namun mudah dipersepsikan sebagai upaya membungkam ekspresi. Khususnya karena dikaitkan dengan sinyalemen adanya 180.000 akun media sosial yang diduga sebagai penyebar kebencian.
Penggunaan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang semakin cenderung untuk menindak ujaran kebencian—ketimbang maksud awal perumusan UU tersebut, sebagai pidana transaksi elektronik—juga cukup problematik. Khususnya jika kencenderungan “ujaran kebencian” yang ditindak adalah yang tertuju kepada otoritas kekuasaan (vertikal).
Sedangkan ujaran kebencian horisontal atau ke kelompok minoritas sering diabaikan. Belum lagi kontroversi rancangan revisi KUHP yang memuat kembali pasal penghinaan presiden, dan aksi pemblokiran situs-situs “radikal” tanpa melalui proses pengadilan.
Sejumlah isu tersebut (Edaran Polri, UU ITE, Revisi KUHP, pemblokiran situs radikal) adalah kebijakan yang kuat beraroma “meragukan” cara-cara demokratis sebagai solusi. Indonesia bakal terus stagnan dalam “transisi demokrasi” jika pemerintah masih menggunakan cara-cara kurang demokratis untuk mengatasi penyakit-penyakit demokrasi.
Godaan kekuasaan menggunakan perangkat hukum untuk membungkam kritik dan menindak pihak-pihak yang berseberangan adalah “dosa asal” yang harus diwaspadai. Soal-soal prinsip ini yang semestinya menjadi perhatian Jokowi.
Media Fatigue
Media membantu memenangkan Jokowi menjadi presiden pada 2014. Media membantu mengangkat popularitasnya sebagai pemimpin alternatif yang lepas dari cengkeraman oligarki, bersih, dan tidak terbebani dosa masa lalu.
Namun, popularitas selalu ada batasnya. Bagi yang sudah populer, seperti Jokowi, over-ekspose media, khususnya untuk informasi yang non-substansial, justru akan memunculkan keletihan (media fatigue).
Presiden Jokowi perlu membatasi ekspose kegiatan rekreatif yang non-substantif yang dimaksudkan untuk konsumsi media sosial. Aksi-aksi eksentrik presiden perlu dikurangi, karena hanya akan mengundang kontroversi dan memancing kritisisme.
Media, khususnya medsos, adalah bukit gema (echo chamber) yang gampang mengalihkan persoalan dan membuat letih. Keletihan media akan melahirkan sinisme atau apatisme publik.
Di era keramaian celoteh medsos, pro-kontra pada personalitas pemimpin (Jokowi vs Prabowo vs SBY), publik lebih membutuhkan informasi dan reportase media yang berkualitas sebagai basis dialog substansial.
Era informasi telah berlalu, kini adalah era reputasi. Informasi hanya bernilai jika telah disaring, dievaluasi, dan diproduksi oleh figur atau lembaga kredibel. Di tengah-tengah banjir misinformasi saat ini, tidak terlalu penting kuantitas informasi, karena yang dibutuhkan adalah kualitas dan reputasi.
Jokowi terpilih sebagai presiden dalam pemilu era digital yang brutal dalam hal wacana kampanye hitam. Berbagai fitnah, hinaan, dan kebencian ditembakkan ke Jokowi, namun reputasi Jokowi tetap utuh, dan terbukti memenangkan suara rakyat.
Sebaiknya soal ini dipahami oleh pemerintahan Jokowi dan para pendukungnya, agar tidak terjebak dan terlibat dalam polemik misinformasi, hoaks, atau berita palsu yang terus mengharu-biru politik dalam empat tahun masa kepresidenan Jokowi. Substansi dan reputasi tidak bakal goyah oleh banjir misinformasi. Dan, percayalah, akal sehat rakyat bakal menang melawan informasi sesat.