Duduk manis meminum kopi itu, hangatnya menyentuh ketenteraman. Dengan sambil membaca dan menyaksikan berita, nuansa pengetahuan bertambah beragam. Berbagai media di penjuru kelas bergerak cepat dan lincah di balik layar kaca dan kertasnya. Baik bocah juga kakek-kakek tua akan dihampiri seperti dibisik.

Paket berita dikemas dengan redaksi menarik agar hasrat sang penikmat berita, menggelora. Bait per bait kalimat pun direvisi sekian kali hingga menyentuh semua naluri. Bahkan, lampu sorot ke wajah pembawa berita diperhitungkan sekian incinya. Sungguh, sebuah persiapan sempurna untuk menangkap angka-angka yang disebut dengan “rating”.

Kebermanfaatan dari rangkaian persiapan ini adalah ilmu baru yang melimpah ruah. Seluruhnya akan diserap tuntas oleh penduduk, melalui indahnya visual yang disaksikan. Tinggal bagaimana kebijaksanaan itu ada pada pribadi-pribadi berakal dalam penilaian kualitas berita.

Penggunaan media cetak dan eletronik di abad ini, telah dipakai oleh khalayak ramai berbondong-bondong. Setiap hari, jutaan pasang mata menatap mereka sepersekian menit, sebelum beranjak untuk bekerja atau kerumah belajar. Lalu, pulang dan mengulangi lagi rutinitas itu seperti sebuah kebutuhan pokok.

Sejarah mencatat di buku diarinya, media cetak adalah kakak dari media elektonik. Media cetak lahir di tahun 1455 sedangkan media elektronik ditahun 1883. Kedua media itu tumbuh dengan sifat positifnya untuk menstimulasi otak lebih cepat berdefinisi. Memberikan kejelasan di tiap titik apa yang sulit dipahami melalui bentuk yang rupa-rupa. Sehingga, penggunaan media dewasa ini seperti budaya.

Banyak pergeseran yang terjadi selama pekembangan kedua wadah itu. Contohnya di media cetak. Dari sisi fungsi dan produksinya berubah macam-macam, yang semula terpakai sebagai jasa periklanan hingga menjadi ladang informasi. Meski perkembangannya cenderung lamban, namun manfaatnya menyeluruh.

Butuh empat seperdua abad untuk mencapai kepopulerannya sekarang. Lika-liku evolusinya jarang terjadi, kira-kira hanya di periode 1860 yaitu proses percetakan kimiawi.

Di sisi lain, media elektronik berkembang cukup cepat. Perjalanannya diawali oleh para maritim yang menggunakannya sebagai pesan hantar dikenal dengan nama“radio” pada awal zaman perang dunia II. Kini, fungsi media elektronik terkhusus berita, menyerupai sinetron perangsang selera, bahkan berita kriminal.

Cerita-cerita keji diekspos berantai sampai berminggu-minggu untuk memuaskan isi kantong kaum elit. Dimana seolah-olah, media lupa bahwa negara juga punya cita-cita.

Kepentingan politik terlalu ramai merajai negara ini di berbagai wilayah. Hingga media pun kerap dijadikan sarana seperti mereka punya visi sendiri yang jauh dari undang-undang. Banyak pemberitaan memukul hasil pendidikan karakter melalui adu domba sana sini. Mereka menggali kekurangan personal siapa saja, yang ingin dirampas damainya.

Negeri ini berproses lucu. Perlakuan sebagian media kerap menyimpang dengan begitu jelasnya tapi, tindak lanjut pemegang undang-undang seperti sedang terisolasi, meski perbandingan berita-berita prestasi terlampau kecil oleh rating berita-berita aib. Penduduk lebih terhipnotis hal-hal negatif sedari dulu seperti dampak dari  “mind control” media.

Indonesia, 94% penduduknya secara aktif menonton televisi dengan rata-rata lebih dari 4 jam perhari. Hal ini adalah sumber menarik untuk memacu tambahan pengetahuan luar sekolah. Bukan dijadikan penjajahan intelektual bangsa dengan menabur budaya-budaya yang bersimpangan.

Meski demikian, tidak jarang anak-anak berprilaku umpama ayah dan ibu. Bergandengan tangan di umur belia hingga hamil di masa putih abu-abu. Itu bukanlah hasrat seksual, melainkan efek media yang tidak andil dalam mengedukasi orang tua kita, agar anak-anaknya tidak enteng terhadap cinta lawan jenis di umurnya yang kecil.

Buktinya, pernahkah orang tua kita mendengar berita dengan redaksi ”seorang anak sekolah menengah pertama hamil akibat konsumsi sinetron tidak jelas” yang ada malah cerita “si cantik Jessica” yang tak berujung dan juga dahsyatnya game “pokemon go” yang telah menambah konflik-konflik baru. Akhirnya, anak-anak, orang tua, hingga pejabat sibuk terhadap berita jessica dan pokemon dan  tidak memperdulikan anaknya terombang-ambing sinetron.

Di tengah hiruk pikuk acara sinetron, muncul pula game pokemon go dengan status ilegalnya. Blow up media terhadap game itu melebihi batas. Hingga pencurian aplikasinya marak terjadi. Mereka telah mengetahui dampaknya malah memberitakan hebatnya.

Jatuh kekali, terbunuh, dan bolos sekolah terintegrasi oleh hasil kecerdasan pelaksana izin berita gim itu. Semua akibat sama sekali tidak diperhitungkan. Mungkin, kinerja otak sang pelaksana mengalami pikun tiba-tiba.

Di samping itu, Berita tentang jessica memasuki adegan baru. Isu yang berbelit-belit memenuhi ruang persidangan. Mulai dari keikut sertaan saksi-saksi baru dan juga pernyataan-pernyataan baru. Akibatnya, daftar tugas rumah majelis hakim, bertambah dengan estimasi puluhan episode.  Pertanyaanpun muncul seketika. Manfaat apa yang bisa diambil dari berita berseri itu.?

Total jumlah penduduk Indonesia mencapai 250 juta lebih. Bila dalam skala kecil misalnya: 10 ribu penduduk mengikuti alur berita jessica dan pokemon, apa jadinya mental generasi berikutnya. Padahal, soekarno mengatakan 10 pemuda untuk membuat dunia ini berguncang. Justru, cukup 2 bahkan 1 berita propaganda mampu mematikan sebagian mental pemuda di tanah air.

Pemuda adalah fondasi bangsa. Rapuhnya mereka mempercepat kemunduran meski kita punya jendela dalam mengintip cita-cita. Tidak peduli seberapa kuatnya mereka, bila konsumsi informasinya dihiasi propoganda, lambat laun yang tercipta pemuda-pemudi kerupuk. Selalu pasif dari segala polemik.

Ringkasnya, pembimbingan oleh orang tua terlalu dibutuhkan dalam semua rekam jejak pemuda-pemudi. Apalagi berbicara kosumsi hiburan lewat media. Pendidikan sekolah kita berfokus pada kurikulum itu diselesaikan. Para guru memberikan ilmu dan peran yang cukup saja tapi tidak membentuk mental dan pola pikir mereka menjadi bijak.

Sebab, seyogyanya rumah adalah tempat kecil mereka tumbuh berkembang, mengenal bahasa, saling membantu, gotong royong, sayang menyayangi dan sebagainya sedari lahir. Untuk itu, ikatan keluarga adalah hal kongkret pelindung pemuda-pemudi. Keluh kesahnya butuh peran yang adil. Karena prestasinya kelak adalah buah dari pendidikan dan doa anda para orang tua.