Apa yang terlintas di pikiran generasi milenial ketika mendengar kata mitos? Sependek pengetahuan saya, beberapa teman akan menjawab tentang hal-hal seperti kejatuhan cicak di kepala, menabrak kucing hitam, dan semacamnya. Beberapa yang lain menyebut urusan semacam larangan makan di kamar, larangan bersiul di malam hari, juga larangan menikah antara lelaki suku A dengan cowok suku B. Eh, yang ini jelas fakta ding, bukan mitos.

Jawaban tersebut ndak salah sih. Hal-hal yang saya sebut tadi memang sudah kadung dikenal sebagai mitos oleh masyarakat. Tapi yang ingin saya sampaikan adalah mitos dalam tinjauan akademis. Mitos yang dipelajari di mapel bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di Sekolah Dasar.

Ceritanya, Sekolah Dasar tempat saya mengajar mempunyai program Nguri-uri Budaya Nusantara yang diadakan secara rutin setiap bulan. Program ini diisi dengan penyampaian materi tentang budaya dari seluruh penjuru Indonesia. Tujuannya mulia, untuk mendekatkan siswa kepada akar budayanya, budaya Nusantara. Dan akhir bulan Januari yang lalu giliran saya yang ketiban sampur untuk menjadi pemateri.

Dalam acara yang berformat sarasehan santai tersebut saya menyampaikan sebuah cerita mitos dari daerah Ngawi, Jawa Timur. Kebetulan topiknya memang tentang cerita rakyat. Klop lah. Mitos kan termasuk bagian dari cerita rakyat, bersanding dengan legenda dan dongeng.

Mitos dianggap sebagai sesuatu yang jauh di awang-awang

Masalahnya, siswa-siswi masa sekarang sudah jauh lebih kritis dibanding jaman saya masih SD dulu. Masa-masa SD saya sangat akrab dengan cerita semacam Sangkuriang yang membuat bahtera dalam semalam demi memenuhi keinginan Dayang Sumbi. Karena gagal memenuhi tenggat, kemudian dia menendang perahu yang hampir jadi tersebut hingga menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

Ada lagi kisah Bandung Bondowoso yang kedanan sama Rara Jonggrang namun bertepuk sebelah tangan. Si Jonggrang meminta seribu candi dalam semalam, sebuah syarat yang tampak muskyil dilakukan. Namun Bandung Bondowoso sukses menyelesaikan 999 tepat ketika ayam jantan berkokok hasil rekayasa Jonggrang. Bandung Bondowoso pun naik pitam dan mengutuk sang putri menjadi arca, sekaligus menggenapi jumlah candi menjadi seribu.

Andai saya mengangkat mitos seperti di atas; atau tentang Mbah Semar, Baru Klinthing dan Nyai Roro Kidul, saya kira terlalu jauh dari jangkauan logika anak-anak jaman sekarang. Sebut saja perahu yang bisa tiba-tiba menjadi Gunung Tangkubanperahu. Atau membangun seribu candi dalam waktu semalam saja. Itu akan terdengar tak masuk akal bagi anak-anak SD Mafaza Integrated Smart School yang super kritis, yang sehari-harinya saja ngomong pakai bahasa Inggris. Saya kuatir para siswa generasi 4.0 tersebut menganggapnya tidak relevan dengan jaman.

Mitos yang relevan dengan jaman

Maka saya menyampaikan mitos yang lebih membumi dan bisa diterima nalar anak-anak generasi milenial tersebut. Sebuah cerita yang dekat dan mempunyai kaitan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Maka saya mengambil cerita 'Mbah Kodok rabi Peri Setyowati' dari Sekar Alas, Ngawi. Jika penasaran dengan cerita detailnya, sobat milenial bisa googling. Jaman sekarang lho, apa yang ndak diketahui Mbah google?

Jika ada yang mengira cerita tersebut berasal dari jaman baheula, then you will be surprised. FYI, kisah Mbah Kodok yang menikahi peri Setyowati ini beneran terjadi pada tanggal 8 Oktober 2014. Kisah tersebut merupakan karangan Bapak Bramantyo Prijosusilo and his co. Mereka bukanlah bapak-bapak gabut kurang kerjaan yang kemudian iseng mengarang cerita antah-berantah.

Mitos sebagai sarana konservasi lingkungan

Pak Bramantyo dkk mengkreasi cerita tersebut dengan sebuah tujuan yang jelas. Mereka ingin melakukan konservasi mata air sendhang Margo dan sendhang Ngiyom yang ketika itu sedang mengalami kerusakan lingkungan cukup kritis. Penyebab kerusakan lingkungannya ya apalagi kalau bukan karena ulah manusia.

Kedua mata air tersebut berada di wilayah hutan Begal di Sekar Alas, Ngawi. Untuk melakukan konservasi sendhang Margo dan sendhang Ngiyom dibutuhkan kerja bersama dari seluruh warga masyarakat. Maka untuk menggalang partisipasi masyarakat dirancanglah sebuah acara pernikahan Mbah Kodok dan peri Setyowati, lengkap dengan narasi cerita mitosnya.

Nyatanya melalui narasi mitos tersebut, warga Sekar Alas dan sekitarnya rela berpartisipasi aktif. Tidak hanya pada saat acara resepsi pernikahan Mbah Kodok saja. Namun hingga jauh hari pasca pernikahan, warga masih ajeg menjaga kelestarian lingkungan di area alas Begal. Jika ada oknum yang punya niat berbuat kerusakan di areal tersebut, warga akan mengingatkannya dengan cerita Mbah Kodok. Bahwa areal hutan Begal merupakan rumah peri Setyowati yang notabene istri Mbah Kodok, dan berbuat kerusakan di wilayah tersebut adalah pamali, ora ilok.

Kembali ke acara sarasehan nguri-uri budaya Nusantara tadi. Setelah saya bercerita tentang mitos Mbah Kodok ini, saya lemparkan sebuah pertanyaan kepada para siswa: relevankah mitos ini dengan situasi jaman sekarang?

Pertanyaan yang sama juga saya layangkan kepada sobat kotomono beserta satu tambahan, adakah yang ingin meniru cara Pak Bramantyo Prijosusilo dan kanca-kancanya untuk melakukan konservasi lingkungan melalui media mitos?

Catatan: Materi ini pernah disampaikan dalam kegiatan “Nguri-uri Budhaya Nusantara” di SD Mafaza Integrated Smart School Malang pada 27 Januari 2022.