Pada hari Rabu (21/11) kemarin, bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal 1440 H, umat Islam di berbagai penjuru dunia merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad dengan gegap gempita dan penuh sukacita. Bahkan di Indonesia dan beberapa negara mayoritas Muslim lainnya, peringatan Maulid Nabi dijadikan hari libur nasional.
Meski Negara sudah mengakomodir aspirasi kelompok Muslim sedemikian rupa, masih saja ada sekelompok orang yang menuduh Indonesia sebagai negara thogut yang layak dikafirkan. Dasar tidak tahu terima kasih!
Perayaan Maulid Nabi tahun ini tidak sebahagia tahun-tahun sebelumnya lantaran di Afganistan terjadi insiden bom bunuh diri saat perayaan Maulid yang ‘sakral’ itu berlangsung. Fenomena ini tentu menggambarkan kian merosotnya moralitas sebagian kelompok yang mengaku Muslim.
Tulisan ini tidak akan menyoroti tradegi mengerikan tersebut, tetapi ingin menyinggung hal-hal yang lebih prinsipil yang selama ini sering terlupakan dan seharusnya menjadi PR besar kita semua.
Pertanyaan "limaadza taakhora al-muslimun wa taqaddama ghairuhum (mengapa umat Muslim terbelakang sedangkan umat selain mereka justru maju)?" mengemuka di awal abad dua puluh melalui karya Amir Syakib Arsalan (1869-1946), seorang aktivis dan pemikir asal Lebanon. Pertanyaan senada juga kemudian dikemukakan oleh Dr. Farukh Saleem pada tahun 2010 melalui artikelnya yang berjudul “Why Are Jews so Powerful and Muslims so Powerless?”.
Data yang ditampilkan oleh Dr. Farukh Saleem sungguh mencengangkan dan menyedihkan. Bagaimana tidak, selama 105 tahun, 180 Nobel dimenangkan oleh umat Yahudi dan hanya 3 Nobel diraih umat Muslim (di luar hadiah Nobel di bidang Perdamaian). Padahal jumlah pemeluk Yahudi hanya 14 juta, bandingkan dengan jumlah pemeluk Islam yang mencapai 1,4 miliar.
Jawaban yang dikemukakan para sarjana Muslim pun beragam, dari yang utopis hingga yang rasional. Kalangan Wahabi, misalnya, menuduh bid'ah dan khurafat sebagai biang keladi kemunduran umat Islam. Mereka mengajak untuk kembali kepada Islam ‘murni’ sebagaimana dipraktikkan pada abad ketujuh masehi.
Jawaban ini tentu sangat utopis. Karena segala sesuatu yang menyejarah, termasuk agama, pasti mengalami inovasi-inovasi tertentu agar senantiasa dapat hidup dalam konteks yang selalu berubah.
Adapun dari kalangan intelektual rasional seperti Prof. Yudian Wahyudi, rektor UIN Sunan Kalijaga, dalam orasi-orasinya sering menyebut bahwa faktor ketertinggalan umat Islam adalah karena meninggalkan experimental sciencies. Umat Islam meninggalkan sains dan terlalu mendewakan ilmu-ilmu agama, seakan-akan semua permasalahan dunia hanya bisa diselesaikan dengan ilmu-ilmu agama. Oleh sebab itu, umat Islam kian terpuruk dalam dunia sains yang berkembang begitu pesat.
Dalam momentum Maulid Nabi ini, penulis justru akan mengatakan bahwa umat Islam terbelakang karena meninggalkan keteladan dari Sang Nabi!
Memang benar bahwa sebagian besar umat Islam hingga kini masih suka mengikuti hal-hal lahiriah-formalitas dari Sang Nabi, misalnya tata cara berpakaian, tata cara makan dan minum, tata cara masuk dan keluar dari ruangan tertentu, dst. Tetapi kenapa melupakan hal-hal yang lebih batiniah-moralitas, seperti cara beliau menghargai kemanusiaan? Lupakah kita bahwa Nabi adalah seorang aktivis sosial?
Beliau mengangkat derajat perempuan dari yang awalnya hanya sebagai makhluk kelas dua menjadi makhluk yang setara dan bernilai. Beliau pula yang mengampanyekan pembebasan budak. Beliau juga menghapus sekat-sekat kesukuan dan perbedaan warna kulit dengan mengangkat Bilal ibn Rabah yang hitam pekat menjadi muazzin kesayangannya. Dengan lantang beliau katakan bahwa manusia itu setara, yang membedakan hanya kadar ketaqwaan (kesalehan ritual dan kesalehan sosial)-nya.
Aktivitas sosial Nabi luas, mulai dari hal-hal prinsipil seperti kesetaraan hingga hal-hal aktual seperti permasalahan politik-ekonomi-budaya.
Saat perayaan Maulid kemarin, penulis berkesempatan berziarah ke lima makam para Sunan Walisongo yang berada di Jawa Timur. Sedih rasanya melihat banyak sekali pengemis di sekeliling makam suci ini, padahal badan mereka masih sangat bugar untuk bekerja.
Lupa jugakah kita bahwa Sang Nabi sangat membenci mental dan sikap mengemis? Hal ini juga merupakan masalah serius yang harus dituntaskan oleh NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di sana dan tentunya PR kita bersama sesama anak bangsa.
'Ala kulli hal, untuk menjawab berbagai problematika yang dihadapi oleh umat Islam sebagaimana digambarkan di atas dan bertepatan dengan momentum Maulid Nabi ini, mari kita kembali meneladani sikap Sang Nabi. Pertama, sikap prinsipil dengan memperjuangkan hal-hal yang sifatnya asasi dan fundamental seperti persoalan kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, perdamaian, dan seterusnya.
Kedua, sikap aktual dengan menuntaskan masalah-masalah riil yang terjadi di tengah masyarakat, seperti kemiskinan, kebodohan, diskriminasi, konflik, perpecahan, dan seterusnya.
Apabila Islam Indonesia, baik konsep Islam Nusantara ala Nahdlatul Ulama maupun gagasan Islam berkemajuan made by Muhammadiyah, ingin menjawab pertanyaan Amir Syakib Arsalan dan Farukh Saleem di atas, yuk ajak kaum agamawan ‘keluar’ dari tempat peribadatannya, kaum elite politisi Islam ‘beranjak’ dari kursi kekuasaannya, dan kaum intelektual Muslim ‘turun’ dari menara gading keilmuannya, karena Nabi sendiri tidak selamanya berada di gua Hira.
Selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad 1440 Hijriah. Selamat berjuang menghidupkan cita-cita Sang Nabi.