Bagi yang mengenal Simone de Beauvoir, mungkin sudah tahu bahwa ia menolak maternitas. Menurutnya, jika perempuan mau punya eksistensi dan kebebasan penuh, ia sebaiknya menolak maternitas. "Salah satu kutukan terhadap perempuan adalah bahwa ia harus mengurus anak-anaknya, ”tegasnya. 

Tapi sebenarnya bukan semata-mata maternitas yang ia tolak, tetapi maternitas yang mengalienasi perempuan. Ia sendiri percaya ada maternitas yang dimaknai positif oleh perempuan. 

“Saya melihat maternitas yang memutilasi perempuan tetapi saya juga mengenal maternitas yang membahagiakan dan memperkaya pengalaman perempuan,” demikian katanya dalam sebuah wawancara dengan filsuf Francis Jeanson (1966, p.283). 

Perlu diketahui bahwa Beauvoir pernah menandatangani petisi mendukung aborsi legal. Bahkan ia yang menuliskan petisi ini. Dalam petisi ini, ia menyatakan bahwa ia termasuk dari “pelacur” yang pernah melakukan aborsi. Ini berarti bahwa ia juga pernah merasakan hamil, meski mungkin hanya “sebentar”. 

Saya tidak tahu bagaimana pengalaman dan penghayatan Beauvoir terhadap kehamilannya ini (sepertinya tidak ada pembahasan mengenai hal ini, atau mungkin saya yang belum menemukannya). 

Dari pernyataannya di atas (dalam wawancara), ia memisahkan antara perempuan yang mengalami mutilasi/alienasi dan perempuan yang bahagia dengan maternitasnya. 

Saya kira kehamilan dan maternitas dapat memutilasi dan atau mengalienasi, tetapi pada saat yang sama juga dapat membahagiakan dan memperkaya pengalaman perempuan. Setidaknya ini yang saya tangkap dari penghayatan saya pribadi dan sejumlah perempuan yang saya kenal. 

Contohnya saja, mual-mual setiap pagi, atau bahkan sepanjang hari, sakit punggung, dan keinginan untuk terus buang air kecil. Bisa jadi pula kaki bengkak dan kesemutan, dan pengalaman lain-lain terkait dengan tubuh saat mengandung, yang dapat berbeda pada tiap perempuan. 

Tentu sangat wajar jika perempuan tidak menyukai semua pengalaman di atas, karena toh memang tidak menyenangkan. Ketika melihat tubuhnya berevolusi, perut membesar, payudara membengkak, dsb, sangat mungkin perempuan merasa teralienasi, merasa asing dengan tubuhnya, merasa aneh. 

Tetapi kita tidak dapat mengabaikan bahwa pada saat yang sama, perempuan juga bisa mengalami perasaan-perasaan lain, yang positif. Baik kepada tubuhnya yang telah berubah itu, atau pada pengalaman yang diberikan si janin kepadanya secara langsung. 

Semisal ketika si kecil menendang-nendang perutnya dan memberikan sensasi menggelitik. Ketika ia melihat di layar monitor USG ada yang hidup dalam tubuhnya, ketika dokter memperdengarkan detak jantung bayinya, ini sangat menakjubkan, mengharukan, dan membahagiakan. Dan ini yang sepertinya Beauvoir tidak banyak eksplorasi dari perempuan-perempuan yang telah mengandung dan melahirkan.

Beauvoir juga berpendapat bahwa paternitas bisa membahagiakan bagi seorang laki-laki. Menurutnya kecuali bahwa perempuan mengalami yang namanya hamil dan melahirkan, sebenarnya tidak ada bedanya antara menjadi ayah dan menjadi ibu. Ia justru khawatir kalau-kalau ini adalah bentuk “narsisisme” perempuan, bahwa ia yang telah mengandung dan melahirkan, sehingga ia merasa lebih punya ikatan dan hak terhadap anak (p. 283).

Jujur saja mengenai narsisisme ibu ini, saya kurang setuju dengan pandangan Beauvoir. Hmmm, boleh dong ya kita tidak setuju dengan filsuf besar ini hehehe. 

Tentu saja tiap ayah juga dapat menghayati paternitasnya secara positif. Kasih ayah dan ikatan ayah terhadap anaknya, dan sebaliknya, anak terhadap ayah, tidak berarti kurang kuat dibandingkan ibu yang mengandung, melahirkan, dan mungkin juga menyusui. 

Yang saya amati, khususnya dalam masyarakat Prancis di mana saya hidup saat ini, ibu dan ayah sama-sama berperan dalam pengasuhan. Peran ibu sebagai yang mengandung dan melahirkan tidak menjadikannya suatu keistimewaan ataupun jaminan untuk lebih dicintai anaknya, untuk memiliki ikatan yang lebih kuat dengan anaknya. Hubungan anak dengan orang tua, ikatan yang terbentuk antara kedua belah pihak, terjalin dan terpupuk hari demi hari pascakelahiran. 

Sampai di sini, saya masih setuju dengan Beauvoir bahwa menjadi seorang ibu, yang mengandung dan melahirkan (dan menyusui pada sebagian ibu), tidak seharusnya membuat ia merasa lebih berhak memiliki si anak dibanding si ayah. Saya sendiri tidak mendukung para ibu yang memisahkan anak dari ayahnya dalam kasus-kasus perceraian. (Kecuali jika membahayakan si anak, contoh ayah pelaku kekerasan).

Tetapi sebagai ibu yang pernah merasakan ada “kehidupan” di dalam rahimnya, yang menjadi satu dengannya selama berbulan-bulan, dan kemudian “berjuang” melahirkan si bayi, melihatnya keluar dari bagian intim tubuh saya, saya pribadi menghayatinya sebagai keajaiban terajaib dalam hidup saya. 

Saya kira ini bukan bentuk kenarsisan (narsisisme) jika saya sebagai ibu merasakan “ikatan” itu,  jika saya punya pengalaman “keterikatan” ini yang tidak dimiliki oleh ayah anak-anak saya. Pengalaman ini adalah bagian dari kehidupan si ibu, yang tidak pernah dapat diselami dan dihayati si ayah. Atau sekalipun mau dianggap ini sebagai kenarsisan, silakan saja, saya kira kita sebagai ibu berhak juga narsis ^.^

Tentu hal yang sama juga terjadi di sisi ayah. Mulai dari ia menyaksikan si istri hamil dan tubuhnya berevolusi, melihat anaknya yang berasal dari benihnya, yang notabene adalah bagian dari dirinya, berdiam dalam tubuh istrinya, berkomunikasi dengannya, menyaksikan kelahirannya-bagaimana tubuh mungil itu keluar perlahan (sementara si ibu tidak dapat menyaksikannya ), memotong plasentanya, sungguh saya tidak pernah akan bisa menghayati ini semua, pengalaman-pengalaman ini bukan milik saya. Ayah juga boleh-boleh saja untuk “narsis” akan pengalaman ini. 

Jadi izinkan saya untuk menjadi ibu yang narsis dengan menggambarkan dalam prosa ini penghayatan saya terkait dengan maternitas :  

Kau kucintai dengan cinta semurni air susuku yang mengalir karena hadirmu dalam rahimku
Kau yang menjadi satu denganku,  
Dari mulai detik itu
Kubawa kehidupan dalam hidupku
Kemanapun kaki ini melangkah  
Selama masih berdetak jantungku
Kuhidup untuk hidupmu, kuhidup karena kau hidup dalamku

Sejak itu, dalam kegelapan, kau dengarkan cerita-ceritaku tentang dunia,
Tentang musik dan nada, tentang puisi dan rima,
tentang bundamu yang mencintaimu dalam ketidaksempurnaannya,
dengan seutuh cintanya yang takkan pernah sempurna bagi putri-putrinya. 

Gelitik jemari kakimu menepuk-nepuk dinding tubuhku, membelai hatiku
Kutahu kau ada di sana, dan kau tahu itu,
Berenang-renang dirimu, temukan nyamanmu, jemari tanganmu meraih jiwaku  
Kau beriku keistimewaan itu, sensasi ternikmat ibu, tak semua dapat dan inginkan

Dan dalam sakit itu, putriku, kutanggung karena hukuman atas keingintahuan Hawa, konon katanya perempuan pertama,
Suara tangismu kumandangkan hadirmu di dunia,
Kau begitu kecil, begitu mungil.
Keajaiban terajaib yang pernah terjadi padaku.
Tak lagi dirimu dalam diriku, kurasakan kau seutuhnya, kulitmu menyentuh kulitku.
Bahagia dalam ketakjuban kalahkan segala perih dan luka.
Tak ku peduli kau serupa dengan gambarNya atau gambarku 

Tak henti kukagumi kau putriku
Kulit lembut eksotik, rambutmu berkilau keemasan, tatap matamu mengerjap berbinar menelusuri setiap sudut ruang, mengamati mereka yang tertawan oleh dua lesung pipit menawan
Kecintaanmu menemukan makna dalam tiap kata tertera,
Semangatmu, gelak tawamu, kebaikan hatimu,
Betapa beruntung kumemilikimu, serigala kecilku 

Kubesarkan kau dengan cinta, bukan atas kewajiban.
Tiada kewajibanmu mencintaiku. Tiada pula kewajibanmu tuk menyenangkanku.
Tak perlu memberiku cucu-cucu nan lucu jika bukan itu yg kau mau
Tak usah masuki perkawinan jika ia mengekangmu
Dengarkan bisikan hatimu, selalu ada harga dari keinginan kita, pilihlah yang terbaik bagimu, jangan sesali keputusan-keputusanmu,
Jangan takut berbuat kesalahan, selama kau petik pelajaran itu

Bila tiba waktunya, anakku, tinggalkan bundamu.
Ia telah bahagia, ia kan terus bahagia kala renta.
Peluklah kebahagiaanmu, nikmati hidupmu, rengkuh kebebasanmu.
Raih mimpi-mimpi indahmu.
Terbanglah, terbanglah, putriku, sejauh yang kau mau
Karena kau tahu, bila kau mau, kau mampu

Selamat ulang tahun putri pertamaku.