“Matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan untuk menuliskan alam semesta”

Quotes yang cukup terkenal ini digaungkan oleh ilmuwan hebat Galileo (1564-1642). Pertanyaannya, seberapa dekat matematika dengan Tuhan? Berapa banyak lagi rahasia Tuhan yang masih tersembunyi di balik lirik-lirik indah matematika?

Sama halnya dengan cinta, matematika juga tidak memiliki definisi yang jelas. Ia adalah alat bagi para arsitek, akuntan, dan praktisi lainnya yang memperalat matematika. Ia adalah sajak-sajak yang indah bagi para matematikawan “gila”. Ia adalah setan yang harus dijauhi bagi sebagian besar orang yang mengidap mathematicphobia.

Di dunia pendidikan, ia adalah obat yang sering dicekokkan oleh guru pada para siswanya. Pada umumnya, ia sering dianggap alat untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang. Sehingga sampai saat ini tidak ada anggapan yang disepakati bersama tentang apa itu matematika. Bagaimana mencapai definisi yang presisi jika objek matematika saja masih diperdebatkan?

Sebenarnya, matematika bukannya tidak dapat didefinisikan dengan jelas, melainkan terlalu luas untuk diartikan. Terlalu cepat perkembangannya untuk dibuatkan definisi kekiniannya dan terlalu banyak yang aneh untuk dimengertikan.

Pada masa manusia purba, matematika hanya berarti cara untuk menghitung berapa banyak domba yang dimiliki sebuah keluarga. Kemudian berkembang menjadi alat ukur tanah pada era keemasan ilmu pengetahuan di mesir. Menjadi alat hitung perdagangan pada masa kejayaan China.

Hingga saat ini, ilmu matematika yang sudah bercabang sedemikian banyaknya. Matematika telah diterapkan pada semua bidang keilmuan lainnya. Bahkan karya seni pun sekarang menggunakan matematika, misalnya batik fraktal.

Lalu, jika matematika yang termasuk salah satu ilmu Tuhan saja, kita tidak bisa mengetahui seberapa luasnya, jelaslah jika kita tak pernah mampu menghitung seberapa luas ilmu Tuhan keseluruhannya.

Matematika memang sering dianggap tidak jelas dan tidak bermanfaat. Beberapa orang sering kali bertanya, “Apa kegunaan ilmu matematika yang sebegitu rumitnya dalam kehidupan sehari-hari? Bukankah yang kita perlukan hanya perjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian saja?”

Pertanyaan semacam ini muncul karena sikap skeptis seseorang ketika belajar lika-liku matematika. Untuk sekadar menjawabnya atau meng-counter, kita bisa balik bertanya, “Apa yang bisa kita lakukan tanpa campur tangan matematika?”

Matematika melingkupi semua apa yang kita lakukan. Ambil contohnya, saat kita makan, mana yang kita pilih untuk digunakan? Sendok teh atau sendok makan? Kenapa kita tidak memilih sendok teh? Karena permukaan sendok teh terlalu sempit jika kita gunakan untuk menyendok nasi, lauk, dan sayur dalam satu kali suapan. Apa ini bukan matematika?

Saat kita mandi, mana yang kita gunakan? Sendok makan atau gayung? Kenapa kita memilih gayung? Jelaslah volume gayung jauh lebih besar daripada volume sendok makan, sehingga mandi dengan gayung pasti lebih menyegarkan.

Masih terlalu banyak contoh yang bisa dituliskan di sini. Semua contoh yang diberikan di atas jelas menggunakan ilmu matematika, namun hanya ilmu matematika yang masih sangat sederhana.

Tuhan telah mengajarkan kepada kita melalui kecerdasan kita, agar kita tidak perlu repot menggunakan rumus luas permukaan untuk memilih sendok yang akan kita gunakan untuk makan. Agar kita lebih memilih gayung daripada sendok sebagai alat kita untuk mandi.

Sehingga sudah selayaknya kita bersyukur karena Tuhan memberikan kita kecerdasan untuk dapat menerapkan matematika sederhana di atas tanpa melakukan segala perhitungan dan “coret-coretan”.

God must be A Mathematician. Tuhan yang telah mengajarkan kita matematika, maka Dia pasti Sang ahli Matematika. Tuhan bermatematika dengan caraNya yang jarang kita mengerti. Tuhan jelas telah melakukan perhitungan atas segala yang Dia ciptakan.

Coba kita pikir, Tuhan menciptakan binatang terbesar seperti paus biru yang makanannya justru hewan-hewan kecil seperti plankton. Dan gajah yang besar justru cukup kenyang hanya dengan makan rumput.

Apa yang akan kita dapat dari lautan andai kata paus biru justru memangsa ikan-ikan yang biasanya kita makan? Dengan berat tubuh yang bisa mencapai 200 ton, paus biru bisa saja memangsa semua ikan di lautan, lalu apa yang akan tersisa untuk manusia?

Kemudian pikirkan pula andai kata Gajah makan daging. Dengan ukurannya yang besar tentulah kita – manusia, spesies berbalut daging tebal – termasuk makanan bagi mereka.

Tuhan justru menganugerahkan kekuatan yang cukup besar pada hewan yang justru bertubuh kecil seperti semut, atau kumbang badak.

Pikirkan lagi, apa yang akan terjadi bila semut atau kumbang badak seukuran sapi? Dengan kekuatan yang bisa mengangkat beban hingga puluhan kali lipat berat tubuhnya, seekor semut dan kumbang dapat merobohkan bangunan-bangunan yang kita tempati.

Masih cukup banyak lagi hikmah yang kita bisa ambil andai kita bisa sedikit saja mengerti matematika Tuhan. Mungkin juga kita bisa lebih bersyukur dan lebih dekat kepada Tuhan dengan bermatematika.

Apa pun matematika itu, terlepas bagaimana pun ia nantinya akan didefinisikan, matematika tetap akan berguna bagi kita. Karena matematika tidak hanya sekadar berhitung dan menghafal rumus. Matematika adalah bernalar. Kita bermatematika ketika kita berpikir.

Tuhan telah banyak mencotohkan bahwa Dia pun bermatematika. Sehingga jelaslah sebagai manusia yang merupakan satu-satunya ciptaanNya yang diberi akal, kita pun harus bermatematika. Semoga dengan bermatematika kita semakin menyadari segala kedigdayaanNya. Amin.


bersambung di : https://www.qureta.com/post/matematika-dan-tuhan-part-2