Sudah lama saya ingin menuliskan catatan ini, yakni catatan tentang pemahaman saya atas perkalian (dan operasi bilangan lain dalam aritmatika) yang diajarkan di bangku-bangku sekolah. Catatan ini juga dipicu oleh heboh soal matematika di jejaring sosial Facebook (dan katanya juga Twitter) pada tahun 2014. Sayangnya, unggahan Muhammad Erfas Maulana itu kemudian dihapus. Setelahnya Erfas bahkan meminta maaf.
Tak kurang Prof. Johanes Surya juga turut berkomentar atas hal itu. Prof. Johanes Surya, dalam hal ini, membenarkan buku matematika yang dirujuk si guru dalam kasus tersebut. Dalilnya adalah "kesepakatan". Saya sendiri cukup lama memikirkan apa yang dimaksud dengan "matematika kesepakatan" oleh Prof. Johanes Surya itu. Bagaimana mungkin matematika adalah sebuah "kesepakatan" semata? Oleh karenanya, saya bermaksud mengutarakan pendapat saya atas hal itu.
Persoalan dimulai dari bagaimana kita mesti menjawab soal, misalnya perkalian,
6 x 3 = ?
Apakah dengan cara:
6 + 6 + 6 = 18
Atau
3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3 = 18
Kita semua sudah tahu bahwa kedua cara penyelesaian itu menghasilkan jawaban yang sama, yakni 18. Pun begitu, kita mesti memilih perihal cara mana yang benar. Saya sendiri memilih cara dan jawaban yang pertama.
Namun saya kerap dipersalahkan oleh banyak orang karena berlawanan dengan buku-buku pelajaran di sekolah. Menurut buku-buku itu cara dan penulisannya yang tepat adalah: 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3 = 18
Saat saya tanya mengapa begitu, tak ada jawaban yang cukup memuaskan saya. Buku-buku itu, setahu saya, juga tak menjelaskan hal itu. Persoalan inilah yang akan saya jernihkan.
Biasanya, dalam penjelasan oral, saya akan menjelaskan panjang lebar bahwa matematika adalah turunan dari logika, yakni ilmu tentang cara berpikir benar. Dalam referensi lain, kita mengetahui juga bahwa logika adalah ilmu berkata-kata dengan jelas dan lugas ("logos" = "kata"; "berkata-kata"). Oleh karenanya, setiap persoalan matematika mesti memiliki penjelasan secara benar dan lugas. Oleh sebab itu pula saya berupaya mencari jawaban tentang bagaimana menjelaskan soal di atas tadi dengan lugas dan, mudah-mudahan, benar.
Untuk kebutuhan itu saya kembali ke dasar-dasar pemahaman matematika. Penjelasan saya sebagai berikut.
Sampai saat ini, saya meyakini bahwa matematika adalah sebuah upaya mengabstraksi kenyataan. Maksud saya begini, jika ada soal 1 + 1 = 2, maka itu sebenarnya hanyalah sebuah abstraksi dari, misal, "satu kambing ditambah dengan satu kambing" dan "hasilnya adalah dua kambing". Bilangan 1 adalah abstraksi dari 'satu kambing' dan bilangan 2 adalah abstraksi dari 'dua kambing'. Atau, misal yang lain, adalah abstraksi dari "satu kucing ditambah satu kucing" adalah "dua kucing".
Pun begitu, yang sering dilupakan orang adalah, bahwa dalam kenyataan sehari-hari 'satu kambing' ditambah dengan 'satu kucing' tidak akan pernah menjadi 'dua kambing' atau 'dua kucing'. Bukankah begitu?
Sampai di sini saya berharap bahwa apa yang saya maksud dengan "matematika adalah sebuah upaya mengabstraksi kenyataan" dapat dipahami. Ya, matematika adalah sebuah cara untuk membuat 'kenyataan' menjadi 'abstrak'; membuat yang 'nyata' menjadi 'bisa dipikirkan'.
Berdasarkan pemahaman konseptual tersebut maka soal matematika yang menjadi persoalan kita di bagian awal tulisan ini dapat kita bedah. Mari:
6 x 3 = ?
Sebelum melekatkan realitas 'kambing' atau 'kucing' pada soal tersebut, saya ingin terlebih dahulu menjelaskan 'perkataan' (logos) matematika itu. Yakni,
=> 6 adalah bilangan asal
3 adalah pengali (pengoperasi/operator)
Saya katakan 6 adalah bilangan asal dan 3 adalah pengalinya (operatornya). Apa yang saya maksud sebagai bilangan asal (dan disebut di awal) adalah 'bilangan yang mewakili realitas', dalam hal ini "kambing", "kucing", dan benda nyata lainnya, sementara 3 adalah 'bilangan pengali'-nya, dalam hal ini "kandang". Hal ini penting untuk dipahami agar kita mengetahui tentang apa yang sedang kita kerjakan dalam abstraksi itu.
Kita masukkan dalam simulasi 'realitas'-nya:
6 (kambing) dikali 3 (kandang) = 18 kambing.
Simulasi perkataan itu menjelaskan sebuah situasi bahwa "Terdapat 6 ekor kambing dalam tiap-tiap kandang, sedangkan kandang itu sendiri berjumlah 3 buah". Hasilnya, tentu saja ada "18 ekor kambing" dan bukan "18 buah kandang"; karena kita "sedang menghitung kambing" dan "tidak sedang menghitung kandang".
Jika sampai di sini belum jelas, kita akan coba dengan contoh lainnya, kali ini pembagian:
21 : 3 = ?
=> 21 adalah bilangan asal
3 adalah pembagi (pengoperasi/operator)
Pada contoh ini, jelas bahwa bilangan 21 adalah abstraksi dari "duapuluh satu ekor kambing" dan bilangan 3 adalah abstraksi dari "3 buah kandang". Artinya, kali ini kita dihadapkan pada situasi, --saya kemukakan dalam bahasa lugasnya--, "Terdapat duapuluh satu ekor kambing yang akan dimasukkan ke dalam 3 buah kandang. Berapa ekor kambingkah tiap kandang itu akan kita isi?"
Sampai di sini saya kira jelas bahwa dalam operasi pembagian tersebut bilangan 21 (bilangan asal) adalah abstraksi dari 'kambing' dan bukan 'kandang', dan karenanya bilangan itu disebut di awal. Ingat, kita sedang membagi kambing dan bukan kandang!
Oleh karenanya hal yang paling masuk akal buat saya dalam menjawab soal kita di awal, yakni soal 6 x 3 =? adalah
6 + 6 + 6 = 18
Dan bukan
3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3 = 18
Hal itu berlaku pula dalam soal pembagian
21 : 3 = ?, di mana bilangan 21 disebut di awal untuk mewakili realitas kambing --karena kita sedang menghitung kambing dan bukan kandang.
Singkatnya, buat saya, 'realitas' dinyatakan terlebih dahulu, baru kemudian 'dioperasikan'; dalam hal ini, jumlah 'kambing' dulu disebutkan, baru operasinya dilakukan (dikali, dibagi, ditambah, atau dikurang). Hal ini juga berkaitan dengan prinsip "kabataku" yang mudah-mudahan dapat saya jelaskan pada tulisan lain.
Demikian penjelasan saya. Jika ada pandangan dan penjelasan lain saya akan dengan senang hati mendengarnya. [ptx.]