Pernahkah kalian menonton film Eye in the Sky? Ya, inilah film yang menampilkan aspek etis dan humanis yang perlu dipertimbangkan dalam situasi perang atau kontak bersenjata.

Film yang dibintangi Helen Mirren ini menampilkan perdebatan etis seputar prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter Internasional seperti aspek kehati-hatian (precaution), pembatasan (limitation) dan keseimbangan (proportionality) antara kemestian sebuah operasi bersenjata (military necessity) dan pertimbangan aspek kemanusiaan (humanity).  

Dalam Eye in The Sky, perdebatan etis itu berlangsung sebelum pasukan Inggris melakukan operasi militer terhadap sebuah rumah yang ditempati kelompok militan al-Shabab. Namun repotnya, tepat di samping wilayah operasi, gadis lugu bernama Alia Mo’Allim selalu mangkal berjualan roti.

Alia tentulah rakyat sipil tak berdosa yang haram menjadi target militer (non-combatant). Jika operasi berlangsung secara gegabah, besar kemungkinan dia akan menjadi korban ikutan (collateral damage) dari tajamnya peluru atau dahsyatnya ledakan bom.   

***

Nah, tepat 10 Mei 2018 lalu, Indonesia dihadapkan pada skenario seperti itu di Rumah Tahanan Mako Brimob, bahkan dalam kadar yang lebih ekstrem. Dalam Eyes in the Sky, nyawa yang dipertimbangkan hanya seorang gadis—sebetulnya tidak ada istilah “hanya” untuk sebuah nyawa! Di Mako Brimob, yang dipertimbangkan tak hanya satu, tapi 155 nyawa!

Ya, kita menyaksikan mata hati bekerja di angkasa Mako Brimob!

Berlebih-lebihankah saya mengatakan seperti itu? Saya kira tidak! Saya mengikuti detik demi detik tragedi di Mako Brimob. Saya juga terlibat perdebatan panas di grup Whatsapp dengan mereka-mereka yang tak sabar mengikuti proses demi proses yang ditempuh Kepolisian Republik Indonesia dalam menyelesaikan krisis.

Saat begitu terlibat dalam menyaksikan peristiwa demi peristiwa, kita memang gampang terbawa emosi. Apalagi setelah membaca tingkat kekejian yang dialami enam aparat yang bertugas. Sebagian kawan bahkan dengan gegabah berharap agar aparat segera menempuh cara-cara opresif guna mengakhiri krisis.

Bagi sebagian, tidak ada gunanya bernegosiasi dengan “teroris” yang telah melakukan kekejian sedemikian rupa (kata “teroris” sengaja diberi tanda petik karena adanya kabar bahwa tragedi itu hanya dimotori sebagian narapiter, bukan ijmak alias kesepakatan mayoritas penghuni tahanan!).

Nah, mereka yang terlanjur naik darah ini lupa, setidaknya masih ada nyawa Bripka Iwan Sarjana yang cukup berharga untuk diselamatkan dari kondisi penyanderaan sebelum aparat mengambil tindakan.

Yang menakjubkan, nyawa Bripka Iwan justru berhasil diselamatkan dengan memberi makanan kepada para penyandera yang telah lebih dari 20 jam berpuasa dan menguasai rutan. Saya tersenyum membaca kasus barter ini, tapi juga waswas. Apakah tahapan-tahapan yang akan ditempuh kepolisian selanjutnya?

Dini hari sekali saya berangkat tidur sambil mendongkol akan kekalahan Arsenal di kandang Leicester. Saya sempat membayangkan apa yang akan terjadi esok pagi. Setelah sandera terakhir dilepas, praktis tak ada lagi halangan bagi aparat untuk segera mengambil tindakan opresif. Kecuali bila para militan menyandera napiter lainnya demi perundingan lebih lanjut.

Namun betapa takjubnya saya. Pagi hari, saya mendapati kabar bahwa 145 napiter menyerah tanpa syarat. Tinggal sepuluh napiter paling militan yang tetap bertahan di dalam rutan. Jika menyaksikan heroisme mereka sebelum peristiwa ini, mungkin sekali mereka akan bertempur sampai titik darah penghabisan, dengan senjata yang ada.

Namun ramalan saya meleset lagi. Mereka ternyata belum siap mati dan segera berjumpa dengan bidadari di alam surgawi. Klaim tentang hidup mulia atau mati syahid (isy kariman aw mut syahidan) yang mereka pekikkan seperti palsu atau belum matang! Saya agak kecewa dan mungkin banyak juga dari kita yang sangat kecewa.

Tapi kekecewaan itu segera terobati oleh fakta bahwa Kepolisian Republik Indonesia telah menempuh cara-cara humanis dan beradab dalam menangani krisis ini. Selain menyaksikan kebiadaban, kita juga menyaksikan mata hati yang bekerja di Mako Brimob.

Kita tahu, tetap berkepala dingin dalam menghadapi krisis semacam ini tentu tidak mudah. Apalagi sambil menyaksikan kenyinyiran sosial tentang masa operasi yang melebihi 24 jam. Terlebih lagi setelah menyaksikan mereka-mereka yang gugur dalam kondisi mengenaskan dan sangat tidak manusiawi.

Sungguh sangat mudah bagi Kepolisian Republik Indonesia untuk menghabisi sepuluh napiter paling militan yang tersisa di rutan. Aparat bisa saja berdalih kalau mereka telah melakukan perlawanan sengit dengan persenjataan yang mereka punya.

Namun kita justru menyaksikan bahwa Kepolisian konsisten dan istiqamah menggunakan pendekatan lunak dan menjunjung tinggi supremasi hukum nasional, hukum HAM maupun Protap institusi dalam menghadapi krisis.

***

Bagi saya, apa yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia dalam kasus ini sangat pantas dibanggakan sekaligus memberi harapan bagi kehidupan kebangsaan yang lebih humanis dan beradab. 

Kepolisian tentu mendapat arahan langsung atau tidak langsung dari Presiden Jokowi dan Kapolri Muhammad Tito Karnavian. Mungkin pula sempat menghayati pesan paman Ben kepada Spiderman: remember, with great power comes great responsibility!   

Ya, pada kasus krisis Mako Brimob, kita menyaksikan mata hati dan mata nurani masih bekerja dan memenangkan hati Indonesia. Kita juga menyaksikan bahwa sebuah kekuatan telah digunakan dengan rasa tanggung jawab yang besar!

Bravo untuk Kepolisian Republik Indonesia. Paman Ben dan rakyat Indonesia pantas berbangga akan prestasi moral-etis dan kemanusiaan ini!

Jakarta, 11 Mei 2018