Konsep masyarakat adat di Indonesia telah muncul sejak zaman kolonial. Paling tidak, terdapat dua pendapat besar tentang konsep masyarakat adat ini, yaitu; pertama, masyarakat adat adalah bagian dari konsep pribumi, dan pendapat kedua masyarakat adat adalah komunitas yang khas (distinctiveness) dari kelompok masyarakat yang dominan (Safitri, 2015).  

Pendapat pertama terkait dengan keberlanjutan konsep masyarakat adat dari kategori ras pada masa kolonial belanda, yaitu pribumi, eropa dan timur asing (foreign oriental). Dalam pengertian ini, Masyarakat adat atau disebut juga dengan masyarakat hukum  adat (rechtsgemeenschappen) adalah pendalaman konsep pribumi dari pendekatan hukum adat (Safitri dan Uliyah, 2014).

Cornelis Van Vallenhoven menjelaskan bahwa pemberlakukan hukum adat ditopang oleh unit sosial masyarakat adat seperti nagari, negeri, huta dan lain-lain, yang mempunyai dua unsur utama, yaitu representasi otoritas lokal yang khusus (kepemimpinan adat), dan harta kekayaan komunal, terutama tanah dan wilayah adat (Safitri dan Uliyah, 2014).

Pendapat kedua terkait dengan translasi masyarakat adat dari pengertian internasional. Pengertian ini merupakan respon dari kolonialisasi-imprealisme dan dampak kapaitalisme global terhadap komunitas masyarakat adat. Kelompok NGO gerakan lingkungan dan hak asasi manusia adalah pengusung utama konsep ini (Andiko dan Firmansyah, 2014).

Masyarakat adat dalam pengertian ini adalah masyarakat dengan ikatan asal-usul leluhur dalam wilayah geografis tertentu dengan kekhasan sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik dan budaya. Masyarakat adat dalam pengertian tersebut merupakan kelompok ‘non-dominance’ yang cenderung menjaga wilayah adat, institusi sosial-budaya, bahasa ibu dan kepercayaan lokal secara terus menerus (Safitri, 2015).

Menurut penulis, pengertian pertama dan pengertian kedua saling berhubungan namun memiliki titik fokus yang berbeda. Pengertian pertama fokus pada bekerjanya adat dalam unit-unit masyarakat adat, sedangkan pengertian kedua fokus pada identitas masyarakat adat sebagai kelompok minoritas/marjinal.

Oleh sebab itu, pengertian pertama cenderung pada pengakuan legal terhadap unit-unit sosial masyarakat adat dalam sistem Negara, terutama terkait dengan otonomi dalam pemerintahan dan pengelolaan sumber daya alam. Dalam pengertian ini, masyarakat adat adalah bagian dari fungsi Negara (Andiko dan Firmansyah, 2014).

Sedangkan pada pengertian kedua, pengakuan masyarakat adat mengalami perluasan dimensi yang meliputi identitas kulturalnya yang khas, baik itu dibidang tata kelola sumber daya alam, pengetahuan tradisional, pengakuan spiritualitas agama lokal (adat), dan seterusnya.

Pengakuan Masyarakat Adat

Konstitusi Indonesia mengakui pengakuan masyarakat adat dalam dua dimensi di atas, yaitu sebagai unit sosial dalam fungsi negara (pemerintahan) maupun masyarakat adat sebagai identitas kultural yang khas. Masyarakat adat sebagai unit sosial dalam fungsi negara terdapat dalam pasal 18 B ayat 2, sedangkan masyarakat adat sebagai identitas kultural terdapat dalam pasal 28 i.

Pengakuan masyarakat adat dalam pasal 18 ayat (2) UUD 1945 adalah wujud integrasi unit sosial masyarakat adat dalam sistem pemerintahan, yang disebut dengan desa atau nama lain. Sedangkan pasal 28 i adalah pengakuan masyarakat adat secara luas terkait identitas kultural masyarakat adat.

Persoalan pokok pengakuan masyarakat adat adalah tentang kepastian pelaksanaan hak dan kewajiban hukum masyarakat adat dalam berbagai dimensi tersebut, khususnya pelaksanaan hak sumber daya alam dan pemerintahan. Hukum Indonesia memberlakukan pengakuan bersyarat atas status legal masyarakat adat tersebut, yang secara prosedural mesti melalui tahapan penetapan masyarakat adat sebagai subjek hukum berdasarkan kriteria-kriteria legal yang ada melalui sebuah produk hukum daerah (Firmansyah, 2016).

Selain bersyarat, pengaturan hak-hak masyarakat adat terpisah-pisah dan tumpang-tindih. Kondisi ini berimplikasi pada keberagaman penafsiran pelaksanaan hak masyarakat adat yang saling bertentangan pada tingkat pelaksanaan operasional dan bersifat sektoral.

Tabel dibawah ini menjelaskan secara ringkas peta pengaturan pengakuan masyarakat adat berdasarkan bentuk entitas subjek hukum dan jenis-jenis haknya (Firmansyah, 2016): 

No
Aspek perlindungan
Bentuk / Kategori Masyarakat Hukum Adat
Penetapan Masyarakat Hukum Adat
Kategori Hak Masyarakat Hukum Adat
Prosedur Penetapan Hak 
1
Penguasaan tanah dan Sumber Daya Alam
Masyarakat Hukum Adat
Peraturan Daerah dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah
Hak Ulayat: hak penguasaan tanah atau wilayah masyarakat hukum adat
Penerbitan hak komunal masyarakat hukum adat
Hak atas hutan Adat yang merupakan bagian dari hak ulayat yang berada di kawasan hutan
Surat keputusan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Hak Komunal yang merupakan bagian dari hak ulayat pada tingkat klan atau sub-klan
Penetapan melalui surat Keputusan Kepala daerah yang kemudian didaftarkan ke BPN untuk sertifikasi hak komunal
2
Pemerintahan
Desa Adat
Peraturan Daerah
Hak pemerintahan yang dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat dalam bentuk desa adat, yang terdiri dari :
  1. Hak asal usul (termasuk hak ulayat)
  2. Hak tradisional
Penetapan Desa Adat melalui Peraturan Daerah Kabupaten/kota secara otomatis penetapan hak asal usul


Tabel di atas memperlihatkan bahwa desa adat adalah salah satu jalur pengakuan masyarakat adat dalam sistem pemerintahan desa dengan menintegrasikan masyarakat adat dengan desa. Istilah Desa adat sendiri muncul sejak pemberlakukan UU Desa 2014, namun secara konseptual telah ada jauh sebelum lahirnya UU Desa 2014, yaitu desa-desa yang berakar pada adat seperti nagari, marga dan lain-lain.

UU Desa 2014 berfungsi sebagai instrumen hukum untuk mengoreksi pelaksanaan UU Desa lama (UU No 5/1979) yang dinilai menghancurkan keberadaan entitas desa adat. UU Desa lama menyeragamkan desa dengan model desa jawa dan memposisikan desa sebatas pelaksana urusan Pemerintah Pusat di tingkat desa (asas residualitas), sehingga desa menjadi subjek pemerintahan yang lemah (Yasin,dkk, 2015).

Selaras dengan itu, gelombang desentralisasi paska orde baru menggeser kekuasaan pusat ke daerah. Pergeseran tersebut tidak otomotis memperkuat kapasitas (legal) desa adat secara utuh. Pemulihan Desa-desa adat pada masa desentralisasi tidak sepenuhnya terjadi. Pergeseran kekuasaan ke daerah memposisikan desa, yang awalnya perpanjangan tangan pemerintah pusat menjadi perpanjangan tangan pemerintah daerah.

Walaupun sebagian daerah menggunakan momentum desentralisasi untuk mencoba memulihkan desa-desa adat, seperti di Sumatera Barat dan Aceh, namun hanya sebatas perubahan nama desa menjadi nama-nama lokal, seperti nagari, mukim dan lain-lain. Perubahan ini tidak menyelesaikan persoalan mendasar desa adat, yaitu tentang hak otonomi mengelola kekayaan desa termasuk Sumber Daya Alam berdasarkan nilai-nilai adat.

Pada garis lain, pengakuan masyarakat adat sebagai komunitas masyarakat adat juga lahir seiring dengan desentralisasi. Pengakuan ini adalah model pengakuan masyarakat adat sebagai entitas legal masyarakat adat, yang tidak mesti terintegrasi dengan desa. Misalnya, Pengakuan komunitas Badui di kabupaten Lebak. Pemda Lebak melahirkan aturan daerah yang mengatur khusus masyarakat adat badui sebagai komunitas masyarakat hukum (Andiko dan Firmansyah, 2014)  

Secara umum, model pengakuan hukum masyarakat adat yang beragam melahirkan ketidakpastian hukum. Masyarakat adat menghadapi pilihan-pilihan model pengakuan yang saling bertumpang tindih dan sektoral, sehingga pengurusan pelaksanaan hak masyarakat adat terbelah-belah berdasarkan sektor yang masing-masing memiliki otoritas-otoritas yang berbeda-beda.

Selain itu, kendala lain dalam pengakuan masyarakat adat adalah masih bertumpu pada otoritas Pemerintah Daerah untuk mengakui keberadaan masyarakat adat sebagai subjek hukum.[1] Dalam konteks ini, kemauan politik, situasi politik daerah dan dinamikanya sangat mempengaruhi agenda pengakuan masyarakat adat, yang dalam situasi tertentu masyarakat adat berada pada kondisi marjinal secara politik.

Jalur Pengakuan Desa Adat

UU Desa 2014 mempunyai arti penting dalam agenda pengakuan masyarakat adat ke dalam desa, karena: Pertama, populasi masyarakat adat dan sumber dayanya pada umumnya berada di wilayah pedesaan. Perubahan kebijakan negara terhadap desa dan wilayah pedesaan berimplikasi pada pengurangan kapasitas otonomi masyarakat adat, baik terhadap sumber daya maupun pemerintahan. Kedua, UU Desa 2014 memberikan saluran pengakuan masyarakat adat melalui konsep desa adat, yang berbasis asas pengakuan untuk menggantikan asas residualitas yang sentralistik.

Selanjutnya, dengan segala peluang yang ada, persoalan normatif muncul dalam tubuh UU Desa 2014 terkait dengan aturan pilihan status desa. Walaupun masyarakat desa dibuka peluang untuk mengajukan status desanya melalui melaknisme inisiatif desa, namun tetap, Pemerintah Daerah adalah otoritas penentu penetapan status desa tersebut. Oleh sebab itu, politik daerah dan dinamikanya sangat berpengaruh terhadap implementasi UU Desa 2014 dalam konteks penentuan status desa adat yang menjadi penyebab mandeknya pengakuan masyarakat adat melalui jalur desa adat sampai saat ini.

[1] Peraturan Menteri Agraria No.9/1999 tentang Pedoman pengakuan hak ulayat masyarakat adat sebagai aturan pertama penyerahan kewenangan pengakuan masyarakat adat ke pemerintah daerah yang diikuti oleh perundang-undangan lain yang bersifat sektoral termasuk UU Desa dan Mahkamah Konstitusi memperkuat kewenangan pemerintah daerah tersebut melalui Putusan MK No.35/2012 tentang hutan adat.