Pada tulisan saya sebelumnya, saya menyebutkan istilah infinity stones untuk hal-hal yang bisa kita gunakan sebagai senjata dahsyat untuk melawan wabah Covid-19. Maka kali ini saya akan menuliskan tentang kisah “batu pertama”: masker.

Barang ini bukan hal yang baru dalam penanganan wabah pandemik Covid-19. Dia mengalami dinamika perjalanan yang menarik. Dari awal dia dinyatakan hanya untuk yang sakit, hingga belakangan dia diwajibkan bagi seluruh orang. Dari dia yang ditimbun sampai harganya tak terbeli, hingga dia diobral sampai penimbunnya merugi.

Namun saya merasa perlu memperlihatkan kehebatan alat ini agar kita semua dapat lebih peduli dan disiplin menggunakan masker.

Dalam keseharian kita masih menjumpai banyak orang yang belum menggunakan masker di luar rumah. Ada pula yang memakai masker, namun hanya setinggi mulut dan hidungnya tidak tertutupi. 

Lebih menyebalkan lagi kadang ada yang membuka maskernya ketika dia batuk dengan tujuan agar maskernya tidak basah. Ada pula yang memakai masker hanya dengan menggantungkannya di leher mereka.

Penggunaan masker adalah upaya pengendalian yang paling kuat di antara yang lainnya. Transmisi utama melalui saluran pernapasan menjadi dasar mengapa penggunaan alat ini menjadi sangat penting untuk mencegah infeksi penyakit saluran napas, tak hanya oleh virus Corona melainkan juga virus dan bakteri lainnya yang memiliki cara penularan yang sama. 

Bahkan ketika ilmu pengetahuan belum mampu menjelaskan dasar-dasar penyakit infeksi dengan baik, pada abad ke-17 dokter-dokter Eropa yang menangani wabah pes sudah menggunakan masker yang berbentuk seperti paruh burung dan menambahkannya dengan berbagai tumbuh-tumbuhan beraroma harum untuk melindungi dirinya dari “udara buruk”, yang disebutnya sebagai miasma, yang dianggap sebagai sumber penyakit, suatu konsep etiologi penyakit yang sudah dianggap modern pada saat itu menggeser konsep penyakit menular dan wabah sebagai suatu kutukan atau tanda kemarahan Tuhan.

Baru pada 1897, pada saat yang hampir bersamaan dokter bernama Johann von Mikulicz Radecki memperkenalkan masker sebagai upaya pengendalian infeksi yang terjadi saat operasi, dan dokter bernama Fluegge menjelaskan teori tentang bagaimana kuman dapat berpindah melalui droplet dari hidung dan mulut. 

Kemudian tahun 1905 Hamilton merekomendasikannya secara formal agar para dokter menggunakan masker saat operasi untuk melindungi pasien mereka dari droplet hidung dan mulut mereka. Tampaknya sejak saat itu masker menjadi identik dengan tindakan operasi sehingga menjadi suatu istilah khusus, yaitu masker bedah.

Masker sebagai alat perlindungan diri dimulai pada 1915. Meltzer mulai menganjurkan pemakaian masker pada pasien difteri dan pada para petugas yang menangani pasien tersebut. Dalam 2 tahun dilakukan evaluasi terhadap aturan tersebut. Hasil yang menakjubkan didapatkan, tak ada seorang pun di antara para petugas itu yang terkena difteri.

Masker lalu menjadi topik besar dalam pengendalian penyakit infeksi. Di era 1920-1940 minat para ahli sangat besar untuk meneliti dan menyempurnakan alat ini. Hingga pada akhirnya di tahun 1940 era antibiotik dimulai dan menjadi primadona baru di dunia kedokteran. Perhatian kepada masker pun akhirnya teralihkan.

Dalam penanganan wabah, masker mulai digunakan secara massal sebagai intervensi pada pandemik Flu Spanyol pada 1918. Flu ini dinyatakan sebagai pandemik terburuk karena mematikan lebih dari 50 juta orang di dunia. Dunia kedokteran belum mengenal vaksin, antibiotik, terlebih antivirus. Penanganan wabah benar-benar bertopang pada pencegahan penyebaran. 

Masker menjadi alat utamanya. Di Amerika Serikat, semua warga diwajibkan untuk menggunakan masker. Saat itu standar masker medis hanya berbahan kain kasa. Untuk memperluas dan meningkatkan kepatuhan penggunaannya, masyarakat juga diberikan kebebasan untuk membuat masker dengan bahan bahkan desain sendiri.

Namun sama seperti kondisi hari ini, tetap saja ada orang yang malas menggunakan alat ini. Mereka dikenal dengan sebutan “pemalas yang berbahaya”. 

Sehingga untuk mengontrol hal ini dibuat kebijakan bahwa bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi, mulai dari denda sebesar $5, hukuman penjara, hingga mencetak nama mereka di koran. Bahkan ada satu insiden mengerikan di San Fransisco, seorang petugas khusus untuk badan kesehatan menembak seorang pria yang menolak menggunakan masker.

Ada pula yang mengenakan masker namun tidak dengan cara yang benar, bahkan ada yang sengaja melubangi masker mereka untuk rokok.

Bahkan banyak juga yang menolak menggunakan masker dengan berbagai alasan. Mulai karena merasa pengap dan tidak nyaman hingga karena berpikir tidak baik bagi bisnis mereka. Sebagian menuduh pemerintah menebar ketakutan dan melanggar hak kebebasan mereka. Para pembangkang ini bahkan membentuk perkumpulan “Liga Anti-Masker”.

Adanya keengganan bahkan penolakan penggunaan masker saat itu, selain dipengaruhi iklim kebebasan sipil, mungkin juga dipengaruhi oleh masih minimnya ilmu tentang seberapa baik masker bisa melindungi seseorang agar tidak terkena infeksi. Data dan penelitian tentang masker masih sangat terbatas.

Berbeda dengan kondisi hari ini. Penelitian tentang efektivitas masker, mulai dari uji laboratorium hingga uji klinis, telah membuktikan bahwa masker sangat berguna untuk melindungi diri dan orang lain dari penularan virus atau bakteri saluran napas.

Saya tidak akan memaksa Anda untuk membaca data-data penelitian yang rumit, karena saya sendiri pun pusing membacanya. Namun saya ingin berbagi cerita tentang bagaimana masker benar-benar dapat melindungi Anda maupun orang lain dari penularan virus Corona.

Ada satu laporan kasus yang menarik, yaitu kasus Covid-19 pertama di Kanada, di mana pada 22 Januari 2020 seorang pria berangkat dari Cina menuju ke Toronto menggunakan pesawat terbang. Selama perjalanan yang memakan waktu 15 jam itu, penumpang tersebut selalu terlihat batuk. Namun beruntungnya selama perjalanan ia menggunakan masker.

Belakangan dia melakukan tes terhadap dirinya dan diyatakan positif Covid-19. Lalu dilakukanlah tes pada seluruh 25 orang yang duduk dalam radius 2 meter dari kursinya, juga pada seluruh awak pesawat, dan 1 orang yang kontak dengannya setibanya di Toronto. 

Hasilnya menggembirakan, tak ada seorang pun yang terdeteksi positif Covid-19. Dan tak ada satu penumpang pun di pesawat tersebut yang terlaporkan menderita Covid-19. Hal ini memperlihatkan betapa ampuhnya alat ini.

Setelah membaca kisah tersebut, saya berharap Anda sudah yakin dengan kesaktian “infinity stone” yang satu ini. Saya akan melanjutkan berbagi tentang kisah-kisah infinity stone lainnya di tulisan-tulisan saya yang berikut.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin kembali mengajak agar kita semua tetap menggunakan masker dengan baik dan benar. Pesan khusus saya kepada Anda yang sering terlihat di media, para pejabat, juru bicara, influencer, youtuber, mohon agar Anda menjadi contoh untuk selalu menggunakan masker ini, terutama jika ada orang lain di sekitar Anda.  

Bagi saya masker ini adalah bentuk norma sosial yang baru, yaitu menghargai orang lain, setidaknya kepada orang lain yang juga menggunakan masker. Salam sehat.