Pro-kontra soal wacana dan gerakan politisasi masjid di Indonesia, dalam amatan saya, kini telah memasuki babak baru. Apalagi setelah munculnya pernyataan tokoh yang mengaku sakit kalau masjid tidak dibolehkan membicarakan politik. Pernyataan ini secara implisit menunjukkan bahwa sang tokoh pro-politisasi masjid dan siap menjalankannya untuk tujuan-tujuan politik.

Yang dimaksud politisasi di sini adalah menjadikan masjid tidak hanya sebagai ruang bersujud dan bersimpuh di hadapan Allah, tapi juga sebagai instrumen untuk membincangkan hiruk-pikuk dunia politik. Tak hanya membincangkan, mungkin pula sampai taraf kontestasi dan mobilisasi yang kian sengit dan mengkhawatirkan kehidupan berbangsa.

Melihat fenomena ini, ingatan membawa saya ke masa-masa di pesantren. Di masjid utama tempat saya nyantri lebih dari 20 tahun lalu (di Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo), tertera sebuah kaligrafi indah bertuliskan penggalan surat at-Taubah ayat 107. Artinya lebih kurang begini:

… Masjid yang dibangun atas landasan takwa sejak hari pertama itu lebih berhak untuk kau jadikan tempat bermukim. Di dalamnya terdapat orang-orang yang berusaha menyucikan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang menyucikan diri.

Ayat ini secara implisit menandaskan bahwa masjid yang semata-mata atau murni dibangun atas dasar takwa tidak hanya akan menjadi tempat bersujud dan bersimpuh. Tetapi, ia bahkan membuat orang merasakannya sebagai tempat bermukim nan sejuk dan menentramkan.

Oleh para santri kala itu, ungkapan “ussisa ala at-takwa” (yang dibangun atas landasan takwa) ini sangat membekas di ingatan sekaligus membuahkan guyonan. Harap maklum, para santri senior Gontor waktu itu diwajibkan untuk lebih sering salat di masjid (bukan di kamar seperti para santri junior). Dan ada yang lebih penting lagi: kewajiban absensi untuk salat di masjid sekaligus sanksi bagi yang alpa ke masjid.

Karena itu, selain istilah “ussisa ala at-taqwa”, para santri juga menciptakan istilah baru nan lucu: "ussisa ala at-tauqi” (masjid yang dibangun atas landasan absensi!). Pak Kiai dan Ustaz pengasuhan santri sering menggunakan dua istilah ini untuk menyindir para santri yang hanya ke masjid untuk sekadar memenuhi kewajiban tanda-tangan dan menghindari sanksi, semisal, pukulan rotan.

Di Pesantren Gontor masa itu, perwakilan yang paling pas untuk santri yang menjadikan masjid sebagai tempat untuk meningkatkan takwa ada pada mereka-mereka yang tergabung dalam kelompok Jamiyyatul Qurra' atau Perhimpunan Para Qori yang memang membasiskan kegiatan mereka di masjid.

Oleh santri lainnya, para qori ini dijuluki muntakhab masjid (andalan atau kesebelasan masjid) sebagai pembanding istilah muntakhab maidan (kesebelasan atau andalan lapangan hijau) bagi mereka-mereka yang lebih semangat berolahraga. Di tahun-tahun awal di Gontor, saya termasuk bagian dari kesebelasan masjid ini, walau kemudian lebih sering bermain di lapangan takraw.

***

Ilustrasi di atas saya kira tepat untuk menggambarkan debat mutakhir kita seputar pro-kontra politisasi masjid. Sebab masjid yang sejati—di era perdana Islam, disimbolkan dengan masjid Nabi—adalah masjid yang digunakan untuk meningkatkan rasa takwa kepada Allah.

Sementara masjid yang kurang atau mungkin sama sekali tidak sejati—disimbolkan oleh masjid Dhirar yang akhirnya dihancurkan Nabi—adalah masjid yang dibangun dengan landasan selain takwa, bahkan bisa pula landasan yang bertentangan dengan spirit dan api takwa.

Bagi saya, masjid yang berlandaskan takwa adalah masjid yang mampu menyejukkan orang-orang yang bersujud dan bersimpuh di dalamnya, bahkan mampu membuat mereka betah berlama-lama dan bermukim di sana. Masjid yang berlandaskan takwa adalah masjid yang secara sederhana mengikuti arahan Quran: mengandung orang-orang yang berupaya menyucikan diri dari dosa dan noda dunia.

Masjid yang membuat masyarakat terpicu dan terpacu untuk menyucikan hati dan pikirannya dari dosa dan noda dunia adalah masjid yang berdiri atas dasar takwa. Masjid yang mampu membuat masyarakat lebih peka dan peduli terhadap keluhan dan penderitaan orang papa adalah masjid yang berasaskan takwa.

Masjid yang membuat kita termotivasi untuk hidup lebih spiritual dan bersemangat untuk berbuat baik dan adil kepada sesama dapat kita sebut sebagai masjid yang berasaskan takwa. Sebaliknya, masjid yang hanya dipergunakan untuk tujuan-tujuan rendahan dan hina dina adalah masjid yang tidak berasaskan takwa.

Masjid yang digunakan untuk sembahyang dan mengaji, merenung dan mengabdi kepada Allah, meningkatkan kesucian pikiran dan hati, adalah masjid yang berasaskan takwa. Masjid yang hanya dipergunakan untuk melakukan provokasi dan agitasi, membuat kusut pikiran dan kalut hati, menyuburkan kebencian dan meluaskan permusuhan, adalah masjid yang tidak berlandaskan takwa.

Kini terpulang pada kita untuk memilih sesuai dengan ilustrasi kehidupan santri di atas: mau masjid berasaskan takwa atau masjid yang hanya berlandaskan absensi. :)