Iqamat salat maghrib malam ini sudah berkumandang, sedang posisi saya masih berjalan menuju masjid. Ketika iqamat sudah selesai, lalu imam bertakbir dan membaca alfatihah, sesaat kemudiannya barulah saya tiba. Walhasil, keterlambatan saya yang nggak terlambat-lambat amat itu, membuat saya persis berdiri dan menempati saf kedua.

Sebelum memulai salat, saya sempat melirik ke sebelah kiri saf pertama. Di sana ada anak-anak. Tiga orang. Berderet. Dan terlihat sangat khusyuk dengan salat mereka. Sontak, saya membatin, "Tumben banget ada bocah-bocah salat di saf pertama dan berbaur dengan orang dewasa lainnya, biasanya kan mereka ditaruh di belakang. Ya, okelah, selagi mereka adem-ayem aja, nggak papalah, aman insyaallah." Husnuzzan saya dalam hati.

Kemudian di rakaat kedua menuju tiga, mulailah terjadi sedikit bisik-bisik di antara mereka, gelisah-gelisah, dan setelahnya berujung dengan ketawa-ketawa. Wujud mereka yang salat di saf pertama, berhasil mengganggu konsentrasi setiap salat para jamaah. Plis, jangan ditanya lagi sehabis salat mereka gimana: ya sudah pasti kena marah dan diusir dari sana, walaupun ada sebagian jamaah yang terlihat membela.

Melihat itu, saya ternostalgia dahulu ketika masih setingkat TK atau SD kelas satu dua--kalo nggak salah, saya sering diajak sama orangtua untuk salat di mesjid dekat rumah. 

Ya namanya juga anak-anak, saya melakukan hal yang sama dong dengan tiga bocah tadi yang kena marah. Main-mainnya bermula dari colek-colek kawan samping, kemudian injak-injak kaki, ketawa dan ketiwi, bisik-bisik nanti habis salat isya mau jajan apa, buang-buang kopiah, berlomba siapa yang berucap "amin" paling lama, dan seterusnya. 

Nah yang absurdnya, ketika imam mengucap "assalamualaikum-assalamualaikum", eh kami juga ikutan salam dan berakting seolah-olah kami telah menunaikan salat dengan rasa khusyuk dan penuh khidmat. Waddoooh. "Rasa khusyuk dan penuh khidmat nggak tuch."

Sewaktu itu kami emang langsung dimarahi, tapi di saat yang sama ada juga bapak-bapak yang ngebela kami. Persis terjadi dengan tiga bocah yang saya ceritakan di awal tadi. Ada yang ngemarahin, namun di saat yang sama ada juga yang ngebelain.

Menanggapi persoalan ini, menurut saya, anak-anak seusia begitu emang wajar jika main-main ketika salat. Ya emang nggak bisa dipungkiri. Toh yang namanya anak-anak ya pasti dunianya dunia main. Ya kali mereka serius-serius. Apalagi kalau udah jumpa teman sebaya yang asik diajak canda. Udahlah. Barang pasti kalau mereka bergurau-gurau sepanjang salatnya.

Namun, walau begitu. Hal semacam itu tidak semestinya membuat kita melarang mereka untuk ke masjid. Hanya karena mereka main-main, setelah itu langsung dilarang pergi masjid. Itu, menurut saya, adalah solusi yang salah. Dan sangat fatal akibatnya.

Kenapa? Karena mereka-mereka itu adalah pelanjut generasi umat. Penerus-penerus bangsa yang akan menggantikan posisi kita. Mereka boleh jadi sekarang masih anak-anak di mata kita, tapi setelah dua puluh tahun kemudian mereka bakal menjadi pemuda-pemuda yang nantinya mengambil alih tugas kita.

Penerus bangsa harus kita ajarkan untuk selalu pergi masjid. Agar nantinya mereka terbiasa, dan menjadikan masjid sebagai rumah. Tempat kembali mereka saat mengalami gundah gulana.

Jika mereka ditakut-takuti dengan marah-marah, apalagi sampai dilarang buat ke masjid lagi setelahnya, itu tidak hanya membuat mereka tabu dan asing terhadap masjid, namun juga memberi kesan ke benak mereka, bahwa masjid adalah satu tempat yang menyeramkan dan menakutkan. Kenapa? Ya karena orang-orang di sana sukanya marah-marah.

Seharusnya, mereka-mereka ini kita tanamkan kesan yang amat positif tentang masjid. Anak-anak harus kita buat, untuk selalu beranggapan bahwa masjid adalah tempat paling menyenangkan dan ternyaman seantero dunia. 

Sehingga, jika sudah begitu, secara tidak langsung mindset mereka akan selalu beranggapan bahwa: kemanapun jauh mereka berkelana, masjid--selamanya--menjadi tempat pulang dan tempat pelipur lara bagi mereka.

Memarahi itu boleh. Cuman ya marah yang sekedarnya saja. Cukup untuk memberi tahu mereka bahwa main-main di masjid itu salah dan tidak elok. Sudah. Itu saja. Jangan sampai ngebentak yang membuat mental anak menjadi lemah. 

Seolah-olah mereka dimarahi karena telah melakukan kesalahan paling fatal sedunia. Padahal kan, di umur segitu mereka juga belum mukallaf, jika main-main pun mereka nggak terhitung dapat dosa. Yang dosa bahkan yang marah-marah, yang ngebentak, dan yang ngelarang mereka untuk nggak ke mesjid lagi. Itu yang berdosa.

Sebab itu, masa anak-anak adalah masa bermain. Kita mesti bijak dan memahami dengan lapang kelakuan mereka. Mereka adalah penerus bangsa yang akan menjadi imam dan jamaah tetap di masjid ini. Di benak-benak mereka harus tertanam bahwa masjid adalah tempat nan menenangkan, mengasyikkan dan tempat kembali di saat mereka tertimpa kekejaman dunia.

Insyaallah, dengan begitu. Kita 'kan terhitung sebagai orang baik yang telah mempersiapkan generasi dahsyat untuk masa-masa berikutnya. Sekian. (Muz)