Beberapa bulan terakhir ini saya resah. Keresahan ini bermula ketika tidak jauh dari rumah kontrakan saya di Jalan Kaliurang, Yogyakarta dibangun sebuah minimarket. Minimarket ini, konon, ada hubungannya dengan aksi demonstrasi jalanan bertajuk bela Islam di Jakarta.
Sang pemilik pun mengatakan pada kami -- saya dan warga sekitar -- dengan nada berapi-api bahwa swalayan ini adalah simbol kebangkitan Islam. Frase kebangkitan Islam yang ia maksud itu ialah bahwa swalayan yang dimilikinya hanya menjual barang halal, mempekerjakan muslim, mewajibkan karyawannya menyapa dengan ucapan, dan mewajibkan jilbab bagi karyawan perempuan.
Sampai di sini, tidak ada persoalan.
Masalah mulai muncul sekira sebulan setelah swalayan itu berdiri. Mulanya, saban Minggu parkiran swalayan itu ramai oleh mobil dan motor. Muncul kabar bahwa swalayan itu sering dijadikan tempat pengajian komunitas ormas Islam yang tempo hari kena dibubarkan pemerintah. Kabar itu terkonfirmasi setelah salah satu ekponen penting ormas itu mengisi kajian di swalayan itu.
Tidak berhenti di situ, kejadian lain -- dan ini yang membuat saya dan banyak warga resah -- adalah setelah swalayan itu berdiri, sering sekali ada sekumpulan orang asing (maksudnya bukan warga yang tinggal di situ) yang “menginvasi” masjid.
Salah satu dari mereka mengumandangkan azan, mengimami, dan melakukan semacam kajian selepas salat. Hal ini biasanya terjadi di waktu zuhur dan asar, saat-saat di mana masjid sepi dari jamaah warga sekitar masjid.
Masjid Sebagai Ruang Publik Demokratis
Kejadian invasi masjid oleh kelompok-kelompok neo-konservatif dengan agenda penyebaran ajaran tentang khilafah tentu bukan berita baru di negeri ini. Apa yang terjadi di wilayah tempat tinggal saya barangkali adalah semacam fenomena gunung es. Tampak sedikit di permukaan, namun berserakan di bawah.
Di negara yang menganut sistem demokrasi terbuka seperti Indonesia, ruang publik yang bebas adalah sebuah keniscayaan yang harus ada. Tanpa ruang publik yang terbuka, demokrasi akan sukar dimanifestasikan.
Hanya saja, patut dipahami bahwa di balik kebebasan ruang publik itu, ancaman intoleransi dan ekstremisme justru lebih besar. Dengan memanfaatkan ruang publik yang bebas itulah kelompok-kelompok Islam konservatif-intoleran dengan mudah menyebarkan gagasannya.
Modus yang dipakai pun kerap kali mudah dibaca, yakni menginfiltrasi ruang publik, lalu mengambil alih demi kepentingan mereka sendiri. Cara tersebut, meski tampak tidak berbahaya, karena tidak dilakukan secara frontal, namun terbilang efektif.
Tidak mengherankan manakala Muhammadiyah mengeluarkan edaran yang berisi imbauan bagi kader-kadernya untuk mewaspadai dan menangkal infiltrasi ormas atau partai politik yang mengampanyekan corak keislaman yang konservatif.
Masih dalam satu tarikan nafas yang sama, NU menginisiasi gerakan “merebut masjid”. Gerakan ini dikerangkakan untuk merespons maraknya pengambilalihan masjid oleh kalangan tertentu untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan yang dibalut idiom agama.
Dalam konteks Islam, masjid memang menjadi tempat paling strategis untuk mengampanyekan berbagai macam gagasan. Kondisi ini tentu menjadi mirip pedang bermata dua. Masjid dapat dijadikan wahana menebar cinta kasih, perdamaian, dan kesetaraan, sekaligus potensial dijadikan arena untuk mereproduksi kebencian dan permusuhan.
Masih jelas tersimpan dalam memori kita bagaimana kontestasi politik di Jakarta melibatkan masjid sebagai salah satu alat pemenangan. Corong toa mesjid yang biasanya mengumandangkan suara parau bapak tua yang tengah mengaji justru diambil alih oleh para pemburu kekuasaan sesaat.
Mengelola ruang publik di mana di dalamnya terdapat entitas-entitas yang beragam tentu bukan perkara gampang. Pascareformasi, kita merasakan betul bagaimana ruang publik, termasuk masjid menjadi ajang berebut dominasi dan arena tempat pamer arogansi.
Arus besar masuknya gerakan-gerakan Islam transnasional yang deras melanda Indonesia yang dimulai sejak era 1990an kian mempersulit upaya mengelola ruang publik itu.
Merebut Ruang Publik, Menghalau Ekstremisme
Baragkali benar apa yang dikatakan Karl Marx, bahwa peradaban atau ia menyebutnya sebagai sejarah, dibentuk atas konflik. Tafsiran konflik dalam kerangka pikir sosialisme ala Marx tentu merujuk pada konflik antara kelompok proletar (buruh-pekerja) dengan kelompok kapitalis (pemilik modal).
Saya memahaminya dalam konteks yang lebih luas, yakni bahwa peradaban atau sejarah dibentuk oleh kontestasi ide, dari entitas-entitas yang bernaung di dalamnya. Itu artinya, pemikiran, wacana, ideologi, untuk juga mengatakan mazhab, aliran, atau fiqih, yang dominan di masyarakat adalah yang mampu menguasai -- atau dalam istilah Antonio Gramsci -- menghegemoni ruang publik.
Teori hegemoni Gramsci itu agaknya relevan dalam konteks kekinian. Sebagaimana diketahui, hari ini kita melihat perang yang sesungguhnya terjadi pada tataran ide dan wacana. Dominasi ideologi atau pemikiran tidak dilakukan melalui pemaksaan, melainkan lebih banyak melalui apa disebut cultural aggression (agresi budaya).
Televisi, surat kabar, majalah, sosial media, bahkan musik, film atau buku kini menjadi senjata-senjata baru nan ampuh untuk melancarkan strategi dominasi (baca: hegemoni). Harus diakui bahwa kelompok Islam fundamentalis-konservatif cenderung lebih dahulu memiliki awareness atas situasi tersebut. Mereka bergerak cepat menginfiltrasi ruang publik melalui media-media yang secara masif menyebarkan gagasan-gagasan mereka.
Lihatlah, betapa hari ini, hampir separuh lebih ruang publik kita telah dikuasai oleh kelompok Islam konservatif. Saban pagi dan sore, acara-acara TV keislaman yang lebih banyak menyesatkan daripada mencerahkan hadir di ruang-ruang keluarga muslim Indonesia.
Buku-buku keislaman praksis yang isinya jauh dari mengajak berpikir dicetak massal, dijual murah, nyaris mendekati gratis, dan dijadikan rujukan utama bagi sebagian besar muslim.
Facebook, Twitter, Instagram, dan sejenisnya nyaris selalu ramai oleh kampanye dan propaganda tentang konservatisme dan ekstremisme Islam. Jumlah mereka sebanarnya lebih sedikit daripada kelompok muslim moderat. Pertanyannya, mengapa mereka justru tampak lebih dominan?
Musababnya jelas, kelompok moderat selama ini lebih banyak menjadi silent majority. Pun, jika bersuara, gagasannya cenderung bersifat elitis, hanya berkembang di lingkaran intelektual dan tidak terjangkau oleh muslim awam.
Di masa Suharto, pola silent majority ini tentu masih dalam taraf tidak membahayakan, lantaran gelombang ekstremisme Islam mampu dibendung oleh otoritarianisme Orde Baru. Namun, sekarang, ketika zaman semakin terbuka, pola itu harus diakui tidak lagi efektif.
Adagium Jawa yang mengatakan sing waras ngalah (yang waras mengalah) tentu tidak lagi relevan dengan situasi saat ini. Jika orang-orang waras selalu ngalah, maka kita hanya tinggal menunggu waktu dipimpin dan disetir oleh orang-orang yang tidak waras, bukan?
Maka, tidak ada jalan lain kecuali merebut ruang publik dan menginfiltrasinya dengan pemikiran-pemikiran yang mencerahkan. Khaled Abou el Fadl, intelektual Muslim asal Kuwait yang boleh jadi adalah pengkritik Wahabisme paling berani saat ini mengatakan bahwa ekstremisme dan konservatisme Islam hanya dapat dilawan dengan perang ideologi pemikiran.
Saya sepakat dengan el Fadl, bahwa head to head antar ideologi itulah yang lebih efektif meredam konservatifisme. Sebuah organisasi masyarakat berbasis Islam tentu dengan mudah bisa dibubarkan secara konstitusional.
Namun, apakah dengan dibubarkannya organisasi itu praktis ideologinya pun mati? Kita menyaksikan sendiri ketika pemerintah membubarkan HTI, para eksponennya tetap leluasa berceramah ke seluruh penjuru Indonesia; mengutuk demokrasi, mencela NKRI, mempropagandakan utopia negara syariah di bumi pertiwi.