Sedikit kita menengok 14 abad yang lalu, setidaknya terdapat dua fungsi pokok yang di-emban masjid; fungsi keagamaan dan fungsi sosial. 

Sebagai fungsi keagamaan, masjid mempunyai peranan penting dalam memberikan kenyamanan beribadah dan berdakwah. Sementara itu, sebagai fungsi sosial, masjid mempunyai tanggung jawab besar dalam mempersatukan kaum Muhajirin dengan kaum Anshor yang notabene merupakan umat Islam periode awal dalam pembentukan peradaban baru. 

Jejak historis yang ditinggalkan Rasulullah di Madinah pada periode awal umat Islam menunjukkan bahwa masjid memiliki peranan penting sebagai sarana beribadah, berdakwah, bersosial, dan pengajaran. Prinsip Ukhuwwah dan Mahabbah dalam dakwah dan berdialog yang dilakukan Rasulullah merupakan strategi penting dalam pembentuk peradaban melalui masjid. 

Maka tidaklah mengherankan apabila umat Islam periode awal yang memiliki beragam latar belakang menjadi kokoh dalam satu kesatuan dalam menghadapi kaum kafir Quraisy. 

Ironinya, lain dulu lain pula sekarang. 

Seiring tumbuhnya berbagai masjid di belahan dunia lainnya, masjid tidak lagi dikelola oleh pimpinan komunitas dan negara saja, melainkan dikelola oleh beberapa individu atau kelompok masyarakat. Beragamnya pola pengelolaan yang dilakukannya, khususnya di Indonesia, tidak jarang justru menciptakan masjid dengan situasi yang ekslusivisme dan bukan inklusivisme. 

Terdegradasinya sektor keuangan yang dialami banyak masjid di Indonesia merupakan pintu awal bagi terbukanya arus eklusivisme di kalangan kaum muda muslim. Sektor tersebut merupakan sektor favorit bagi sebagian kelompok untuk menyebarkan arus ekslusivisme yang bermuara ke arus radikalisme. 

Memasuki masa-masa yang serba berkemajuan seperti saat ini, masjid mulai mendapatkan tantangan baru yang jauh lebih berat. Mulai dari tantangan untuk menepis arus radikalisme yang dengan bebas keluar masuk, intoleransi keagamaan yang ditandai dengan mempersempit ruang dialog antarumat beragama, politisasi masjid, sampai proses pemenangan kelompok politik tertentu.

Disrupsi yang diciptakan teknologi digital tampaknya telah menghapuskan skat-skat antara dimensi keduniaan dan dimensi akhiratHal tersebut dapat dilihat dari pengetahuan keagamaan yang kini telah dapat diakses diberbagai tempat di mana terdapat koneksi internet. 

Masjid masa awal yang digunakan sebagai pusat literasi, saat ini agaknya sudah kurang mengalami sebuah kemunduran. Diskusi keagamaan yang terjadi di berbagai masjid, kurang diminati oleh kaum muda muslim. Kalaupun ada, kebanyakan hanya berkutat pada narasi keagamaan mengenai isu pemerintahan, negara Islam, kafir meng-kafir-kan, poligami, ajang pencarian jodoh, dan segala sesuatu yang berbau syar'i. 

Ada satu yang hal yang menurut penulis masih sangat mengganjal dari berbagai macam kajian yang kian menjamur di setiap masjid: kenapa sih tidak dimulai dari pembahasan fiqh, bersuci misalnya, yang selalu didapatkan oleh kaum santri ketika awal masuk pesantren?. Kenapa harus isu pemerintahan, negara Islam dan teman-temannya?

Berbagai konflik yang terjadi beberapa dekade terakhir, yang melibatkan sentimen-sentimen keagamaan, telah membuktikan bahwa banyak kalangan muda muslim yang masih terjebak dalam krisis identitas. 

Keaslian identitas kaum muda muslim tidaklah terbentuk begitu saja di tengah kontestasi wacana keislaman di Indonesia. Mereka terbentuk dari proses intreaksi yang aktif dengan dunia sosial dalam memuaskan dahaganya. Media sosial tampaknya telah mereduksi peran lembaga pendidikan agama dalam keluarga, dan lembaga pendidikan lainnya. 

Menguatnya arus modernisasi dalam berbagai aspek, yang di alami oleh kaum muda muslim, nampaknya merupakan suatu ancaman yang serius bagi kaum tua. Narasi keagamaan yang absolut, yang bertebaran di berbagai masjid dan jagat media sosial telah menghipnotis kaum muda muslim dalam menentukan identitas ke-muslim-annya.

Melemahnya manajemen masjid baik dalam aspek literasi keagamaan dan wawasan kebangsaan sampai hal keuangan menjadi hal yang harus diperhatikan. Generasi tua yang mayoritas mengelola kebanyakan masjid di Indonesia, tampaknya belum mampu untuk memberikan sebuah jembatan bagi kaum muda muslim untuk membentuk karakter yang inklusivisme.

Lalu, kalau sudah begitu, harus bagaimana?

Setidaknya apabila dipetakan, terdapat 3 skema penghubung sebagai jembatan bagi kaum muda muslim dengan kaum tua menuju beragama yang inklusivisme yang dapat terbentuk melalui masjid, yakni masalah, solusi, dan media. (Masjid di Era Millenial, 2019 :178).

Pertama, berbagai masalah yang menjangkit kaum muda adalah terkait dengan radikalisme, intoleransi, politisasi agama, melemahnya nasionalisme, dan rentannya hubungan antara kaum tua dengan kaum muda. 

Kedua, solusi dari masalah-masalah tersebut meliputi literasi keagamaan dan kebangsaan, literasi digital, program-program pengembangan minat, dan segala sesuatu yang mendukung kaum muda memahami akan keislamaan dan keindonesia yang ramah.

Ketiga, penggunaan media digital oleh pengurus masjid yang menghubungkan kaum tua dengan kaum muda dalam satu wadah media sosial komunitas masjid, baik facebook, instagram, twitter, atau media lainnya tempat di mana kaum muda dapat menyalurkan berbagai ide gagasannya.

Pada tahapan awal, sebelum melakukan ketiga tapahan di atas, hal yang harus dilakukan adalah melakukan semacam diklat kepada segenap kepengurusan, khususnya takmir, mengenai manajemen dakwah kekian yang diminati kaum muda millenial melalui berbagai media digital, akan tetapi tetap dengan didasari paham yang iklusivisme.

Pada akhirnya, bukan tidak mungkin masjid sebagai pembentuk peradaban akan menciptakan berbagai macama arah baru dalam membentuk narasi-narasi keagamaan yang dapat bersaing dengan derasnya arus eksklusivisme.