Vladimir Illich Lenin barangkali termasuk orang yang kurang percaya sepenuhnya terhadap pandangan-pandangan Marx. Seharusnya Lenin tak mempercayai kaum borjuis. Akan tetapi entah mengapa ia mempercayakan orang semisal Mendel Barmakid dan Sashenka Zeitlin (nama kedua tokoh oleh Simon Sebag Montefiore dalam novelnya "Sashenka") dijadikannya sebagai kamerad.

Sama sekali tak masuk di akal saya, Sashenka bisa gerah di dalam sekolah Smolny, sentra pendidikan untuk puteri-puteri manja dari keturunan borjuis di Moskow. Sekolah kejuruan milik kekaisaran Rusia, dibawah naungan Tsar Nikolai II. Anak usia enam belas tahun itu mestinya menikmati masa belajarnya, beserta segala kemewahan yang dijaminkan oleh Samuil Zeitlin, borjuis Rusia berdarah Yahudi--ayahnya.

Adapun Mendel Barmakid, si kamerad tua berpostur kecil yang pincang, adalah paman Sashenka dari pihak Ibunya--Ariadnya Samuilovna. Insting intelijennya begitu kuat, penciumannya mampu mendeteksi rencana polisi rahasia kekaisaran untuk meringkus dirinya beserta kamerad-kamerad lainnya. Itu adalah salah satu alasan mengapa Sashenka begitu mengagumi pamannya itu, paman Mendel yang pincang, namun licin dan lincah dan cerdik.

Marx tentu keliru kalau berpikir bahwa kaum proletariatlah yang memiliki kesadaran kelas, olehnya mereka revolusioner. Tidak, Sashenka justeru adalah borjuis cilik yang menjalankan perannya dengan baik, menjadi agen ganda; di satu sisi ia bekerja untuk partai, di sisi lain ia bekerja sebagai agen polisi mata-mata kekaisaran di bawah perintah kapten Sagan.

Sashenka tidak begitu peduli, kelak revolusi akan turut melibas keluarganya, orang-orang mestinya ia sayangi. Benar saja, Samuil Zeitlin, ayahnya, harus merasakan hukuman itu. Ibunya, Ariadnya harus mengalami perihnya bunuh diri sekaligus mengakhiri pesta-pestanya bersama Rasputin.

Keras kepalanya gadis--yang juga disebut sebagai Kamerad Rubah Salju--ini, sehingga berani bermain-main dalam jebakan Kapten Sagan. Begitu berani, ia benar-benar meniru paman Mendelnya. Kelak, si Sagan pula menjadi alasan para Chekis mengintrogasi si kamerad Rubah Salju dengan begitu kejam. Ia dikhianati di ujung kemenangan Stalin.

Bojuis juga bisa revolusioner. Bahkan, harus borjuis yang memimpin revolusi.

Tahun 1871 di Prancis, borjuis kota bergabung dengan kaum buruh untuk menjatuhkan rezim feodal Louis Philippe. Meski setelah rezim feodal telah hancur berantakan, borjuis dan proletariat berbalik saling serang antar sesamanya.

Marx tidak tahu, kalau Lenin melenceng dari ajarannya. Kesadaran kelas tidaklah mekanis, ia dibentuk oleh pendidikan politik. Pelakunya karus partai yang dipimpin oleh kaum intelektual, bukan kaum buruh--proletariat. Begitu pendapat Lenin.

Neo Marxis semisal Antonio Gramsci juga sepikiran dengan Lenin, harus kaum intelektual yang memimpin gerakan revolusioner--bukan kaum buruh.

Che Guevara bukanlah proletariat, ia seorang dokter. Kita tahu di jurusan itu hanya kaum berada saja yang bisa masuk di sana. Ia juga bukan dari kaum melarat, buktinya ia memiliki kebiasaan touring lintas negara--bahkan lintas benua--dengan sepeda motornya, suatu kebiasaan khas borjuis, bukan kebiasaan kaum buruh. Tetapi harus dia yang memimpin gerakan itu. Demikian pula Lenin, Mao, ataupun Imam Komeini.

Terkecuali jika definisinya memang demikian, para intelektual yang memimpin perjuangan kaum buruh, juga termasuk kaum proletariat. Berarti proletariat bukan lagi dilihat dari aspek kelasnya, tetapi kesadaran atau keberpihakannya. Jelas definisi ini ambigu.

Kita tetap membutuhkan kaum intelektual. Kesadaran kelas tak akan lahir sendiri dari hubungan penindasan oleh borjuasi terhadap proletariat. Ini sebenarnya analisa lama, dus tak ada salahnya diulangi, daripada wacana harus lenyap atas nama kebosanan.

Omnibus Law yang bepotensi menindas ataukah tidak, proletariat tidak tahu. Mesti UU yang mengatur itu--yang diciptakan oleh kaum borjuis--mesti borjuis juga yang memutar otak untuk melawannya. Biarkan proletariat bekerja memenuhi kebutuhannya.

Saya terkesan oleh Gus Muh dalam esainya "Jangan Paksa Masyarakat Membaca Buku". Jelas, masyarakat kita sebagian besarnya adalah petani, hampir serupa nasib kaum buruh di negara-negara industri. Di zamannya Marx atau di Masanya Lenin--di masyarakat barat dan negara maju pada umumnya--petani adalah kaum feodal, pemilik modal. 

Di masyarakat kita, petani itu juga feodal, tetapi miskin. Ya, mirip Trunodongso yang tanahnya dirampas sebahu demi sebahu oleh kompeni, dalam roman "Anak Semua Bangsa" nya  eyang Pramoedya Ananta Toer.

Proletariatnya Indonesia, kaum petani yang oleh bung Karno disebut kaum Marhaen, tidak akan menyusun kekuatan untuk melakukan revolusi. Tak ada kebiasaan yang mendorong untuk itu. Mereka, jangankan akan membaca Das Capital Marx tiga jilid yang tebal-tebal itu, membaca bukunya Ahmad Thohari ataukah Romannya eyang Pram pun tak punya kesempatan.

Oleh sebab itu jangan mendorong kaum Proletar atau kaum Marhaen untuk melakukan Revolusi. Meminjam judul esai Bahrul Amsal di kolongkata.com, "Dorong Elit Membaca Buku", yang merupakan tanggapan terhadap tulisan Gus Muh yang disebutkan terdahulu. 

Semakna dengan itu, doronglah kaum elit, Borjuis (besar dan kecil) agar berjiwa revolusioner, merekalah yang harus melakukan revolusi. Mereka yang dengan segala kemampuan pikir dan action seharusnya mampu membentuk partai dan menyusun manifesto perjuangan.

Sekiranya tak ada gerakan mahasiswa saat menuntut pembatalan RUU KPK kemarin, hampir saja saya mengecualikan mahasiswa dari kelompok borjuis kecil revolusioner. Mungkin Gus Muh atau siapa saja perlu membuat sebuah tulisan lagi tentang mahasiswa, "Jangan Paksa Mahasiswa Membaca Buku", atau bisa juga "Jangan Paksa Mahasiswa Menjadi Revolusioner". 

Karena mereka saat ini lebih doyan masuk ke dalam lingkaran borjuasi yang haus kekuasaan dibanding berada dalam posisi menentang kekuasaan (yang menindas). Berapa banyak mahasiswa saat ini yang bicara soal proletariat? 

Banyak, tetapi perjuangannya bukan dari bawah ke atas. Melainkan mencoba (kalau bukan disebut berhasrat) dari atas ke bawah, dengan cara masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, dan sayangnya akan terlena di dalamnya.

Katanya, saat ini tidak jamannya lagi berjuang di luar sistem. Olehnya mengapa mahasiswa yang masih semester satu yang sekarang sudah pandai bicara "pertarungan", ketimbang baru belajar soal konsep perjuangan membebaskan rakyat tertindas. 

Nyatanya, dengan meniru gaya dan wacana para elit tentang pertarungan, mahasiswa berhenti menjadi kaum revolusioner.

Sampai di titik ini, bukan hanya Marx yang salah kaprah mengira kaum proletariat yang akan memimpin revolusi. Tetapi saya juga salah kaprah, mengira bahwa kaum intelektual yang itu berasal dari borjuis kecil, yakni mahasiswa akan selamanya revolusioner.