Deru suara meriam milik Belanda masih saja terdengar walaupun proklamasi kemerdekaan sudah dilantunkan. Medio 1945-1960, anak bangsa bertarung mempertahankan diri dari rongrongan kembali penjaja pada waktu itu. Penderitaan tak ujung berhenti untuk mempertahankan bangsa ini dari jeruji ketertindasan.
Ungkapan proklamasi belum cukup membentuk bangsa yang betul-betul merdeka. Masih banyak dirasakan pada medio 1945-1958, anak bangsa terlilit buta huruf dan kelaparan. Kondisi demikian memantik anak bangsa membangun ruang selebar-lebarnya mengentaskan buta huruf yang berakibat fatal bagi masa depan.
Bagi Bacon pengetahuan itu sebagai kekuasaan. Melalui pengetahuan kita memangkah tabir kejumudan. Ketika Politik Etis digencarkan. Rakyat Indonesia yang memiliki status tinggi diberi kelonggaran untuk menempuh pendidikan (baca; edukasi). Pelbagai referensi bacaan, termasuk gagasan ide menyoal bangsa dan kebebasan melahirkan pantikan hengkang dari ketertindasan.
Ada yang menarik menyoal tabir kolonial membuat aturan populis Politik Etis (Irigasi, Edukasi dan Transmigrasi). Sebelumnya, belanda membuat beberapa lembaga agar memperkuat kebutuhan pengetahuan Hindia Belanda.
Adalah KITLV (Koninklijk Instituut Vor Taal-, Land –En Volkenkunde Van Nederlandsch, Geography and Etnology of Netherlands Indie). Lembaga itu dibentuk pada medio 1851-an. Melalui lembaga itu, persebaran perbukuan hingga pengetahuan diproduksi dengan harap mencerahkan semesta nusantara yang muram dengan ketidaktahuan.
Lebih jauh lagi, di Surakarta dibentuk Koninklijke Academie yang didirikan pada 1842 untuk mendirikan birokrat rendah di Hindia Belanda (Sutherland, 1979: 15). Lembaga-lembaga tersebut terbilang strategis terhadap kehidupan sosial di Hindia Belanda. Pasalnya sumber pengetahuan telah mereka pegang untuk menguasai lebih tak hanya menyoal jengkal petak lahan, namun juga ide.
Politik Etis muncul di akhir abad ke-19. Politik Etis menjadi kelanjutan haus pengetahuan Hindia Belanda membaca lebih dalam yang ada di bumi Nusantara. Menilik sastra dan literasi, Hindia Belanda membuat ruang khusus untuk menerbitkan banyak segmen perbukuan.
Mengakar, terstruktur dan populis, membawa Balai Pustaka dipeluk kuat-kuat sebagai sebab musabab lahirnya budaya sastra di Indonesia. Balai Pustaka dibentuk pada 1917. Lembaga itu sebagai perwujudan pelaksanaan politik eris Belanda bagi kaum pribumi.
Zaman, Bahasa dan Literasi
Pada majalah Tempo (13/04/1991), seorang ahli sastra Indonesia dari Uni Soviet membuka mata kita. Adalah Prof. Willen Vladimir Sikorsky. Sikorsky mengoreksi kesalahan persepsi bagaimana keberjalanan budaya sastra itu selalu disandingkan dengan Balai Pustaka.
Bagi Sikorsky “Badan Penerbit tak bisa dijadikan patokan lahirnya sebuah tradisi sastra”. A.A Teuw dalam bukunya berjudul Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru, diterbitkan oleh Pustaka Sardjana (1953) memulai tonggak tradisi sastra dengan menjelentrehkan biografi singkat tokoh-tokoh sastra sebelum dan sesudah 1942.
Tokoh-tokoh seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, Roestam Efendi, hingga tokoh tonggak awal Angkatan 45 adalah Chairil Anwar dijabarkan secara detail pada buku tersebut.
Kegelisihan munucul dalam raut muka Sikorsky. Sebelum era Balai Pustaka di Indonesia, sudah muncul karya-karya sastra yang lebih semangat dibandingkan dengan Siti Nurbaya ataupun Salah Asuhan. Karya-karya Semaun, Mas Marco Kartodikormo dilupakan karena politik pengetahuan. Kenapa tak masuk untuk diperkenalkan?
Bagi Sikorsky Balai Pustaka sejenis sensor. Sensor yang dapat menjaring karya sastra yang dirasa aman tidak membuat gonjang-ganjing status Hindia Belanda akan lebih mulus terbit.
Kendati demikian, penggunaan sastra melayu tinggi lebih diutamakan dibandingkan dengan sastra Melayu Rendah. Tak hanya itu, menyoal pemikiran yang berbau Marxis atau bergambar vulgar, Balai Pustaka akan mengesampingkan karya-karya tersebut.
Rumah Marx
Rumah Marx (Marx House) dibentuk oleh gerombolan pemuda. Pemuda yang terpukau gagasan-gagasan Karl Marx. Bila Balai Pustaka dibentuk dilandasi kaum Indolog untuk mengurai kondisi sosial yang ada di Indonesia dan membentuk kontruksi pengetahuan (Hanneman Samuel; 2010), Marxis House dibentuk berdasar kesadaran minimnya karya berbasis revolusioner untuk menemani pertaruhan dan pertarungan rakyat Indonesia untuk hengkang dari jeratan penjaja.
Dalam Majalah Kerja Budaya, April 2000, pada artikel “pasang surut buku pembebasan (Ayu Ratih, Hilmar Farid, dan Razif) menjelaskan bagaimana pergaulan antara penerbit dan pergerakan inilah muncul buku-buku yang isinya mengecam kolonialisme dan sistem kapitalisme yang melandasinya. Kondisi demikian, kalangan pergerakan perlu tumbuh sendiri untuk memproduksi sendiri bacaannya karena sudah lama dijajah oleh ide gagasan kolonial.
Dalam buku Sadur; Sejarah Terjemahan Indonesia Malaysia (2009), pada subjudul bernama “Terjemahan Kiri,” gubahan Ibarurri Sudharsono, menjabarkan secara detail sepak terjang kelompok-kelompok terluapak yang berjuang dan berkhidmat kepada buku beserta literasi untuk peradaban Indonesia.
Tokoh-tokoh terlupakan seperti Djaetun (Pengajar Filosifs); Maruto Darusman (Pengajar Ekonomi); dan Aliarcham mewarnai Marxis House melakukan pengkajian terhadap pelbagai buku serta penerjemahan karya revolusioner di dalam Marxis House.
Keberadaan Marxis House membawa efek domino terhadap terjemahan dan masifnya penerbitan buku. Muncul beberapa patron kuat memunculkan karya-karya terjemahan dan penyuluh semangat revolusi pada waktu itu. Bintang Merah yang digawangi oleh kamerad, saban terbit memunculkan karya terjemahan dari beberapa tokoh antara lain; Ilya Erenburg, Maxim Gorki, G. Dimitrov dan beberapa karya terjemahan lainnya.
Menarik dan mengesankan. Tabir gelap tak tercerahkan karena illiterate mampu digubris juga diusahakan untuk diselesaikan. Tokoh-tokoh terlupakan yang mengabdi kepada Ilmu dan Pengetahuan itu telah berjasa bagi kita, menyoal buku dan pencerahan. Sekian.