Begitulah, untuk berkarya kita harus membaca. Lalu dari bacaan itu, mulailah kita menulis. Tentunya, setelah tahu bagaimana cara menulis, kita akan bisa berkarya.
Membaca. Mengapa kita harus membaca? Mengapa membaca yang didahulukan? Karena dengan membaca kita mendapatkan apa yang harus kita tulis. Dengan membaca, kita mempunyai bahan perbincangan atau ide yang patut diutarakan. Sahihlah pepatah yang mengatakan, “Membaca adalah jendela dunia.” Ya, apalah arti dunia bila kita tak mau membaca?
Adapun yang perlu diperhatikan di sini adalah terkait dengan “membaca” itu sendiri. Apakah membaca yang dimaksud ialah sebuah kegiatan mengeja serangkaian huruf-huruf berupa kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh? Tidak. Maksud saya, membaca di sini tidak sesempit itu. Membaca bisa juga berarti melihat, memperhatikan, mendengarkan dan berpikir. Begitulah, membaca akan menjadi sesuatu yang sangat tidak membosankan dan sumber bacaan menjadi sangat berlimpah.
Berangkat dari pengertian membaca di atas, muncullah beberapa cara dasar untuk mulai menulis. Menulis, sebagaimana membaca, bisa berasal dari kegiatan membaca tulisan, melihat pemandangan, memperhatikan kejadian, mendengarkan pembicaraan atau suara-suara alam, dan berpikir.
Menulis juga bisa berdasarkan apa yang dirasakan oleh semua panca indera kita. Selain menulis dengan apa yang kita lihat (mata), apa yang kita dengar (telinga), apa yang kita rasa (kulit), kita bisa memulainya dengan memaparkan apa yang kita cium (hidung), apa yang kita cicipi (lidah), atau kalau memang kalian memiliki “indera keenam”, maka kalian bisa menggunakan apa yang kalian tahu (intuisi kuat.)
Semua hal yang telah saya jelaskan akan terasa mudah dalam praktiknya bila kita menumbuhkan kesadaran diri. Semakin sadar kita dengan kemampuan panca indera kita, semakin banyak kita membaca, dan semakin berlimpah bahan tulisan kita.
Jadi, kunci akhirnya ternyata ya kesadaran itu!
Ya. Kesadaran itu penting. Bukankah banyak orang yang karena ketidaksadarannya hingga ia tak melihat meski punya mata, tak mendengar meski punya telinga, tak mencium meski punya hidung, tak merasa meski punya kulit dan lidah, dan bahkan merasa tak ada walau mereka ada. Nah, imbasnya, mereka tak tahu harus membaca apa. Akhirnya, mereka tidak bisa menulis apa-apa.
Di akhir catatan, saya mohon maaf atas kelancangan saya menulis catatan ini. Saya hanya bisa menulisnya hanya sampai bahasan membaca saja. Hal ini dikarenakan saya sadar diri, saya masih belepotan dalam urusan tulis-menulis, apalagi berkarya.
Sebatas untuk diketahui, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk tujuan apa-apa kecuali hanya untuk menulis itu sendiri. Harap dimaklumi bila bahan tulisan ini tak berarti apa-apa atau banyak salahnya. Alasannya ya, karena saya belum membaca apa-apa.