Permasalahan sosial sering kali dijumpai di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia. Baik itu di perdesaan maupun di perkotaan.
Adapun salah satu permasalah sosial yang paling susah untuk diatasi oleh pemerintah negara berkembang yaitu kemiskinan.
Kemiskinan merupakan keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh sulitnya memenuhi kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.
Akibat dari lingkaran kemiskinan yang sangat sulit untuk diatasi ini, lahirlah permasalahan-permasalahan baru seperti adanya pengemis dan gelandangan. Baik itu dari anak-anak hingga orang dewasa.
Tentunya ini akan membuat pekerjaan pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial khususnya kemiskinan semakin bertambah.
Menurut PP No. 31 Tahun 1980, Gelandangan ialah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta hidup mengembara ditempat umum.
Sedangkan Pengemis merupakan orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain.
Bagi masyarakat perkotaan, pengemis dan gelandangan mungkin tidak asing lagi untuk di lihat. Hampir di setiap sudut, tengah kota, bahkan di setiap lampu lalu lintas sering kali di jumpai pengemis dan gelandangan.
Tentunya keadaan seperti ini sangat mengganggu bagi masyarakat setempat maupun pengendara yang berada di jalanan.
Akan tetapi, kenyataannya orang-orang yang memilih untuk mengemis dan menggelandang ini ialah orang-orang yang memang membutuhkan pertolongan dari orang lain.
Tidak mempunyai keahlian untuk bekerja maupun sudah terlanjur merantau dengan niat merubah nasib, tapi malah tidak bisa melakukan apa-apa setibanya di tempat perantauan.
Namun, saat ini, banyak pula orang yang menjadi pengemis dan gelandangan,bukan karena tidak mampu ataupun tidak mempunyai keahlian. Melainkan karena malas mencari pekerjaan. Kemudian menjadikan itu sebagai profesi.
Karena faktor tersebut, alhasil sulit untuk membedakan mana pengemis dan gelandangan yang memang membutuhkan pertolongan dengan yang tidak.
Oleh sebab itu, banyak dari masyarakat yang menganggap mereka sebagai pengganggu kenyamanan, keamanan, dan ketertiban di tempat-tempat umum.
Karena faktor tersebut, pemerintah kota Jakarta, telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah, seperti Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum. Lalu, Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta.
Adapun alasan pemerintah membuat peraturan tersebut dikarenakan banyaknya laporan dan kasus yang di jumpai perihal menjadikan mengemis dan menggelandang sebagai profesi.
Hasil dari yang dianggap mereka profesi tersebut mendapatkan penghasilan hingga jutaan rupiah perbulaanya.
Menjadi suatu yang ironis memang jika melihat kondisi yang demikian. Bahkan ada pengemis yang tertangkap saat razia dan ditemukan uang hingga puluhan juta rupiah.
Ada pula yang kedapatan menaiki mobil pribadi Toyota Fortuner setelah selesai mengemis. Seperti judul berita berikut ini:
Cerita Sandiaga Uno Buntuti Pengemis yang Naik Toyota Fortuner
Senin, 4 Juni 2018 18:36 WIB / Reporter: Adam Prireza
Pengemis Membawa Uang Rp28,8 Juta Terjaring Razia di Slipi
Kamis, 5 April 2018 - 13:54 WIB / Reporter: Helmi Syarif
Lebih parahnya lagi, maraknya pengemis dan gelandangan disinyalir sudah terorganisir. Di duga ada sindikat yang mengatur kelompok pengemis dan gelandangan untuk beroperasi di suatu tempat atau wilayah yang telah di tentukan.
Seperti yang telah di tuturkan oleh Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda. Bukan hal yang tidak mungkin para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) sudah dikelola oleh sebuah sindikat. Namun, hingga saat ini, sindikit tersebut masih belum bisa di bongkar oleh pihak yang menangani masalah tersebut.
"Hal tersebut terlihat manakala ada PMKS (pengemis) yang terjaring, kemudian mereka dijemput oleh orang yang sama yang mengaku sebagai keluarga mereka," tutur Miftahul Huda.
"Biasanya para PMKS yang terjaring dan disinyalir berasal dari sebuah sindikat itu menutup mulutnya rapat-rapat. Tiba-tiba sudah ada saja yang menjemput mereka. Disitulah kesulitan kami. Karena sesuatu itu kan harus dibuktikan berdasarkan bukti yang riil," sambungnya.
Maraknya jumlah pengemis dan gelandangan khususnya di kota-kota besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan suatu kota.
Lalu, pada akhirnya mengemis dan menggelandang bukan lagi soal nasib. Melainkan pilihan mereka.
Agar permasalahan ini tidak terulang dari tahun ketahun, alangkah baiknya pemerintah membuat peraturan yang lebih tegas.
Supaya pengemis dan gelandangan yang pernah tertangkap saat razia tidak lagi mengulangi dan jera atas perbuatannya. Dan memulangkan mereka yang tertangkap ke kampung halamannya.
Sebelum memulangkan, terlebih dahulu melakukan pembinaan mental dan keterampilan sesuai bakat lewat lembaga-lembaga pelayanan yang ada.
Dan untuk masyarakat yang merasa resah akan adanya pengemis dan gelandangan, memberikan mereka uang sebenarnya bukanlah hal yang salah. Namun yang harus di perhatikan adalah cara memberikannya.
Karena memberi pengemis dan gelandangan di jalanan secara tidak langsung sama saja mendidik pengemis dan gelandangan untuk selalu bersikap malas.
Jadi, jika ingin memberi sedekah kepada pengemis dan gelandangan ada baiknya langsung melalui dinas sosial atau lembaga sosial.
Nantinya dinas sosial maupun lembaga sosial akan menyalurkan uang sumbangan tersebut kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan.
Dengan harapan, jumlah pengemis dan gelandangan akan berkurang karena tidak ada lagi yang memberikan mereka di jalanan melainkan langsung ke lembaga atau dinas sosial.
Jadi tidak salah jika pemerintah kota setempat menerapkan perda untuk melarang memberi uang kepada pengemis dan gelandangan.