Pemerintahan selalu mengupayakan perbaikan selama transisi New Normal, dimulai dari mempertebal penguatan dalam berbagai aspek dari politik, sosial, kesehatan, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan aspek lainnya dengan harapan agar segera bangkit dari off yang cukup lama dikarenakan pandemi Covid-19 ini. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa hoax akan selalu menyertai dalam setiap program pemerintahan yang sedang diimplikasikan dan diimplementasikan.
Seperti maraknya hoax seputar program vaksinasi untuk menekan serta meminimalisir penyebaran Covid-19 diimbangi dengan masifnya informasi bahaya melakukan vaksinasi oleh beberapa kalangan, sehingga berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap program vaksinasi tersebut. Jika tidak segera ditangani dengan baik, program pemerintah akan selalu dianggap suatu kesalahan serta merusak citra dari pemerintahan itu sendiri. Hal ini menjadi tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mempublikasi dan mensosialisasikan program-program pemerintah di tengah maraknya fenomena hoax yang sedang berkembang. Dalam ilmu komunikasi, tantangan atau rintangan ini disebut dengan istilah blockages.
Lantas, seberapa besar peran blockages dalam maraknya fenomena hoax terhadap program pemerintahan?
Sebelumnya, mari kita mengenal lebih dalam mengenai pengertian hoax itu sendiri.
Hoax itu apa, sih?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 'hoaks' adalah berita bohong atau tidak bersumber. Dalam Oxford English Dictionary, 'hoaks' didefinisikan sebagai 'malicious deception' atau kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat. Akan tetapi, masih banyaknya netizen yang mengartikan hoax sebagai 'berita yang tidak saya sukai'.
Hoax atau fake news sudah beredar sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada tahun 1439. Bahkan, hoax pada zaman tersebut lebih berbahaya dibanding zaman sekarang dikarenakan sulit untuk melakukan proses verifikasi.
Setelah mengenali hoax secara ringkas, mari kita lanjutkan pada blockages yang menjadi poin dari bahasan tulisan ini.
Blockages dalam Komunikasi Pemerintahan
Blockages merupakan rintangan dalam sistem komunikasi pemerintahan yang dapat terjadi dalam satu atau beberapa tahap dalam komunikasi pemerintahan.
Terdapat tiga tahapan dalam komunikasi pemerintahan, diantaranya:
- Initation : yang memprakasai komunikasi
- Transmition : komando harus diteruskan/dikirimkan dari sumbernya menuju tujuannya
- Reception : komunikasi harus memberi dampak kepada penerima
Tipe Blockages (Rintangan) dalam Komunikasi Pemerintahan menurut Simon, Smithburg & Thomson dalam Stilman (1972) antara lain sebagai berikut:
1. Barrier of Language (Penggunaan Bahasa)
Berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak dapat dipahami oleh penerima dikarenakan perbedaan kultur, tingkat pendidikan atau cara penyampaian.
2. Frame of References (Pemberian Penafsiran)
Berkaitan dengan pemberian penafsiran atau penerima komunikasi yang menghalangi persepsi kuat dari masalah, respons tidak sesuai dengan stimulasi sehingga persepsi informasi bervariasi di antara individu.
3. Status Distances (Perbedaan Status)
Berkaitan dengan perbedaan status antara penerima dan pemberi informasi.
4. Geographic Distances (Jarak Geografis)
Berkaitan dengan jarak geografis antara pemberi informasi dan penerima.
5. Self Protection of The Initiators (Ketidaksediaan)
Berkaitan dengan ketidak sediaan seseorang untuk memberi dan menerima informasi.
6. Pressure of Other Work (Tekanan)
Berkaitan dengan berbagai tekanan dari kelompok kerja lain sehingga menjadi kesulitan untuk membuat prioritas informasi yang akan dikirim atau diterima.
7. Delibarate Restriction Upon Communication (Pembatasan)
Pembatasan pemberian informasi kepada pihak-pihak yang dapat atau diperbolehkan menerima informasi
Dari seluruh blockages dalam sistem komunikasi pemerintahan terkait masifnya penyebaran hoax di berbagai sosial media seperti halnya program vaksinasi yang diselenggarakan guna menekan penyebaran Covid-19, terdapat tiga blockages yang memiliki peran besar dalam maraknya fenomena hoax program pemerintahan, salah satunya vaksinasi ini.
Blockages pertama yaitu Barrier of Language, berhubungan dengan penggunaan bahasa yang tidak dapat dipahami oleh penerima informasi/berita dikarenakan perbedaan kultur, tingkat pendidikan ataupun cara penyampaian. Sehingga kata-kata yang ditangkap sering disalah interpretasikan atau dipahami secara berbeda sebagai pesan melalui dari satu individu ke yang lain dalam organisasi.
Berlanjut pada blockages kedua yaitu Frame References. Lebih jelasnya, blockage satu ini merupakan pemberian, penafsiran atau penerima komunikasi memiliki satu "mental set" yang menghalangi persepsi kuat dari masalah, respon tidak sesuai dengan stimuli sehingga persepsi informasi bervariasi di antara individu.
Dengan kedua blockages dalam rintangan/kecacatan penyampaian informasi inilah menyebabkan terjadinya blockage 'Self Protection of The Initiator' berhubungan dengan ketidak sediaan seseorang untuk memberi dan/atau menerima informasi atau self protection dari individu yang memainkan satu peranan tindakan laporan dalam jaringan komunikasi.
Bagaimana Mengatasinya?!
Agar komunikasi pemerintahan efektif dan meminimisasi penyebaran hoax, pemerintah perlu menginisiasi komunikasi dimulai dari penggunaan bahasa yang tepat agar tidak salah interpretasi dan tidak salah penafsiran sehingga masyarakat tidak berperasangka buruk terhadap pemerintah. Selain itu, mengubah pendekatan pemerintah terhadap informasi publik. Yang awalnya 'traditional press release policy based on interpersonal exchanges between politicians and journalists' menjadi 'profesionalized and specialized process of strategic communication controlling the flow of news'.
Hal ini menjadi 'PR' bagi pemerintah dalam penyebaran informasi publik kepada masyarakat dengan memanfaatkan public opinion dari masyarakat sehingga mengurangi atau mempersempit kesenjangan informasi (asymetric information) yang menjadi pemicu hoaks (hoax trigger) antara pemerintah dan masyarakat.