Di dalam politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi.”

Kata-kata di atas cukup familiar, bukan? Selepas pemilihan presiden (pilpres) Indonesia 2019, kubu-kubu yang berkompetisi pada akhirnya menjajaki kerjasama politik yang memantik publik untuk berkomentar. Salah satu komentarnya sama halnya seperti pepatah di atas, yakni kepentingan abadi lah yang mengalahkan persaingan. 

Menariknya, adagium tersebut tak hanya berlaku untuk politik Indonesia saja, melainkan juga politik internasional. Musim panas tahun ini, Uni Eropa (UE), organisasi regional yang mewadahi bangsa-bangsa Eropa, menunjukan ketiadaan kawan atau lawan abadi dalam politik, melainkan kepentingan abadi. 

UE membuktikannya dengan manuver politik yang diterapkannya. Apa sajakah manuver politik UE? Mengapa organisasi regional ini menerapkannya?

AS vs Uni Eropa

Menilik sejarah dunia, Amerika Serikat (AS) dikenal sebagai salah satu sekutu terdekat UE. Atau, setidaknya sebagian besar negara anggota UE punya hubungan hangat dengan AS di masa lampau. Pada masa perang dunia kedua, misalnya, sebagian anggota UE bersama Inggris melawan blok fasis, yakni Jerman dan Italia. 

Contoh lainnya, bersama dengan AS, UE menekan keras tindakan Rusia saat Negara Beruang Merah tersebut berusaha menganeksasi Semenanjung Krimea.

Namun, tindakan sepihak pemerintah AS pada pertengahan Maret 2020 yang melarang wisatawan asal Eropa untuk berkunjung ke Negeri Paman Sam memukul ekonomi UE dengan alasan . Indeks saham Perancis (CAC) dan Jerman (DAX), contohnya, merosot lebih dari 5% setelah AS mengumumkan pelarangan. (Haryanto, 2020) 

Menyusul tindakan itu, Presiden Dewan Eropa Charles Michel dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengecam tindakan sepihak AS. Mereka memperingatkan bahwa Covid-19 adalah masalah global sehingga keputusan sepihak sebaiknya dihindari.

Langkah politik AS dibalas oleh UE yang berencana balik melarang warga AS untuk berkunjung ke zona Schengen, dimana area tersebut mayoritas dihuni negara anggota UE. Efek bumerang terhadap AS ini ditunjukan UE supaya masyarakat dapat menilai bahwa AS lebih payah daripada UE dalam menangani pandemi Covid-19. 

Balasan ini juga berguna untuk menaikkan posisi tawar UE dalam perundingan kerjasama dengan AS. Hubungan yang cenderung memanas antara AS dan UE sebenarnya sudah dimulai sejak tahun lalu setelah UE menghalangi impor produk agrikultur AS di Eropa.

Selain menekan AS secara politik, apakah manuver politik lainnya yang dijalankan UE?

KTT Cina-Uni Eropa

Untuk mengimbangi tekanan politik Trump dan AS, UE mengalihkan kerjasamanya dengan Cina. Meskipun Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Cina-UE ditunda hingga September, kedua belah pihak tetap berniat untuk melanjutkan dialog persiapan KTT. 

Bagi Negeri Tirai Bambu, berlangsungnya KTT tersebut penting untuk membangun investasi dan sektor perdagangan. Pemerintah Cina berkepentingan untuk menurunkan tarif ekspor ke pangsa Eropa. Penurunan tarif sangatlah krusial bagi Cina karena volume ekspor ke negara-negara UE sangat tinggi. 

Sementara disaat yang sama, pemerintah Cina berusaha melindungi tekanan UE yang ingin menghalangi perusahaan-perusahaan Cina mengakuisisi sebagian korporasi di wilayah UE.

Manuver apa yang dilakukan UE terhadap Cina? UE tidak secara terang-terangan menentang langkah politik Cina terhadap Hongkong. Akhir-akhir ini, konflik Cina-Hongkong kembali memanas setelah parlemen Cina menyetujui rancangan undang-undang yang bertujuan memperketat wewenang otonomi Hongkong. 

Pada saat negara-negara yang notabene bertentangan dengan Cina seperti AS dan sekutunya mengecam keras hingga mengeluarkan ancaman perang dagang terhadap otoritas Hongkong, UE justru mengajukan opsi yang lebih lunak yakni dialog antara pemerintah Cina dalam persiapan KTT Cina-UE. 

Langkah UE ini tidak sejalan dengan AS dan sekutunya dimana hal ini cukup unik karena AS dan UE sering berjalan beriringan dalam aspek politik-keamanan.

Kehati-hatian UE dalam mengartikulasikan pernyataan mengandung dua kepentingan. Pertama, UE berusaha mengamankan investasi dari Cina dan Hongkong. Kedua pihak terakhir disebut merupakan dua investor terbesar di negara anggota UE. Kepada Cina, UE ingin menunjukkan bahwa tindakan UE lepas dari langkah politik AS, sehingga UE tidak dipandang sebagai lawan berat. 

Sedangkan, terhadap Hongkong, UE mendemonstrasikan dirinya sebagai pihak yang mendukung demokrasi, namun tetap mempertimbangkan situasi damai. 

Dengan stabilnya kondisi politik di Hongkong, UE berharap investasi pengusaha Hongkong di Eropa maupun perusahaan-perusahaan Eropa di Hongkong aman. Pada 2019, nilai investasi Hongkong-UE tak kurang dari 15 juta Euro. (Momtaz, 2020)

Kedua, UE “mencari aman” dengan tidak bersekutu dengan Cina dalam aspek ekonomi secara terang-terangan untuk melawan AS dan sekutunya.

Mengapa UE mau bertentangan dengan AS seorang diri, namun tidak ingin menghadapi AS bersama Cina? 

Bagi UE, Cina adalah kompetitor utama AS setelah Rusia, sehingga risiko pecah kongsi antara UE dan AS lebih besar bila UE bersahabat dengan Cina. Maka, UE tetap mendukung terciptanya demokrasi di Hongkong, sejalan dengan kepentingan AS. 

Sementara, UE menentang demokrasi dengan kekerasan yang dikecam oleh pemerintah Cina untuk mengamankan kepentingan ekonomi UE dan menjaga hubungan dengan Cina.

Ringkasnya, sikap politik Uni Eropa yang diperlihatkan pada pertengahan tahun ini menggambarkan posisi UE yang memprioritaskan kepentingan ekonomi diatas segalanya. UE berani membalas pelarangan kunjungan warga UE ke AS akibat AS sempat melukai kepentingan ekonomi UE. 

Selain itu, UE berusaha menciptakan situasi kondusif antara UE-Cina-Hongkong agar investasi korporasi asal Eropa relatif aman. Manuver politik UE pada akhirnya memperlihatkan bahwa kawan atau lawan abadi dalam politik adalah sebuah kemustahilan. Melainkan, kepentingan abadi dalam politik adalah nyata.