Alfa dan Omega
Pada akhirnya semua akan kembali seperti semula
Setelah banjir besar, Efrat dan Tigris
Garam di Menara Babylon, Akkadia yang terluka
Oh betapa kalis, Ishtar yang manis
Sphinx, singa yang terduduk gusar merangkap situs
Sungai Nil bersama Ra, Sistrum dan Bast kucing nirmala
Mengeja Hieroglif, Pineal Gland, Seth hingga Horus
Skandal sundal bersama Cleopatra, niscaya kembali tiada
Gunung Olympus, simposium fetish para dewa
Setelah kegagalan Chronos, dan waktu seketika berhenti
Kala Sisifus tak lagi mendorong batu ke Pasar Agora
Dan dunia serupa Ixion dan Tantalus, tempat kutukan meregang mati
Oh sudah kukatakan, aku adalah Eros dari Nirwana:
Memadamkan neraka, membakar surga
Tapi camkan ini, sebelum puing-puing jasadku binasa:
Kau membuatku tak bisa hidup dan tak bisa mati, hanya berawal dan berakhir cinta
Kau: Tinggal dan Temukan
kau tinggalkanku:
sebelum kiamat sempat meledak
sugra dan kubra, alfa dan omega,
firdaus dan jahanam
bangsat dan keparat,
menuntaskan doa atas dosa-dosanya.
kau tinggalkanku:
setelah membaiatku dengan lumpur
eden dan nirwana, nasuha dan
indulgensi, ngaben dan sati,
tirtha dan zamzam, punarbhawa dan fana,
menandaskan makam pembakaran transenden.
kau temukanku:
di antara valhalla dan berhala, situs dan ritus, arhat dan kamil, kepasrahan hamba dan gairah ubermensch yang menembus tirai hatiku, membekas ornamen kudus yang permanen.
kau temukanmu:
di tengah-tengah jengah dan gairah, sisifus dan icarus, apollo dan dionysus, prometheus dan kotak pandora, loki dan freya, menggenapi oase segumpal darah yang mengental kitab kejatuhan manusia.
jatuh, tenggelam, dan hilang,
tak ditemukan, namun tinggal,
tinggal di dalam tanggal,
tahun, tahun-tahun tak bertuhan,
tak tertahankan, serupa setan
yang persetan saat mengeja
ketakutan kematian akan
makna dari kehilangan.
Kita: Doa dan Dosa
kita pernah saling mencinta,
dan aku mencintaimu, karena tiada pendoa paling pendoa, yang berdoa agar aku tak berpaling dari doa.
sedangkan kau mencintaiku, karena aku adalah pendosa paling pendosa, yang masih sempat-sempatnya berdoa mendoakan sang pendoa paling pendoa.
Melebur; Manunggal
tapi sayang, bila aku tak mampu
lagi berdoa, tolong camkan ini:
di sini, di dalam doaku
ada namamu menggantung
seperti pinata yang tak bisa
kuhancurkan, hanya
mengambang dan berputar,
tanpa awal, tanpa akhir,
perlahan menjadi ruh
yang bernapas sendiri,
yang tak mau hijrah
dari setiap senti jiwa
si bedebah ini
dari setiap inci pikiran
si berengsek ini
dari setiap detak dan gerak
bagian tubuh si bajingan ini
sial, kau buatku tak bisa hidup
dan tak bisa mati
menjadi arwah penasaran,
yang tak dapat musnah
memenasarankan pusara
anggur dan roti,
saat puncak misa terjadi
juga kurma dan susu,
dikala upawasa kepada rindu
yang tak pernah usai
dengan bertemu, mungkin
semuanya telah melebur
manunggal, tanpa jarak,
tak akan bersarak, dan
bersama gila yang tergila-gila
aku menerima kutukan;
semoga puisiku tak berpuasa melangitkan doa-doa si pendosa,
untuk si pendoa paling pendoa,
sebab pada akhirnya semua akan kembali seperti semula,
seperti saat-saat aku mulai hidup
dan terbenam di hatimu,
yang niscaya berakhir dengan selalu,
dan tak akan berakhir,
serupa awal dari setiap kehidupan di hadapan hari akhir.
Samawi
Pernah aku bercita-cita untuk mencipta peta bagi para pengembara
Untuk para tuan dan puan kelana
Pernah aku bermimpi tentang perjamuan transendensi
Pinata-pinata doa, anggur-anggur, kurma dan roti
Pernah aku mencoba untuk bertaklid pada cinta semata
Untuk menjelma lilin yang menahbiskan jasad cahaya
Pernah aku mendamba tentang kelahiran ibu kembali
Pada hari jumat yang kalis, diturunkan imago dei ilahi
Dan selalu aku bertukar dosa dengan para hamba sahaya
Membuat kultus nafas yang tak kudus, langsam ruh lupa
Pernah aku pergi menuju tembok ekstase dan kontemplasi
Berharap dosa dapat lebur, dan doa dapat disetujui
Pernah aku ke bukit palang kayu, hadirat apostolik mulia
Meminta kasih sayang, dari pemilik alam semesta
Pernah aku bertempat pada bulan bintang, sakral nirmala
Bertekuk sujud penuh salah, menunggu nasuha
Semenjak puluhan
Puluhan tahun yang tak bertuhan
Tanpa tahir, tanpa baptis, tanpa baiat juga katarsis dari segala samawi
Semenjak ku lantik diriku
Juru bicara atas nama pendoa, sekaligus pendosa
Oh mungkinkah aku menjadi manusia?
Adakah ular yang tak terima?
Oh mungkinkah bunga-bunga surga tumbuh subur di selasar neraka?
Adakah setan yang persetan pada berhala?
Dan adakah malaikat kecil yang kelak memanggil kita dengan ayah atau ibu?
Oh Tuhan, aku memohon ampun atas segala doa dan dosaku, yang sudah hinggap di langit purba sejak dahulu
Testamen Kepada Puisi
wahai puisi-puisiku,
niscaya kertasku akan membatu:
kala aku semakin lanjut usia,
maka lanjutkan lah hasratnya,
yang panas dan tak pernah tua
wahai puisi-puisiku,
niscaya tintaku akan membiru:
kala aku kehilangan cita rasa,
maka beri lah ia beragam warna,
yang ramai dan penuh rima birama
wahai puisi-puisiku,
niscaya penaku akan membeku:
kala aku mulai tak berdaya cipta,
maka bantu lah ia menerka frasa,
yang cantik dan penuh asa metafora
wahai puisi-puisiku,
niscaya pikiranku akan berujung buntu:
kala otakku mulai bersembunyi,
maka carilah sendiri konstelasi
fantasi, di dunia fiksi dan alam imaji
wahai puisi-puisiku,
niscaya tubuhku juga akan menjadi kaku:
kala jantungku tiba-tiba berhenti,
menghitung keletihan mimpi-mimpi,
lalu meringkai hingga tergeletak mati
wahai puisi-puisiku,
sungguh jiwaku akan perlahan mendebu:
kala aku sudah tak ada di dunia fana,
tak juga di utopia dan alam abadi, maka
jagalah selalu denyutnya di dalam cinta
wahai puisi-puisiku,
sungguh aku niscaya dikalahkan waktu:
kala tentangku akan mulai banyak dilupa,
kala tentangmu yang tak kuasa lagi kujaga,
maka maafkanlah aku yang akan mati muda
dan aku ingin kau hidup lebih lama,
dariku, namun jika kau tak mau, tak apa, maka matilah bersamaku, niscaya
kau hidup kembali dalam keabadian cinta