Kotak tipis berpijar itu berdering ketika waktu menunjukkan tepat pukul 5, membangunkan seseorang pada suatu pagi. Dengan benda yang sama, orang itu memeriksa agenda pada hari itu. Juga, dengan benda yang sama, ia membeli tiket bioskop, ia menghubungi kawannya untuk menonton bioskop bersama, ia mencari moda transportasi untuk berangkat ke kantor, ia memesan makan siang, ia membeli boneka baru buat anak perempuannya, ia membayar tagihan listrik dan air untuk rumahnya, ia menghitung catatan keuangan pribadinya, ia membaca buku novel yang baru diunduhnya. Hampir semua kebutuhannya bisa ia penuhi melalui benda kecil itu, yang mungkin dalam beberapa tahun lagi akan semakin kecil atau bahkan menyatu bersama manusia itu sendiri.

Sadar atau tidak, benda kecil yang dimiliki oleh mayoritas manusia abad ini itu adalah produk tidak langsung dari perkembangan sains. Memang, sains dalam ranah praktis sudah bercerai semakin jauh dengan sains dalam bentuk murninya. Kita mengenal sains praktis ini dalam nama dan entitas yang berbeda: teknologi. Sementara di satu sisi sains murni sudah berusaha menyelidiki partikel-partikel elementer, teknologi sudah membuat manusia bisa melakukan segala hal hanya dalam satu genggaman. Keduanya, sebagai satu kesatuan, perlahan mengubah manusia secara total tanpa memberi jeda kesiapan sedikitpun.

Devaluasi Kemanusiaan

Sains sebagai sains sendiri memang sudah bergerak begitu jauh mengeksplorasi alam semesta. Pertanyaan klasik yang terasa filosofis seperti “siapa kita”, “darimana kita berasal”, atau “kemana semesta menuju” sudah mulai ditangani secara perlahan oleh sains. Sayangnya, semua jawaban-jawaban yang diberikan sains cenderung merupakan jawaban dingin yang bisa meruntuhkan paradigma idealistis terhadap manusia menjadi paradigma yang pragmatis.

Sejak peradaban agrikultur mulai berkembang, sebagaimana Yuval N. Harari katakan, manusia mulai menciptakan jarak dengan alam dan dengan itu menciptakan dunianya sendiri. Revolusi agrikultur membuat manusia mulai berpindah posisi dari bagian integral dan setara dari alam, yang terlihat dalam kultur animisme, menjadi entitas yang sedikit lebih tinggi dengan kemampuannya memanipulasi bahan makanan untuk dirinya sendiri. Perlahan-lahan, superioritas mulai muncul dan manusia seakan mereka adalah pusat semesta. Pelan tapi pasti manusia mulai menyadari dan memperlihatkan perbedaannya dibanding binatang dan tumbuhan.

Kemampuan manusia untuk menyadari, berkehendak, dan berpikir analitis menjadi kelebihan tak tergantikan yang membuat manusia melampaui batas-batas yang awalnya selalu gagal ditembus oleh binatang apapun. Kelebihan-kelebihan ini membuat manusia bisa dengan mudah mengelola dan memanipulasi alam untuk kebutuhannya sendiri. Dengan itu semua, gagasan bahwa alam ini diciptakan khusus untuk manusia sukar untuk ditolak. Ya, manusia adalah pusat semesta.

Sayangnya, sejak Aufklarung, atau apa yang disebut Harari sebagai revolusi sains mulai terjadi pada abad ke-16, perlahan semesta ini diungkap lebih detail dan dengan itu juga mengungkap posisi manusia yang sesungguhnya. Di bidang biologi, publikasi Charles Darwin terkait asal-usul spesies menjadi awal dari keruntuhan kesombongan manusia. Perkembangan teori evolusi Darwin mulai mengimplikasikan bahwa manusia bukanlah pengecualian. Manusia sama saja dengan binatang lainnya, hanya kebetulan saja terjadi seleksi yang menghasilkan spesies dengan kemampuan kognitif lebih. Apa yang spesial?

Di sisi lain, di bidang fisika dan astronomi, tirai langit mulai disingkap dan yang terlihat adalah sebuah semesta yang begitu luas dimana bumi, tempat manusia-manusia ini hidup, hanyalah 1 titik kecil tak berarti di salah satu pojokan galaksi. Apa yang spesial? Di bidang lain, fisiologi dan psikologi mulai membongkar isi tubuh manusia dan menemukan sebuah struktur biologis yang tidak jauh berbeda dari kera. Pikiran kognitif manusia yang diunggulkan itu pun, hanyalah impuls-impuls neuron yang kebetulan bisa terjadi dalam jaringan yang lebih kompleks pada otak neo-korteks. Apa yang spesial?

Ketika tidak ada lagi hal spesial yang tersisa dari manusia, apa lagi yang bisa membuat manusia merasa dirinya berbeda? Sains memberi kenyataan pahit bahwa manusia pada dasarnya hanyalah salah satu komponen saja dari alam ini. Lantas, makna manusia sendiri apa? Ironis memang. Ketika manusia dengan sains berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait semesta ini, justru dalam prosesnya tercipta lubang besar akan basis makna dari kemanusiaan.

Hal tersebut, ditambah dengan degradasi ekologis akibat revolusi industri dan kerusakan besar-besaran akibat dua perang dunia berturut-turut pada awal abad ke-20, membuat pemikir-pemikir modern mulai cenderung bersifat pesmistik terhadap manusia itu sendiri. Makna hanyalah hal yang perlu dikonstruksi dan dibangun oleh setiap individu, karena tidak ada makna ineheren. Yang terpenting dari hidup manusia adalah pencapaian-pencapaian pragmatis, baik dalam level individual ataupun masyarakat. Tidak ada suatu idealisme besar yang perlu dipegang dibalik kehidupan manusia. Ya, tidak ada makna, tidak ada esensi. Inilah warna pemikiran pasca perang dunia 2, sebuah era pos-modern.

Para saintis bisa berdalih bahwa mereka tidak melakukan apa-apa selain mencoba memenuhi rasa penasaran dan mempelajari semesta. Namun tidak bisa dinafikan juga, bahwa runtuhnya makna kemanusiaan merupakan efek domino dari sains. Sekarang, yang tertinggal hanyalah paradigma pragmatis. Ya, sekarang yang terpenting hanya bagaimana kita sebagai individu bisa hidup dengan maksimal, dengan mengutilisasi semua potensi dan kapital yang ada. Apa lagi yang perlu dikejar? Usaha-usaha sains murni untuk lebih mengungkap tirai-tirai pengetahuan yang masih tertutup pun hanya semakin menihilkan arti dari manusia. Sains selalu memberikan fakta menyakitkan.

Maksimalisasi Kebutuhan

Ketika usaha sains murni untuk mengungkap kebenaran semesta ini justru menihilkan makna manusia, paling tidak, perkembangan sisi praksis dari sains, yakni teknologi, bisa sedikit menghibur. Teknologi, sejak masa manusia masih sebagai pemburu-pengumpul, selalu bertujuan untuk memudahkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. 

Maka dari itu, kita pada dasarnya bisa membagi perubahan teknologi dari waktu ke waktu dengan melihat piramida kebutuhan Maslow. Teknologi dari waktu ke waktu hanyalah usaha untuk terus memanjat piramida ini. Piramida Maslow merupakan pemetaan kebutuhan manusia dengan urutan paling bawah dari kebutuhan fisiologis, diikuti rasa aman, kemudian hubungan sosial, penghargaan, dan paling atas aktualisasi diri.

Pada awal mula peradaban, basis kuasa masihlah pada kekuatan fisik, yang mana disebabkan kebutuhan manusia masih berada pada tingkatan paling dasar. Orang yang paling kuat di kelompoknya adalah yang paling berkuasa. Hal ini terjadi ketika manusia masih sebagai pemburu-pengumpul. Dalam piramida Maslow, tingkatan selanjutnya adalah kebutuhan akan rasa aman dan hubungan sosial. 

Hal ini diindikasikan oleh mulai menetapnya manusia dari yang sebelumnya nomaden, mulai menciptakan desa-desa sederhana sebagai bentuk hubungan sosial kolektif. Dengan menetapnya manusia ini, teknologi pertanian, perkebunan, dan peternakan mulai berkembang, dan dengan itu kuasa mulai bergeser ke komponen terpenting agrikultur: tanah.

Ketika revolusi industri terjadi, yang ditandai dengan ditemukannya teknologi uap, kendali atas kesejahteraan bergeser pada seberapa mampu kita melakukan produksi besar-besaran dan akhirnya bisa menguasai arus komoditas dan perdagangan. Tanah bergeser sepenuhnya ke arah kapital sebagai basis kuasa. Pada era ini, manusia tidak lagi hidup untuk sekedar mencari makan, rasa aman, ataupun berhubungan sosial, namun hidup untuk bagaimana ia bisa berkarya dan dihargai.

Dengan berkembangnya industri dan teknologi produksi, teknologi tetap berkembang terus dengan kebutuhan manusia yang tak pernah berhenti bertambah. Kebutuhan manusia semakin terekstensi naik hingga ke puncak piramida Maslow, yaitu aktualisasi diri. Hal ini memuncak dengan ditemukannnya internet pada abad 20 yang menandakan mulai bebasnya arus informasi. 

Beragam batas-batas yang awalnya menghalangi manusia untuk berkembang mulai terhapus dan melebur. Hampir keseluruhan kebutuhan dalam piramida Maslow dapat terpenuhi dengan teknologi informasi, dari kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri. Dunia pun memasuki era ketika segalanya bisa dijawab dengan teknologi.

Lalu apa? Di sini lah kemanusiaan, sekali lagi, mentok, bertemu jurang yang membuat ia kembali bertanya apa sesungguhnya makna dirinya. Ketika seluruh kebutuhan manusia bisa dipenuhi dengan praktis, maka apa lagi yang dicari manusia? Di sisi lain, ketika setiap aktivitas manusia mulai bisa diambil alih oleh teknologi, maka apa yang tersisa untuk manusia itu sendiri lakukan?

Transendensi atau Degradasi

Di tengah kondisi jatuhnya kemanusiaan dalam kehampaan makna, masa depan manusia menjadi gua gelap yang tak berujung. Semua spekulasi akhirnya hanya bergantung dari bagaimana kita ingin melihat keadaan ini.

Dalam perspektif yang pesimistik, perkembangan sains pada akhirnya hanya akan berujung pada satu titik dimana dalam sisi teoretis, semesta menjadi hanya lembaran tak berarti dimana eksistensi dunia kompleks manusia hanyalah masalah probabilitas belaka. 

Perkembangan kosmologi semakin memperjelas kemungkinan-kemungkinan dari keadaan semesta di ujung waktu. Kecepatan ekspansi semesta akan menjadi begitu cepat bahkan cahaya pun tak mampu menandinginya, sehingga horizon kosmologis akan mengecil hingga jadi hanya beberapa kilometer di luar bumi kita. Itu pun jika ruang-waktu tidak “robek” oleh percepatan ekspansi semesta, sebuah sekenario yang dinamakan Big Rip.

Semua prediksi kosmologis pada akhirnya selalu bersifat dingin dan mematikan idealitas dari keagungan manusia sebagai makhluk yang begitu cerdas hingga mampu mengungkap semua kebenaran itu. Ketika yang tersisa dari manusia hanyalah sisi praktisnya sendiri, usaha pemenuhan kebutuhan yang tiada akhir akan berujung pada bergeser sepenuhnya semua fungsionalitas tubuh manusia ke mesin.

Ketika mesin sudah mampu menghitung berbagai persamaan matematis, mengerjakan berbagai pekerjaan fisik, atau bahkan menciptakan imaji virtual, apa lagi tujuannya manusia menggunakan tubuhnya sendiri? Skenario yang cukup realistis mencerminkan spekulasi ini terlihat dalam trilogi film The Matrix, dimana manusia pada akhirnya hanyalah sumber energi untuk sebuah superorganisme raksasa berbentuk mesin.

Dalam perspektif lain, kita bisa memandang ini secara optimis dengan melihat bahwa justru temuan-temuan sains teoretis akan membangkitkan semangat eksplorasi dari manusia untuk lebih menemukan maknanya sebagai sebuah eksistensi anomalistik di semesta. Spekulasi-spekulasi dingin kosmologis bisa diabaikan dengan menganggap bahwa masih terdapat wilayah gelap dunia pengetahuan yang masih bisa digali untuk menemukan solusi baru terkait masa depan semesta.

Pada sisi praksisnya, ketika sains dan teknologi bisa mengambil alih hampir semua usaha pemenuhan kebutuhan manusia, maka manusia bisa memfokuskan diri pada hal lain, dan dengan itu melepaskan diri pada seluruh ketergantungan material. Ketika rasionalitas dan pengetahuan pun bahkan bisa diambil alih oleh mesin, maka manusia akan terbebas dari kemelakatan fisik dan dengan itu membangkitkan sisi lain kapabilitasnya yang selama ini dorman oleh hasrat material. Manusia kemudian dapat terbebas dari rasionalitas dan akal logis pikiran, dan naik derajat menuju suatu entitas/makhluk baru yang memiliki tingkat bahasa melebihi kata-kata.

Ketika pada akhirnya teknologi selalu dapat melebihi kemampuan kita, apa gunanya kita baca buku berlembar-lembar apabila google telah memiliki semua itu? Serahkan saja sepenuhnya semua urusan rasionalitas kepada mereka. 

Daripada mereka mengambil alih kita seperti yang ada dalam film-film apokaliptik yang sering beredar, lebih baik kita memang mentransformasi diri menuju wujud baru yang bebas dari logika dan informasi derajat "rendah" menuju suatu derajat baru dengan tingkatan bahasa yang lebih tinggi.

Seperti apa derajat baru ini? Ya, mungkin akan seperti apa yang selama ini kita sebut dengan kesadaran jiwa atau spiritualitas, yang tersampaikan melampaui dan melebihi hal-hal material. Dengan ini, kesadaran bersama mungkin akan dapat terbangun, dan kita tidak lagi terbatasi subjektivitas. Tak ada lagi persepsi berbeda, tak ada lagi paradigma berbeda, informasi tersampaikan apa adanya, bangkit dengan kesadaran yang menyala bersama-sama.

Manusia Tetaplah Manusia

Dua kutub kemungkinan di atas tentu tidak lah mutlak hitam-putih. Di antara kedua kemungkinan itu, terhampar kemungkinan-kemungkinan lainnya yang siap menanti manusia di masa depan. Akan tetapi, semua kemungkinan itu tidaklah lebih dari sekadar spekulasi saat ini. Apapun yang akan terjadi di masa depan bergantung begitu banyak faktor. Meskipun begitu, banyak hal yang bisa kita pelajari sebagai bahan persiapan diri untuk melaluinya.

Sains tidak bisa dipungkiri, meskipun terkesan netral, telah mentransformasi manusia beserta dunia yang ditinggalinya. Kebenaran yang ditawarkan sains sebenarnya hanyalah fakta ilmiah apa adanya. Interpretasi terhadap itu dan refleksinya terhadap kemanusiaan lah yang menjadikan itu signifikan. Pada dasarnya, permasalahan akan makna kemanusiaan sebenarnya selalu menjadi diskursus yang tak pernah usai sejak manusia menyadari kemanusiaan itu sendiri.

Terkadang, kita pun lupa bahwa manusia tetaplah manusia apapun kondisi eksternal yang melingkupinya. Dari masa Fir’aun masih menguasai mesir, hingga saat ini pun, manusia tetaplah tersinggung bila identitasnya dilecehkan, tetaplah punya kecenderungan untuk berorientasi pada diri, tetaplah akan terlibat dalam konflik bila ada kepentingan yang bertubrukan.

Apakah kemudian dengan pengetahuan yang semakin maju dan instrumen yang semakin canggih, manusia secara esensial akan berubah? Mungkin iya, mungkin tidak. Sayangnya, manusia saat ini bukan lagi makhluk hidup yang secara murni ditentukan oleh gen seperti binatang. 

Aspek-aspek eksternal pun menjadi faktor penentu manusia itu sendiri, yang oleh Richard Dawkins disebut sebagai Meme, replikator baru yang membentuk dan mempengaruhi perilaku manusia. Akan tetapi, dengan akselerasi perkembangan sains-teknologi yang sudah sangat tinggi, dinamika evolusi dari meme menjadi semakin sukar untuk dibaca. Pada akhirnya, di ujung refleksi, yang perlu kita sadari adalah bahwa manusia pasca sains tetaplah manusia yang masih butuh diinterpretasi ulang.