Diakui atau tidak, kita sering menghadirkan Tuhan hanya kala Dia kita butuhkan. Seperti yang disampaikan Karen Armstrong “sejatinya manusia adalah makhluk bertuhan”. Karenaya manusia memang selalu membutuhkan Tuhan terutama dalam keadaan kesusahan. Di sisi lain, kebahagian-kebahagiaan yang Dia berikan juga tak pernah benar-benar melekat di ingatan.
Masih ingatkah kita kapan dan momen apa yang paling membahagiakan? Ya, kebanyakan dari kita melupakannya. Kita cenderung selalu melihat kebahagiaan yang sedang kita kejar di depan. Bagaimana kebahagiaan-kebahagian sebelumnya? Kita seolah begitu cepat melupakannya. Mirip pemain sepak bola yang melakukan selebrasi atas gol yang diciptakannya, sangat singkat. Kita cenderung menganggap kebahagiaan yang sudah-sudah menjadi sangat biasa sekarang.
Sifat serakah kita barangkali yang patut dijadikan penyebanya. Ketika kita mendapat sedikit kebahagiaan kita selalu berusaha untuk menambah bahkan melipat gandakannya, atau paling tidak mempertahankannya agar berlangsung lama. Alih-alih kita jenak sebentar untuk bersyukur, kita malah segera berpindah pada tujuan-tujuan bahagia lainnya dimana Tuhan selalu kita repotkan.
Coba anda putar ingatan anda ke belakang sampai pada zaman anda menantikan kabar kelulusan anda di SMA. Masa itu, 3 hari menentukan 3 tahun menjadi momen yang paling mendebarkan. Lulus dari SMA adalah salah satu gerbang besar yang harus dilalui untuk menuju kehidupan berikutnya. Sudah tak terhitung berapa kali sudah kita berdoa, merapalkan ayat-ayat Tuhan agar Dia berbaik hati memberikan hasil terbaik. Di saat itu juga, seakan lulus dengan nilai memuaskan adalah satu-satunya hal yang dapat membuat kita bahagia.
Beberapa Minggu berselang kemudian hasil kelulusan itu diumumkan. Dan seperti biasa kita merayakannya dengan berbagai macam selebrasi seperti pesta, touring dan segala macam kegiatan senang-senang. Tak lama, beberapa bulan setelahnya, kebahagiaan itu mulai memudar dari perasaan kita seiring doa-doa kita kepada Tuhan.
Kemudian ketika belum jenak kita bersyukur, kita langsung mengejar kebahagiaan di depan, masuk perguruan tinggi idaman. Lagi, doa-doa kita panjatkan dan Tuhan kita ajak ikut serta. Sekali lagi kita merasa seakan bahwa kita hanya bisa benar-benar bahagia jika kita lulus seleksi perguruan tinggi yang kita kehendaki.
Dan lagi, Tuhan berbaik hati mengabulkan doa-doa kita. Pengumuman yang kita baca mencantumkan nama kita sebagai calon mahasiswa sesuai yang kita inginkan. Beberapa teman kita undang untuk menghadiri acara traktiran, yang menurut kita adalah sebentuk rasa syukur kita.
Namun, setelah beberapa bulan kemudian apa yang terjadi? Ya, kebahagiaan itu lagi-lagi memudar bersama rasa syukur kita. Kita malah terjerumus dalam lembah kemalasan menjadi mahasiswa. Bukannya mensyukuri kesempatan yang Tuhan telah amanahkan, kita malah menggunakan kuliah sebagai ajang mencari kesenangan dan gengsi semata.
Beberapa tahun berlalu dan kita sudah mulai lupa setiap redaksi doa yang dulu kita baca. Tak sempat lagi kita untuk sekedar duduk sebentar dan bercengkrama dengan Tuhan.
Lalu, ketika kita sadar, kita tengah tegang menyelesaikan skripsi. Doa-doa yang sudah luntur itu, dalam sekejap kita rapalkan lagi. Tuhan pun kita undang untuk ikut campur meluluhkan hati dosen pembimbing dan dosen penguji. Waktu itu, skripsi adalah mengenai hidup dan mati.
Ya, Tuhan memang selalu maha pengasih lagi maha penyayang. Sekali lagi Tuhan mengabulkan permohonan kita. Ujian lancar dan senyum dosen penguji yang merekah seakan mentari yang menyinari esok hari. Dan kita pun keluar kampus dengan toga di kepala lengkap dengan tali tergantung di sebelah kanannya.
Namun, lagi dan lagi, setelah beberapa bulan saja kebahagiaan itu mulai terasa hambar. Alih-alih menggunakan ilmu di perkuliahan untuk memberikan kontribusi untuk bangsa atau agama, kita malah menjadi manusia penuntut gaji. Dengan sombongnya kita berkata "saya ini lulusan perguruan tinggi hebat loh, berani bayar berapa?" atau “Saya ini lulus dengan pujian, tak mungkin kerja sembarangan”. Kita akhirnya berubah menjadi ‘sesosok berdasi yang gila materi’.
Dan tahun-tahun pun berlalu, dan kita dihadapkan pada kesunyian. Uang yang melimpah dan rumah yang megah berdiri tentu menuntut penghuni lain untuk mengusir sepi. Pasangan hidup istri/suami akan pas untuk situasi semacam ini. Dan seperti biasa, seakan tak tahu malu, kita merasa butuh bantuanNya lagi. Kita berdoa malam-malam agar segera didekatkan dengan pendamping hati. Saat itu menikah seakan menjadi kebahagiaan yang paling kita tunggu di atas segalanya.
Tuhan tak pernah lupa untuk bermurah hati. Ia jodohkan kita dengan seorang yang kita dambakan. Pesta pun digelar mewah dan ratusan bahkan ribuan undangan kita ajak turut berbahagia. Namun seperti yang sudah berlalu, seiring berjalannya waktu kebahagiaan itu mulai terlupakan. Jangankan menjadi pasangan atau pendamping yang baik, kita malah sering menyakiti, bahkan bermain hati. Kita seakan lupa segores coretan di atas materai terlebih janji di bawah kesaksian Ilahi. Pada akhirnya pernikahan pun menjadi kering seiring pasangan yang saling merasa asing.
Begitu seterusnya kita menjalani hidup sampai pada tujuan-tujuan berikutnya seperti mempunyai momongan, menikahkan mereka, lalu menimang cucu-cucu kita. Kita tak pernah berhenti untuk meminta, dan selalu lupa bersyukur atas itu semua.
Sebenarnya, tidak pernah salah jika manusia meminta pada Penciptanya, bahkan Dia pun memerintahkan demikian. Namun, pernahkah kita benar-benar tulus untuk sekedar berterima kasih dan bersyukur kepadanya? Selebrasi, upacara dan pesta-pesta yang kita anggap sebagai bentuk syukuran itu, apakah sudah benar cukup untuk mewakili persembahan kita?
Tak pernahkah kita coba untuk duduk sejenak untuk mengingat semua dan memanjatkan syukur atas kebahagian-kebahagian yang sudah kita terima. Sembari dengan tulus berkata “Tuhanku, terimakasih dan maafkan aku”