Dewasa ini kebanyakan manusia mulai bersikap individualistik atau hanya mementingkan kepentingan pribadi tanpa melihat apa yang sebenarnya terjadi di tengah lingkungan masyarakat yang ditempatinya saat ini. 

Rasa apatis yang dimunculkan ini sebenarnya telah melunturkan nilai sebagai seorang manusia, yaitu nilai sebagai makhluk sosial, makhluk yang berinteraksi, yang tidak bisa hidup tanpa orang lain, atau yang disebut oleh Aristoteles sebagai zoon politicon.

Titik fokus yang menjadi paling urgent untuk dibahas dan dikritisi ialah lunturnya sikap peduli atau care, yang katanya dimiliki oleh kalangan yang mengaku sebagai aktivis, intelek, ataupun sebagai Rausyan Fikr.

Seyogyanya mereka sadar atas apa yang menjadikan mereka sebagai golongan yang terdidik, yaitu kesadaran untuk selalu menyadarkan banyak orang, bukan hanya dirinya sendiri. 

Merujuk pada apa yang dikatakan oleh Ali Syariati tentang Rausyan Fikr yaitu “pemikir yang tercerahkan” yang berasal dari bahasa Persia dan mempunyai tugas sebagai pendengar umat, memperbaiki masyarakat, mendengar aspirasi masyarakat, menerjemahkan atau menafsirkan segala bentuk hal yang ambigu ditengah masyarakat, dan tugas sebagai pemberi solusi atas segala hal yang terjadi dalam masyarakat tersebut.

Namun kebanyakan intelek sekarang tidak mau menghiraukan akan hal-hal tersebut, mereka condong untuk fokus terhadap apa saja yang menjadi permasalahan dan kebutuhan pribadi.

Melupakan tanggung jawab sosialnya sebagai manusia, sebagai intelek, sebagai Rausyan Fikr, sebagai khalifah yang bertugas sebagai pemimpin di muka bumi ini, tidak hanya pemimpin untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain.

Ada satu penekanan yang menjadi fokus seorang Ali syariati, ia menyebut bahwa pada abad ke-20 ini adalah abad analisis ilmiah, abad netralitas ilmiah, abad dimana ilmuwan atau intelek melupakan tanggung jawab sosialnya, ilmuwan membatasi daripada ruang gerak nya sendiri.

Ali syariati mencoba untuk mencontohkan sikap apatis ini dengan seorang sosiolog, ia mengatakan apa fungsi ilmu sosiologi jika tidak mampu untuk mengubah dan membentuk masyarakat secara langsung?

Bagaimana ia bisa menolong masyarakatnya dan terlibat dengan masalah-masalah sosialnya, jika ia terus dan selalu membatasi dirinya sendiri dengan satu jabatan di perguruan tinggi tertentu. 

Keharusan menurut seorang Ali Syariati adalah “pengetahuan itu harus di bawah ke tengah-tengah umat”, yang berarti setiap pengetahuan atau keahlian yang kita miliki tidak menjadi konsumsi pribadi saja, tetapi itu semua harus di distribusikan sehingga memiliki value mengubah, yaitu ke arah perubahan yang membangun. 

Yang lebih parah dan seharusnya menjadi perhatian khusus kita semua adalah bahwa para intelek atau Rausyan Fikr ini tidak hanya apatis terhadap keadaan sosial yang terjadi, tetapi juga berkhianat karena telah menjadi lawan dari ummah yang seharusnya membutuhkan perhatiannya.

Tanggung jawab sosial yang seharusnya  para intelek ini sebagai benteng atau koalisi dari kaum proletar, kaum mustadh'afin dalam melawan kaum borjuis atau kaum mustakbirin yang menindas.

Tetapi ternyata berkebalikan dari itu semua para intelek yang tak pantas disebut sebagai intelek ini menjual dari pengetahuan yang dimilikinya kepada para pemangku kepentingan, para stakeholder guna menyongsong dan melegitimasi kembali status quo. 

Kasus-kasus  seperti ini mengingatkan saya kepada cerita yang terdapat dalam Al Qur’an Yang digambarkan dengan seorang Haman, yakni ilmuwan yang dengan mudah menjual daripada pengetahuannya  kepada Fir’aun yang tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menunjang dan memperkaya dirinya sendiri, mendapatkan upah dan kemewahan yang sifatnya materialistik sahaja.

Lantas apa yang membuat hal ini terjadi, ternyata di ungkap oleh Ali Syariati yang menjadi problem utama dari masalah yang terus berkelanjutan tersebut bukan hanya di zaman Haman saja, tetapi pada masa dan zaman kita sekarang ini masih banyak dijumpai orang-orang seperti ini. 

Problemnya yaitu terletak pada ketiadaan ideologi pada individu tersebut, ideologi sendiri adalah sebuah kepercayaan yang menjadi pegangan dan juga pedoman untuk seseorang bahkan kelompok untuk mencapai suatu tujuan.

Ideologi juga memiliki sifat untuk menuntut seseorang bersikap setia (Committed) yang artinya sangat penting untuk mempunyai sebuah  ideologi yang berguna sebagai panduan dan pegangan kita dalam melakukan sesuatu hal, yang menuntut kita bersikap bertanggung jawab atas hal tersebut.

Ketiadaan ideologi telah membuat kita terombang-ambing di atas lautan kesalahan yang secara terus menerus terjadi. Dan juga punya ideologi berarti mempunyai suatu keyakinan yang amat kuat tentang bagaimana cara yang ditempuh untuk mengubah status quo, bukan sebaliknya.

Dan pertanyaan selanjutnya bagaimana cara mendapatkan ideologi yang benar. Mungkin teman-teman pernah mendengar dan familiar dengan ideologi yang penulis sebutkan sekarang, mulai dari ideologi kapitalisme, ideologi liberalisme, ideologi komunisme dan Ideologi Sosialisme, dengan tokoh-tokoh luar biasa yang menjadi dalang dari ideologi-ideologi besar ini. 

Katakanlah seorang adam smith, Karl Marx, dan lain sebagainya yang bukan hanya sebagai pelopor, tetapi juga sebagai agen yang menyebarkan berbagai ideologi tersebut ke seluruh penjuru bumi. 

Ali syariati menyebutkan cara memilih dan mencari ideologi yang benar adalah dengan menggunakan wawasan dan pengalaman yang kita lalui selama ini. Inilah yang menjadi poin penting ketika kita hendak untuk mencari dan memilih ideologi yang nantinya kita anut ke depannya sebagai sebuah keyakinan. 

Ideologi sendiri pada masa sebelum fase individualistik ini menjalar ke seluruh dunia, ideologi memiliki peran penting dalam mengubah wajah peradaban dunia. Katakanlah ideologi yang dianut oleh Che Guevara, seorang sarjana kedokteran yang telah mendirikan negara tangguh bernama Kuba.

Atau boleh kita sedikit melirik ideologi dan gagasan yang dimiliki oleh presiden pertama kita yakni Bung Karno atas dasar pemikiran dan idenya tentang kemerdekaanlah sehingga hal tersebut menjadi kebutuhan massa dan tercipta Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Atau kembali lagi kepada ideologi yang dimiliki oleh Ali Syariati sehingga memicu suatu peristiwa penting dan tak akan pernah terlupakan di negara Iran, yaitu Revolusi yang mengubah wajah Iran secara keseluruhan.

 

 

Referensi : 

Syariati, A. (1993). Ideologi Kaum Intelektual, Suatu wawasan Islam Islam. Bandung: Mizan.

Prasetyo, Eko. (2015). Bangkitlah Gerakan Mahasiswa. Malang: Intrans Publishing.