Daun ganja adalah daun dari tanaman bernama cannabis sativa. Tanaman ganja memiliki seratus bahan kimia yang berbeda yang dikenal dengan cannabinoid. Masing-masing bahan kimia memiliki efek yang berbeda pada tubuh.
Ganja sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan medis, tetapi untuk membuat sensasi tertentu yang menyenangkan. Ganja yang digunakan tanpa resep dokter akan berakibat buruk pada tubuh kita.
Dampak buruk ganja terhadap tubuh yaitu
1. Dehidrasi
Ganja bisa menyebabkan keseimbangan elektrolit berkurang menyebabkan badan kekurangan cairan. Dehidrasi yang berkepanjangan akan membuat tubuh kejang-kejang, muncul halusinasi, perilaku lebih agresif, dan rasa sesak pada bagian dada. Jangka panjang dari dampak dehidrasi ini dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
2. Halusinasi
Halusinasi menjadi salah satu efek yang sering dialami oleh pengguna narkoba seperti ganja. Ganja yang dikonsumsi dalam dosis berlebih juga bisa menyebabkan muntah, mual, rasa takut yang berlebih, serta gangguan kecemasan. Efek jangka panjang bisa mengakibatkan dampak yang lebih buruk seperti gangguan mental, depresi, serta kecemasan terus-menerus.
3. Menurunnya Tingkat Kesadaran
Pemakai yang menggunakan obat-obatan tersebut dalam dosis yang berlebih, akan membuat tubuh terlalu rileks sehingga kesadaran berkurang drastis. Beberapa kasus si pemakai tidur terus dan tidak bangun-bangun. Hilang kesadaran tersebut membuat koordinasi tubuh terganggu, sering bingung, dan terjadi perubahan perilaku. Dampak narkoba yang cukup berisiko tinggi adalah hilangnya ingatan sehingga sulit mengenali lingkungan sekitar.
Ganja bisa dimanfaatkan dalam kondisi ideal untuk kepentingan medis dan penelitian. Ganja yang sudah diproses bisa mengobati berbagai penyakit. Manfaat ganja inilah yang seharusnya bisa digunakan secara maksimal untuk kepentingan pengobatan.
Ganja yang sudah diteliti memiliki beberapa manfaat yaitu :
1. Menenangkan kecemasan
Peneliti dari Harvard Medical School mengungkapkan ganja memiliki efek yang bisa membantu menenangkan kecemasan seseorang. Hal ini hanya berlaku dengan penggunaan ganja dosis tepat. Jika dikonsumsi dosis tinggi justru malah membahayakan.
2. Mengobati epilepsi
Virginia Commonwealth University pernah menyampaikan penelitian bahwa ganja dapat digunakan untuk menghentikan serangan epilepsi. Peneliti masih melakukan ujicoba pada hewan, belum diujicoba pada manusia.
3. Memperlambat alzheimer
Peneliti Scripss Research Institute pernah melaporkan ganja dapat memperlambat penyakit Alzheimer yang menyerang otak. Laporan ini dimuat dijurnal Molecular Pharmaceutics.
4. Obat kanker
Sebuah penelitian yang dimuat jurnal Molecular Cancer Therapeutics pernah mengungkapkan zat cannabidiol (CBD) yang ada dalam ganja dapat 'mematikan' gen 'Id-1' yang digunakan sel kanker menyebar ke seluruh tubuh.
5. Meredam gejala Multiple Sclerosis
Kandungan cannabidiol di dalam ganja disebut dapat menurunkan gejala dan rasa sakit yang disebabkan multiple sclerosis atau penyakit yang menyerang saraf-saraf pusat, seperti saraf otak, sumsum tulang belakang dan saraf optik. Hal itu dimuat dalam laporan penelitian yang dimuat di jurnal Canadian Medical Association.
6. Mengatasi penyakit parkinson
Penelitian terhadap manfaat ganja terus dilakukan. Salah satu laporan yang dimuat medPage Today misalnya, pernah melaporkan ganja dapat digunakan untuk mengatasi tremor dan meningkatkan kemampuan motorik pada pasien parkison.
7. Mengobati radang usus
Penelitian yang dilakukan University of Nottingham pada 2010 pernah mengungkapkan bahan kimia dalam ganja, termasuk THC dan cannabidiol berinteraksi dengan sel-sel dalam tubuh yang memainkan peran penting dalam fungsi usus dan respon imun.
Kondisi ideal penggunaan ganja
Zat narkotika seharusnya hanya diperbolehkan untuk kepentingan medis sesuai dengan pengawasan dokter dan juga untuk keperluan penelitian. Ganja telah digunakan di berbagai negara untuk kepentingan medis. Total 66 negara yang melegalkan ganja untuk keperluan medis dengan berbagai aturannya. Termasuk di antara mereka, negara-negara yang sebenarnya masih melarang sepenuhnya budidaya, peredaran dan konsumsi ganja untuk keperluan rekreasi.
Argumentasi
Denmark misalnya, hingga kini masih melarang sepenuhnya legalisasi ganja untuk rekreasi, namun sudah mengizinkan legalisasi ganja untuk keperluan medis, melalui program percontohan selama 4 tahun yang mereka mulai sejak tahun 2018 lalu. Termasuk 335 pasien diantaranya yang berasal dari luar Denmark.
Pakistan sejak September tahun 2020 lalu telah mengizinkan budidaya dan penggunaan ganja medis khusus untuk pembuatan Cannabidiol atau CBD Oil.
Sativex sebuah obat semprot oral yang bisa digunakan untuk mengobati rasa nyeri yang disebabkan oleh kerusakan saraf yang sudah legal di Spanyol, Austria, Belgia, Korea Selatan hingga Turki.
Dronabinol sebuah obat dari ekstrak ganja yang berkhasiat untuk pasien anoreksia akibat efek kemoterapi atau diinduksi HIV/AIDS, yang kini legal di Korea Selatan, Ukraina, Austria dan Slovenia. Dikutip dari philstar.com
Ganja tidak memberikan dampak positif bagi tubuh selain itu. Dampak buruknya justru membuat kualitas hidup menjadi terganggu, relasi dengan keluarga kacau, kesehatan menurun, dan yang paling buruk adalah menyebabkan kematian.
Indonesia memiliki aturan perundang-undangan tentang narkotika yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan revisi dari Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, UU tersebut juga mengatur tentang prekusor narkotika yang merupakan zat/bahan pemula/bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan narkotika.
Penelitian ini fokus pada opini yang berkembang tentang isu legalisasi ganja yang dipicu usulan uji materil sekelompok orang terkait Pasal 6 Ayat (1) dalam Undang-undang ini, yaitu: “Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: a) Narkotika Golongan I; b) Narkotika Golongan II; dan c) Narkotika Golongan III.”
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘Narkotika Golongan I’ adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Dalam lampiran undang-undang tersebut, ganja dan senyawa turunnya masuk ke dalam golongan I, antara lain:
Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis
Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya
Menurut United Nation Office of Drugs and Crime (2017), ganja atau cannabis merupakan salah satu zat psikoaktif yang paling sering digunakan setelah alkohol. Secara global, penelitian yang dilakukan pada tahun 2017 oleh UNODC, cannabis digunakan oleh 75% penyalahguna yang terdata (UNODC, 2017).
Dilansir dari Berke et al. (2021), ganja saat ini benar-benar legal dan tersedia untuk medis dan rekreasional di dua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu Kanada dan Uruguay, selain itu di 18 negara bagian Amerika ganja sudah legal, 37 negara bagian lainnya melegalkan untuk kepentingan medis (medical use).
Meski beberapa negara memperbolehkan pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis demi memperbaiki kualitas kesehatan seseorang, namun The Commission on Narcotic Drugs (CND) memberikan otoritas kepada masing-masing negara untuk mengatur pemanfaatan ganja untuk negaranya.
Badan Narkotika Nasional melalui Humas serta Deputi Hukum dan Kerjasama, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tetap menolak ganja dilegalkan baik untuk kepentingan medis maupun rekreasional.
Sikap tegas yang diambil oleh BNN sebagai leading sector penanganan permasalahan Narkoba di Indonesia menyatakan bahwa dengan situasi dan kondisi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika khususnya ganja yang sangat tinggi di Indonesia, maka upaya tindakan melegalisasi ganja adalah perbuatan melawan hukum yang dapat dikenakan sanksi sesuai UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 (Humas BNN, 2021).
Pemerintah melalui BNN berharap kepada masyarakat Indonesia yang mengikuti proses pembahasan ini untuk dapat menyikapi persoalan ganja medis tersebut dengan bijaksana sebab Indonesia masih merupakan negara yang berdaulat yang memiliki peraturan perundang-undangannya sendiri untuk mengatur pemanfaatan ganja (Humas BNN, 2020).
Kebijakan pemerintah yang menolak rekomendasi dari ECDD WHO tentang pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis memiliki beberapa alasan yang mendasari, antara lain bahwa dari hasil penelitian kandungan ganja yang ada di Indonesia memiliki THC (kandungan dalam tanaman ganja yang sangat berbahaya karena bersifat psikoaktif) yang tinggi yakni 18% dibanding dengan CBD yang hanya sebesar 1%.
Ganja yang dijadikan terapi pengobatan adalah ganja dari hasil budidaya rekayasa genetik yang dapat menghasilkan kandungan CBD tinggi dan kandungan THC rendah. Alasan terakhir yakni risiko penyalahgunaan ganja akan semakin besar jika ganja medis dilegalkan, mereka yang ingin mengonsumsi ganja untuk rekreasi, bisa berdalih untuk terapi pengobatan (Asmoro & Samputra, 2021).
Solusi
Ganja seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan medis. Ganja yang disalahgunakan justru akan menghambat pengobatan untuk orang-orang yang memang membutuhkan ganja sebagai obat.
Indonesia harus merevisi undang-undang tentang ganja sehingga ganja bisa digunakan sebagai obat untuk penyakit tertentu. Indonesia bisa mencontoh beberapa negara yang sudah melegalkan ganja dalam lingkup tertentu demi kemajuan medis agar bermanfaat bagi masyarakat.