Partai politik sebagai pilar utama demokrasi menggambarkan kehendak rakyat yang utuh, ia adalah wadah kanalisasi kepentingan dan aspirasi yang legal.

Prasyarat demokratisasi ialah kokohnya pilar-pilar demokrasi, atau dengan kata lain terwujudnya pilar demokrasi yang secara praktik berdasar pada aras idealitasnya.

Partai politik, selain sebagai pilar utama demokrasi, ia juga sebagai pranata ketatanegaraan. Pasalnya, hanya partai politik yang memiliki legitimasi sebagai satu-satunya peserta pemilu, padahal ia adalah organisasi non state. 

Dengan peran strategis itu, secara eksternal, parpol dapat memperoleh kekuasaan yang kemudian menjadi orientasi bagi setiap partai politik untuk mewujudkan cita-citanya. 

Karna itu, bila tujuan terhadap kekuasaan dominan dalam parpol, maka kepentingan dalam parpol akan semakin beragam. Ragam kepentingan inilah jika tak dikelola dengan baik, bisa memicu timbulnya konflik internal.

Dalam kondisi tersebut, alih-alih dapat memerankan fungsinya sebagai pilar utama demokrasi, justru berpotensi sebaliknya, menjadi sumber kegaduhan politik negara. 

Dalam buku Prof. Yasonna Laoly yang berjudul Manajemen Sengketa Partai Politik ini, beliau menyebutkan tiga hal sebagai tujuan partai politik: Pertama, 

kanalisasi kepentingan. Kedua, sarana kompromi kepentingan. Dan Ketiga, sarana kepemimpinan yang legitimate dan damai.  

Pertanyaannya kemudian, apakah tiga tujuan yang disusun penulis buku tersebut dapat menjangkau dan merubah persoalan partai politik?

Pemicu Konflik Internal

Menurut P. Morris dalam buku Kaum Demokrat Kritis, masyarakat tetap memilih demokrasi sebagai sistem bersama sekaligus terus mengkritiknya, hal tersebut ia sebut sebagai ‘kaum demokrat kritis’.  

Begitu juga dengan partai politik sebagai pilar demokrasi, betapapun banyak kritikan terhadapnya, ia tetap jadi pilihan untuk wadah kanalisasi kepentingan masyarakat.

Salah satu tantangan sekaligus kritik  untuk partai politik dari dulu hingga kini yakni sistem rekrutmen dan kaderisasinya yang dinilai terjebak dalam pusaran pragmatisme. 

Rekrutmen kader seharusnya berorientasi pada prestasi, kinerja yang baik, keterampilan, dan memiliki jejak rekam pengabdian di masyarakat secara umum.

Sementara, sistem kaderisasi harus mendorong kader menjadi teladan dan berakhir pada negarawan serta berkesesuaian dengan cita-cita mulia negara. Bukan sekadar kekuasaan belaka. 

Tak hanya itu, adanya relasi patronase-klien di dalam tubuh partai politik memicu partai politik terjebak ke dalam pusaran oligarki politik. Hal ini lazim ditandai dengan kebijakan partai yang ekstraktif. 

Selain itu, ketidakmandirian partai politik di bidang ekonomi akan memicu kebijakan rekrutmen dan kaderisasi yang pragmatis. Misalnya rekrutmen anggota partai menjelang pemilihan legislatif cenderung memilih calon anggota berlatar belakang pengusaha.

Pada akhirnya semua hal tersebut berpotensi mengarahkan partai politik pada sistem kartel, sebagaimana praktik jual beli dalam konsep pasar bebas. Hal ini dapat dilihat pada bubarnya koalisi setelah kontestasi pemilihan Presiden maupun pemilihan kepala daerah.

Hal tersebut sangat sering ditemui hingga mengemuka istilah “berbagi potongan kue”. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sikap dan kepentingan partai tidak selalu berdasar pada ideologinya.

Jalan Hukum

Runtuhnya rezim Orde Baru menyebabkan menjamurnya partai politik. Hal itu setidaknya disebabkan tiga hal: Pertama, adanya amandemen konstitusi perihal hak sipil dan politik. Kedua, pencabutan UU No. 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Dan ketiga, adanya euforia reformasi.  

Akibatnya saat menuju Pemilu 1999, setidaknya tercatat seratus partai politik yang bergegas mengikuti verifikasi faktual sebagai syarat peserta Pemilu. Hasilnya, hanya empat puluh sembilan partai politik yang sah mengikuti Pemilu.

Hal tersebut meniscayakan dinamika politik yang ketat, sekaligus menjadi syarat untuk menuju kekuasaan yang legitimate berdasar pada prinsip demokrasi dan norma hukum. 

Dengan demikian, eksekutif sebagai cabang kekuasaan yang berpengaruh besar, tidak boleh lagi berlaku sebagai hakim yang menilai kebijakannya sendiri, apalagi mengintervensi keputusan partai politik.

Hal itulah yang dialami oleh PDI 1996, di intervensi hasil kongresnya hingga pengerahan aparat untuk menduduki kantor pengurus pusatnya. Hal tersebut mengakibatkan perpecahan di dalam tubuh partai.

Reformasi 1998 adalah momen yang dimanfaatkan untuk mengharmoniskan antara norma hukum dan prinsip demokrasi. Salah satu buah reformasi di bidang hukum yang relate dengan partai politik yakni penyelesaian sengketa internalnya. 

Desain dan arah hukum yang dibangun pasca reformasi terhadap konflik internal parpol mengkristalisasikan hubungan hukum yang jelas. Hal ini tergambar dalam tiga undang-undang partai politik pasca reformasi.  

Potret lebih spesifik terkait penyelesaian sengketa internal partai politik ditemukan di dalam UU No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik yang mewujud sebagai Mahkamah Partai. 

Kecenderungan orde lama dan orde baru dalam mendesain penyelesaian persoalan kepengurusan partai politik sama sekali tidak menapaki jalur hukum, sehingga beberapa konflik partai politik seperti yang dialami Masyumi berujung pada keluarnya sejumlah tokoh NU yang kemudian memicu NU menjadi partai politik.  

Konflik Masyumi di era orde lama dan PDI di era orde baru tidak berujung pada jalur hukum, melainkan berujung di jalur politik yang bergelinding sesuai hasrat politik belaka. Inikah bentuk harmonisasi norma hukum dan prinsip demokrasi?

Mahkmah Partai 

Mahkamah Partai Politik dikonstruksi oleh UU sebagai mekanisme peradilan internal. Secara fungsional Mahkamah Partai merupakan delegasi negara untuk menyelesaikan perselisihan internal dengan kewenangan yang bersifat atributif.  

Hal ini disebabkan adanya perbedaan mendasar antara perselisihan yang bersifat politik dengan persilisihan yang bersifat perdata. 

Perselisihan yang bersifat politik menjadi kompotensi Mahkamah Partai sebagai mana yang termaktub dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. 

Kedudukan Mahkamah Partai sebagai salah satu organ yang bersifat quasi peradilan dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. 

Pasal 33 ayat (1) dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Negeri.  

Hal tersebut bukan tanpa alasan, perselisihan internal partai politik bisa dikatakan sebagai hal yang masuk dalam kategori perdata khusus. 

Sebab sederhananya, perdata khusus itu diluar dari Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan Wanprestasi yang lazim diartikan sebagai ingkar janji, sebaliknya perdata umum terdiri dari kedua kategori diatas. 

Dengan demikian, sampai disini hipotesa penulis berkaitan dengan pengesahan kepengurusan partai politik yang sedang berselisih hanya bisa dilakukan melalui; Mahkamah Partai, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. 

Oleh karena itu, Mahkamah Partai merupakan pengadilan tingkat pertama dalam penyelesaian perselisihan internal partai politik. Sedangkan putusan Pengadilan Negeri ditempatkan sebagai putusan pertama dan hanya dapat dilakukan kasasi ke Mahkamah Agung. 

Objektivitas dan imparsialitas Hakim Mahkamah Partai dalam memutus perselisihan sangat mungkin tereduksi oleh dialektika kutub konflik yang saling berhadapan atau kekuatan dominan dalam parpol.  

Hal tersebut merupakan masalah endemik dan menjadi hambatan utama Mahkamah Partai sebagai mekanisme internal penyelesaian perselisihan yang mandiri, cepat, sederhana, berkepastian dan berkeadilan bagi penguatan otonomi dan kelembagaan partai.   

Peranan Kemenkumham 

Atas dasar ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, maka Kemenkumham memiliki wewenang secara atributif untuk mencatatkan perubahan pengurus Partai Politik, akan tetapi ada rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh Kemenkumham. 

Diantaranya, jika ada perselisihan maka Kemenkumham tidak boleh menerbitkan keputusan pencatatan perubahan pengurus partai politik tersebut sampai perselisihannya selesai atau telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 

Kewenangan Kemenkumham untuk mencatatkan perubahan pengurus partai politik bersifat deklaratif. Pasal 54 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan membedakan Keputusan menjadi dua yaitu keputusan yang bersifat konstitutif dan deklaratif.  

Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa keputusan yang bersifat konstitutif adalah keputusan yang bersifat penetapan mandiri oleh Pejabat Pemerintahan.  

Sedangkan Keputusan deklaratif didefinisikan sebagai keputusan yang bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat pejabat pemerintahan. 

Dalam hal pencatatan perubahan kepengurusan partai politik, putusan yang bersifat konstitutif bukan diterbitkan oleh Pejabat, melainkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Partai atau Majelis Hakim naungan Mahkamah Agung. 

Dengan kata lain, kewenangan deklaratif Menkumham hanyalah kewenangan “stempel” atau copy paste saja dari putusan Hukum. 

Kemennkumham juga wajib bersifat pasif, yang artinya Menteri harus menunggu datangnya permohonan dari pengurus Parpol yang bersangkutan.  

A contrarionya, Menkumham tidak boleh secara aktif berkirim surat meminta kepada pengurus parpol agar segera mengajukan permohonan pencatatan perubahan pengurus karena hal tersebut akan menimbulkan kesan keberpihakan.  

Rambu-rambu tersebut diperlukan agar di dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yaitu penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. 

Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. 

Indonesia sebagai negara hukum, berkewajiban secara konstitusional untuk menjamin dan memastikan setiap warga negara dapat menikmati hak-haknya secara bebas, setara dan adil, tanpa intervensi, tekanan dan intimidasi dari pihak manapun, termasuk negara. 

Hal ini sebagai prasyarat untuk menumbuhkan demokratisasi disetiap element infrastruktur politik. 

Riwayat Buku 

Judul Buku: Manajemen sengketa partai politik; sebuah ikhtiar penataan kelembagaan politik di negeri demokrasi.

Terbitan: Alvabet, Jakarta. 

Tahun Terbit: 2019

Penulis: Prof. Yasonna Laoly