Pertanyaan di atas merujuk pada masalah dan juga tantangan bagi Kementrian Luar Negeri Indonesia dalam menghadapi tantangan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) terhadap kepentingan nasional Indonesia di era perkembangan terbaru diplomasi digital.
Diplomas digital semakin menjadi topik hangat ketika mengeluarkan kebijakan luar negeri, khususnya dalam diplomasi publik. Hampir semua kedutaan tertarik memanfaatkan internet dan media sosial sebagai alat interaktif untuk mempromosikan negara mereka. Banyak akun kedutaan dapat kita temukan di Facebook, Twitter, Instagram, maupun Youtube.
Kasus di Indonesia sendiri menunjukan bahwa diplomasi digital telah menjadi tantangan serius bagi praktik diplomasinya di era Presiden Joko Widodo. Meskipun ide penggunaan media sosial untuk diplomasi sudah ada sejak penggunaan pertama situs web sejak tahun 2000-an. Namun, Jokowi adalah Presiden pertama yang secara resmi menyatakan pentingnya diplomasi digital.
Kementerian Luar Negeri menyambut dengan antusias perkembangan diplomasi digital dengan menegaskan pentingnya internet untuk membantu pekerjaan diplomat tanpa penundaan. Menyikapi perkembangan tersebut, Kemenlu RI mendorong para diplomatnya untuk mengikuti perkembangan pesat ini dengan menjajaki penggunaan media baru dalam berbagai pelatihan.
Kemenlu kemudian membentuk Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik pada tahun 2002, yang secara signifikan menunjukkan kebijakan fundamental dan strategis tentang cara Kementerian Luar Negeri Indonesia melakukan diplomasi publik di masa depan.
Pada awal tahun 2017, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, menekankan pentingnya Digital Command Center (DCC) untuk mendukung dan memfasilitasi penggunaan diplomasi digital pada Pidato Tahunan Menteri Luar Negeri 2017. Pernyataan tersebut diikuti dengan pembentukan DCC sebagai crisis management center di Kemenlu RI (LPSE Kemlu RI, 2017).
Selain itu, Digital Command Center (DCC) juga memiliki fungsi 'watch and monitor' dan menganalisis trend respon publik domestik dan internasional terhadap kebijakan luar negeri Indonesia.
Di lingkungan Direktorat Informasi dan Media Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, DCC berfungsi sebagai pusat koordinasi antara Kemenlu dengan kantor perwakilan Indonesia di luar negeri dalam menanggapi krisis atau situasi darurat yang memerlukan penanganan segera, seperti bencana alam, konflik bersenjata dan perlindungan warga negara Indonesia.
Saat ini, Indonesia memiliki hubungan diplomatik dengan 190 negara di dunia melalui 132 perwakilan di 96 negara, yang terbagi dalam 24 zona waktu. Dengan demikian, Kemenlu sebenarnya bekerja 24 jam sehari, tujuh hari seminggu.
Dibandingkan dengan kementerian luar negeri lainnya di seluruh dunia, Kementerian Luar Negeri Indonesia menempati peringkat ke-37 pada tahun 2016 dalam masalah diplomasi digital (Digital Diplomacy Review, 2017). Berdasarkan pemeringkatan Twiplomacy, akun twitter Kemenlu menduduki posisi keempat sebagai akun pemerintah paling terpercaya.
Kemenlu berupaya mengikuti perkembangan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung diplomasi Indonesia. Melalui instrumen digital dan media sosial, presiden juga pemerintah, dan diplomat dapat dengan mudah melewati hierarki lama diplomasi tradisional.
Penonton bisa langsung lebih dekat dengan pemimpinnya, sementara vlog secara mendasar mengubah paradigma diplomasi tradisional dalam hal kebijaksanaan dan kerahasiaan. Hingga tahun 2018 Kemenlu telah mengelola akun di Halaman Facebook dan Twitter (@Portal_Kemlu_RI) dan instagram (@kemlu_ri) dengan ribuan bahkan ratusan ribu pengikut.
Kemenlu juga telah menggunakan platform audiovisual sebagai sarana penyebaran informasi berupa TV Kementerian Luar Negeri (Kemlu TV), yang dapat diakses melalui website Kemenlu (www.kemlu.go.id). Kemenlu RI juga telah mengumumkan pembuatan dari inisiatif baru yaitu aplikasi mobile versi beta bernama Safe Travel bagi WNI yang bepergian ke luar negeri.
Namun demikian, diplomasi digital Indonesia juga menghadirkan berbagai ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya yang terkait erat dengan kedaulatan nasional di tingkat domestik dan tujuan utama diplomasi publik yaitu memenangkan hati dan pikiran warga negara asing di negaranya sendiri.
Pertama, kampanye online untuk separatisme. Setelah kemerdekaan Timor Leste dan kesepakatan damai antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Indonesia aktif menghadapi aktivitas separatisme online Organisasi Papua Merdeka (OPM). Karena OPM telah mengambil banyak keuntungan dari perkembangan pesat internet.
Menanggapi OPM, Presiden Joko Widodo berjuang untuk membangun Papua di bawah jargon politik 'Papua Tanah Damai', namun manuver online aktivis Papua melalui media sosial dan jaringan digital lainnya telah mendiskreditkan secara signifikan capaian pemerintah Indonesia dalam membangun infrastruktur di Papua.
Kedua, praktik terorisme cyber. Akhir-akhir ini marak terjadi pasca-serangan teroris di Surabaya 2018 dan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Januari 2016. Fenomena ini mengungkap munculnya pelaku bom bunuh diri sebagai teroris generasi baru yang terampil menggunakan internet dan jaringan informasi. Mereka mempelajari doktrin dan manual radikal tentang pembuatan bom langsung dari internet.
Kebebasan akses dan informasi tanpa batas telah memaksa pemerintah untuk mengambil tindakan serius dalam menyaring dan menutup banyak situs radikal yang berpotensi membahayakan masyarakat Indonesia. Masih banyak lagi kasus yang disebabkan oleh berkembangnya Teknologi, Informasi dan Komunikasi.
Kemenlu RI telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi isu diplomasi digital. Bukan hanya sekedar memberikan informasi kepada masyarakat luas, kesiapan Kemenlu secara signifikan mencerminkan kebijakan pemerintah Jokowi untuk ‘negara hadir’ bagi masyarakat Indonesia, baik domestik maupun internasional di era cyber saat ini.
Memiliki DCC dalam mendukung diplomasi digitalnya, Kemenlu RI harus bekerja keras untuk menjalin kerjasama kelembagaan dengan kementerian lain dengan perhatian khusus untuk mengetahui strategi dalam menghadapi meningkatnya aktivisme cyber, termasuk terorisme cyber.