Ramadan lalu menjadi suasana Ramadan Indonesia terburuk setelah 2014. Keadaan seperti itu terjadi karena suasana pikiran umat Islam pada 2014 dan 2016 terombang-ambing oleh isu-isu murahan yang terus dipasang di layar kaca media massa elektronik dan digital.
Lemahnya umat Islam dalam penguasaan ilmu logika (mantiq) dasar, dan terbiasa dengan hasil hukum atau pemahaman agama yang satu arah, membuat cara pandang umat terhadap fenomena sosial mudah terbentur (untuk tidak disebut dibenturkan) dan gampang menimbulkan konflik. Kelemahan umat Islam dalam penguasaan ilmu alat, diperparah dengan rasa "malas" untuk mempelajari ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh ilmuwan Barat.
Kebutaan tentang hal dasar dalam jurnalistik semacam "media framing" dan "agenda setting" dalam media massa, membuat umat Islam Indonesia cepat menelan mentah-mentah apa saja yang disajikan oleh bisnis media. Mulai dari iklan sirup, jasa telekomunikasi, sinetron, hingga berita-berita yang memang diciptakan dengan semangat "bad news dan good news".
Sayangnya, akademis muda (mahasiswa dan alumni kampus) yang mempelajari ilmu komunikasi, tidak mau mengkritisi tingkah pola media massa kita. Ingin cepat lulus dan masuk dalam dunia kerja yang sudah menyediakan lingkaran setan media massa.
Selain teori praktis framing dan agenda setting dalam pembuatan berita, umat juga tidak mau mempelajari Filsafat Barat yang tentunya lahir di dunia Barat sana. Bahkan menolak mentah-mentah dan melabelinya sebagai "ilmu kafir". Sudah malas belajar, giliran "kalah" dalam permainan, malah nyolot marah-marah. Apa kata dunia?
Sebagai contoh, Filsafat Hermeneutika yang hanya dikaitkan dengan metode tafsir Al Kitab. Umat Islam menolaknya untuk digunakan dalam pendekatan ilmu tafsir Al Quran tidak masalah. Hanya saja sikap antipati terhadap Hermeneutika adalah hal yang keliru. Hermeneutika tidak hanya pendekatan tafsir, dalam disiplin ilmu lain ia dijadikan kerangka dasar Ilmu Komunikasi, seperti halnya semiotika dan sejenisnya.
Para pakar media yang bekerja di perusahaan-perusahaan media massa besar tentunya paham akan hal ini, dan tahu bagaimana memanfaatkannya. Dalam kasus Warteg Bu Saeni di Banten, Hermeneutika Gadamer menjadi teori ilmu dasar dalam membuat sebuah tafsir bahasa sosial di mana umat Islam Indonesia yang sudah terbelah menjadi berbagai golongan dan kubu, diberi umpan teks media untuk ditafsirkan sendiri oleh masyarakat yang sudah terpecah tadi.
Hasilnya bisa dilihat dari berbagai status sosial media, meme sindiran, kata-kata nyinyir, dan indikasi perpecahan umat lainnya. Tidak ada yang salah dari Hermenetika Gadamer. Ia hanya salah satu teori jalannya pola komunikasi dalam masyarakat di mana sebuah teks, baik dalam bentuk tulisan, lisan, gambar, video, atau media komunikasi apa pun, pemaknaannya "diserahkan sepenuhnya" kepada masyarakat sebagai interpretater atau penafsir.
Di sinilah teks "Warteg Bu Saini" menjadi "bola salju" yang terus menggelinding di lebih dari 200 juta kepala rakyat Indonesia. Dengan teori "Use and Gratification" dan "Ritualized Media", media massa berhasil mengambil keuntungan dari teks tersebut. Rating meningkat, dan iklan semakin banyak. Dengan rating yang tinggi, harga satu slot iklan juga menjadi lebih mahal.
Asik bukan? Dan parahnya, "ulama dan tokoh-tokoh agama" yang diharapkan menjadi "gate keeper" yang baik, tidak mampu memainkan perannya sebagai pewaris para nabi, yaitu "MENDAMAIKAN". Semoga tidak terlalu terlambat untuk sadar.