Sebagaimana pada tahun 2017 dan 2018 menjelang bulan Ramadhan umat Islam dikagetkan dengan aksi terorisme bom bunuh diri dan penyerangan terhadap aparatus negara. Sasaran teror yang mengarah ke tempat ibadah Kristen dan Katolik dengan pelaku beridentitas Muslim. Hal tersebut menjadikan hubungan antar umat beragama yang selama ini menumbuhkan kedamaian kian terganggu.

Terlebih video pernyataan beberapa pemuka agama secara terang-terangan menyematkan status "mati syahid" bagi pelaku bom bunuh diri. Tentu hal ini menambah keruh suasana 

antar umat beragama yang telah dibangun seakan-akan Islam melegitimasi kekerasan atas nama agama.

Tidak sedikit umat Islam yang berpandangan bahwa "jihad" identik dengan perang. Ilmuwan dan media Barat sering mengidentikkan "jihad" dengan kekerasan, violence. Fenomena ini menjadikan Islam di mata dunia Barat menjadi sah untuk dipandang sebagai "agama jihad" atau "agama kekerasan".

Generalisasi di atas tentunya memperjelas dan meyakinkan masalah sosial budaya dan keagamaan serta masalah kemerosotan moral adalah sebuah fenomena nyata di lingkungan kita. Hal tersebut mengundang pemikiran mendalam untuk menata kembali kehidupan beragama yang lebih menyejukkan, santun, damai, dan peduli terhadap masalah-masalah sosial.

Oleh karena itu, kiranya kita juga perlu mengkaji kembali semua ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan ubudiyah maupun muamalah dalam terang relasi antaragama. 

Dalam Islam setiap ibadah ritual sarat dengan pesan moral yang bersifat vertikal dan horizontal, ibadah puasa misalnya. 

Puasa menjadi ibadah tahunan yang setidaknya bisa digali makna-makna yang tersirat di dalamnya dan dihayati sebagai upaya pembelajaran dalam mengelola keberagaman dan menumbuhkan toleransi.

Berikut dua makna yang dapat diambil dari ibadah puasa untuk kemaslahatan bangsa ini.

Pertama; ibadah puasa adalah ibadah yang dimiliki oleh semua agama dengan tata caranya masing-masing. Hal tersebut bahkan sudah jauh terjadi sebelum Islam datang, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Samawi, tiga agama yang berkembang di Makkah pada abad ke 6 M sudah lebih dahulu menjalankannya. Dalam QS. Al-Baqarah 183 dinyatakan bahwa " puasa diwajibkan bagi umat Islam sebagaimana (puasa) juga diwajibkan kepada umat terdahulu".

Dalam poin ini terdapat ajaran toleransi yang mendasar bahwa semua agama memiliki ajaran yang mengadopsi dan memodifikasi dari agama-agama sebelumnya. Oleh karena itu, dalam beragama dalam beragama tidak perlu angkuh dan berebut kebenaran dengan saling menyalahkan atau menyesatkan penganut agama lain. 

Pemahaman diatas memberikan dampak positif dalam pergaulan antar umat beragama dengan menjunjung tinggi toleransi, serta menjadi titik terang bahwa beragama bukan untuk mencari "titik tengkar", tapi merajut kebersamaan untuk saling membantu atau gotong royong dalam membangun bangsa bersama-sama.

Kedua; dalam puasa terdapat ajaran profetik yang sangat tinggi, yaitu orang yang berpuasa tidak boleh menyakiti orang lain meski dirinya dirinya disakiti. Dalam hadits riwayat Bukhari nomor 1894 dinyatakan bahwa jika ada orang yang hendak membunuh atau mencaci maki orang yang berpuasa, maka orang yang berpuasa diperintahkan untuk berkata "saya sedang puasa".

Perintah Nabi Muhammad ini hendak menegaskan bahwa orang yang sedang berpuasa harus mencerminkan dirinya sebagai orang yang saleh secara individual dan sosial. Diam ketika dicaci maki bukan berarti kalah, melainkan memberikan teladan kepada lawan bicaranya bahwa caci maki itu tidak baik melalui perkataan "saya sedang puasa" yang berarti "saya sedang berusaha menjadi orang baik".

Hal ini dapat dipraktikkan pada kondisi sekarang dalam menyikapi ujaran-ujaran kebencian (halte speech) dan pemberitaan hhoax yang belakangan begitu massif.

Sebutan puasa sebagai "perisai" menguatkan pada pemahaman di atas, bahwa seseorang yang berpuasa harus bisa menahan diri dari amarah dan tidak melakukan tindakan semena-mena serta tidak melakukan kejahatan sebagai balasan atas kejahatan yang diterimanya. 

Kejahatan tidak bisa dipadamkan dengan kejahatan lain, melainkan harus disikapi dengan cara-cara yang baik, dalam konteks bernegara harus diserahkan kepada pihak yang berwenang.

Ibadah puasa juga bukan hanya sekedar mengajarkan disiplin diri atau juga ajakan kesalehan diri, melainkan lebih dari itu. Puasa juga bisa merupakan ajakan peduli terhadap lingkungan dan penegakan HAM, yang dimana baik kalangan atas maupun kalangan bawah, semua wajib untuk menunaikan ibadah puasa. Tentu sangat ironis jika puasa hanya diartikan sebagai takwa pribadi dengan melupakan masalah-masalah sosial atau kesalehan sosial.

Ungkapan di atas adalah paradigma utama untuk mendasari upaya membangun visi bersama ditengah kemajemukan. "Indonesia tanpa pagar" (meminjam istilah budayawan Darmanto Jatman) haruslah dijadikan sasaran bersama dan agenda utama pluralisme umat agama di Indonesia, yang merupakan sebuah bangsa yang hidup ditengah-tengah masyarakat internasional yang sedang berada dalam global trends and ethics. Indonesia harus mampu menyesuaikan diri dengan etika global ini seperti demokratisasi, pluralisme dan sebagainya. 

Sumber buku:

Anwar Khoirul, Berislam Di Era Milenial, (Semarang, Lawwana, 2022)

Mas'ud Abdurrahman, Islam Rahmatan Lil'Alamin, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2021)